30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Hareudang, Panas Panas Pansus

DEWAN Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Tengah membentuk
Panitia Khusus (Pansus) Pengawasan Anggaran Pendemi Covid 19 dan Pengawasan
Penyaluran Bansos Pemerintah. Namun beberapa pihak dan sebagian masyarakat  ada yang menilai alasan pembentukan alat
kelengkapan Dewan ini, kurang urgensi. Mengapa bisa demikian?

Kondisi masyarakat tidak bisa
dibohongi sedang dalam masa sulit, kantongnya kering dan sangat membutuhkan
bantuan pemerintah. Momentum inilah yang disinyalir kurang tepatnya untuk ribut
ribut menuntut dengan Pansus. Selain itu, secara alami biasanya Pansus dibentuk
jika ada temuan terlebih dahulu, atau setelah tahun anggaran selesai. Lalu
bagaimana dengan alasan transparansi dan akuntabilitas anggaran darurat covid
19 ?

Respon Pemerintah Daerah Provinsi
Kalimantan Tengah terlihat sebenarnya 
tidak perlu alergi juga. Karena memang kewajiban transparansi dan
akuntabilitas melekat dalam pemerintahan. Sesuai dengan undang undang Keterbukaan
Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008.

Jadi sebenarnya tanpa Pansus pun,
baiknya setiap proses dan data disampaikan ke masyarakat. Bisa dengan apa saja,
web khusus covid misalnya, siaran pers atau medium yang lain. Toh, untuk update
informasi jumlah orang yang terkena pendemi juga sangat update setiap hari.

Kunci dan masalahnya memang pada
ketersediaan data. Data yang berbeda tentu akan menimbulkan persepsi negatif.
Saya sendiri cukup kaget dengan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Video Call dengan Pemprov memberikan masukkan terkait transparansi dan
akuntabilitas anggaran darurat Covid 19 senilai Rp 810 Miliar. Kaget karena
sebelumnya informasi data yang ada, dari APBD Provinsi dana yang direlokasi dan
disiapkan sebesar Rp689 miliar. Sedangkan Dewan mencatat adanya tambahan Rp20 dan
Rp30 miliar dari dana tidak terduga selain Rp.689 miliar.

Baca Juga :  Jalur Udara dan Laut Masih Ditutup

Pada titik inilah terjadi selisih
komunikasi antara pemerintah daerah dengan dewan sehingga melahirkan pansus.
Padahal, dengan komunikasi data sebenarnya selesai masalah, tidak perlu panas
dengan pansus. Cukup Rapat Dengan Pendapat (RDP), cek data turun langsung
lapangan, komunikasi. Pansus tidak perlu.

Mendagri melalui Permendagri No.
20 Tahun 2020 memang mengatur bahwa dalam realokasi dana covid 19 karena
situasi darurat maka boleh tanpa persetujuan dewan. Akan tetapi bukan berarti
data menjadi tertutup, harus tetap disampaikan ke masyarakat, dengan satu
tujuan, mempercepat penyembuhan covid dan menyelamatkan warga terdampak agar
tetap bisa makan dan hidup.

Makanya, satu data menjadi sangat
penting. Sumber data harus valid dan update setiap ada perubahan. Agar tidak
menimbulkan persepsi negatif ditengah musibah pendemi ini. Saran saya jika
pemprov kesulitan berkomunikasi, tujuklah satu juru bicara yang dilengkapi
dengan instrumen transparansi dari SOPD seperti data, website dan update.

Data yang perlu disampaikan
adalah, dalam proses perencanaan dan keputusan : proses realokasi, besaran
realokasi APBD untuk Covid 19, apa saja yang di realokasi. Setelah itu
informasi penggunaan, anggaran darurat ini untuk sektor apa saja, pencegahan,
misalnya beberapa untuk membeli masker, disinfektan dan juga APD.

Transparansi data penerima Bansos
juga sangat penting. Siapa saja penerima yang sesuai dengan kategori layak
sebagai penerima Bansos. Data ini yang biasanya kacau, rancu dan penuh dengan
persepsi negatif layak atau tidak menerima. Lihatlah Pemerintah pusat vs
Pemprov DKI Jakarta, juga ribut ribut terkait data Bansos ini. Sampai sekarang
pun belum ketemu titik satu datanya.

Baca Juga :  Presiden Letkol

Jadi hemat saya, mudah saja kok
mengakhiri polemik transparansi dana darurat covid 19 Kalteng ini. Toh KPK dan
penegak hukum juga ikut mengawasi. Justru dengan ribut ribut semakin
menimbulkan kesedihan di masyarakat. Pemprov dan Dewan perlu bergandeng tangan
melawan pendemi dan menemani masyarakat agar terjamin keterbutuhan makan sehari
harinya khusus warga terdampak.

Saran saya, transparansi dan
akuntabilitas anggaran darurat covid 19 adalah harga mati. Tanpa dan tak perlu
pansus pun tetap harga mati. Ancamannya jelas kok, kata KPK dan Penegak hukum
lain, barangsiapa menyalahgunakan anggaran bencana pendemi ini, maka diancam
hukuman mati. Ini sesuai dengan Undang Undang tindak pidana korupsi terkait
korupsi dana bencana maka diancam hukuman mati. Tidak perlu pansus kalau memang
ada penyalahgunaan, penegak hukum langsung masuk. Toh biasanya pansus juga
rekomendasinya dibawa ke penegak hukum.

Terakhir, jadi Pansus tidak perlu
panas, ke sana kemari membangun opini, situasi sudah panas. Pemprov juga perlu
terbuka kepada masyarakat. Saling bergandengan tangan, bangkit. Mari ciptakan
suasana adem ditengah pendemi yang kapan berakhir ini. Situasi sudah lapar dan
panas, jangan diperpanas.

Seperti yang sedang viral di
aplikasi Tik Tok, hauredang….panas… panas… pansus…eh.

(Penulis adalah Direktur Pemerataan
Ekonomi  dan Keuangan Indonesia (REGIO))

DEWAN Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Tengah membentuk
Panitia Khusus (Pansus) Pengawasan Anggaran Pendemi Covid 19 dan Pengawasan
Penyaluran Bansos Pemerintah. Namun beberapa pihak dan sebagian masyarakat  ada yang menilai alasan pembentukan alat
kelengkapan Dewan ini, kurang urgensi. Mengapa bisa demikian?

Kondisi masyarakat tidak bisa
dibohongi sedang dalam masa sulit, kantongnya kering dan sangat membutuhkan
bantuan pemerintah. Momentum inilah yang disinyalir kurang tepatnya untuk ribut
ribut menuntut dengan Pansus. Selain itu, secara alami biasanya Pansus dibentuk
jika ada temuan terlebih dahulu, atau setelah tahun anggaran selesai. Lalu
bagaimana dengan alasan transparansi dan akuntabilitas anggaran darurat covid
19 ?

Respon Pemerintah Daerah Provinsi
Kalimantan Tengah terlihat sebenarnya 
tidak perlu alergi juga. Karena memang kewajiban transparansi dan
akuntabilitas melekat dalam pemerintahan. Sesuai dengan undang undang Keterbukaan
Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008.

Jadi sebenarnya tanpa Pansus pun,
baiknya setiap proses dan data disampaikan ke masyarakat. Bisa dengan apa saja,
web khusus covid misalnya, siaran pers atau medium yang lain. Toh, untuk update
informasi jumlah orang yang terkena pendemi juga sangat update setiap hari.

Kunci dan masalahnya memang pada
ketersediaan data. Data yang berbeda tentu akan menimbulkan persepsi negatif.
Saya sendiri cukup kaget dengan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Video Call dengan Pemprov memberikan masukkan terkait transparansi dan
akuntabilitas anggaran darurat Covid 19 senilai Rp 810 Miliar. Kaget karena
sebelumnya informasi data yang ada, dari APBD Provinsi dana yang direlokasi dan
disiapkan sebesar Rp689 miliar. Sedangkan Dewan mencatat adanya tambahan Rp20 dan
Rp30 miliar dari dana tidak terduga selain Rp.689 miliar.

Baca Juga :  Jalur Udara dan Laut Masih Ditutup

Pada titik inilah terjadi selisih
komunikasi antara pemerintah daerah dengan dewan sehingga melahirkan pansus.
Padahal, dengan komunikasi data sebenarnya selesai masalah, tidak perlu panas
dengan pansus. Cukup Rapat Dengan Pendapat (RDP), cek data turun langsung
lapangan, komunikasi. Pansus tidak perlu.

Mendagri melalui Permendagri No.
20 Tahun 2020 memang mengatur bahwa dalam realokasi dana covid 19 karena
situasi darurat maka boleh tanpa persetujuan dewan. Akan tetapi bukan berarti
data menjadi tertutup, harus tetap disampaikan ke masyarakat, dengan satu
tujuan, mempercepat penyembuhan covid dan menyelamatkan warga terdampak agar
tetap bisa makan dan hidup.

Makanya, satu data menjadi sangat
penting. Sumber data harus valid dan update setiap ada perubahan. Agar tidak
menimbulkan persepsi negatif ditengah musibah pendemi ini. Saran saya jika
pemprov kesulitan berkomunikasi, tujuklah satu juru bicara yang dilengkapi
dengan instrumen transparansi dari SOPD seperti data, website dan update.

Data yang perlu disampaikan
adalah, dalam proses perencanaan dan keputusan : proses realokasi, besaran
realokasi APBD untuk Covid 19, apa saja yang di realokasi. Setelah itu
informasi penggunaan, anggaran darurat ini untuk sektor apa saja, pencegahan,
misalnya beberapa untuk membeli masker, disinfektan dan juga APD.

Transparansi data penerima Bansos
juga sangat penting. Siapa saja penerima yang sesuai dengan kategori layak
sebagai penerima Bansos. Data ini yang biasanya kacau, rancu dan penuh dengan
persepsi negatif layak atau tidak menerima. Lihatlah Pemerintah pusat vs
Pemprov DKI Jakarta, juga ribut ribut terkait data Bansos ini. Sampai sekarang
pun belum ketemu titik satu datanya.

Baca Juga :  Presiden Letkol

Jadi hemat saya, mudah saja kok
mengakhiri polemik transparansi dana darurat covid 19 Kalteng ini. Toh KPK dan
penegak hukum juga ikut mengawasi. Justru dengan ribut ribut semakin
menimbulkan kesedihan di masyarakat. Pemprov dan Dewan perlu bergandeng tangan
melawan pendemi dan menemani masyarakat agar terjamin keterbutuhan makan sehari
harinya khusus warga terdampak.

Saran saya, transparansi dan
akuntabilitas anggaran darurat covid 19 adalah harga mati. Tanpa dan tak perlu
pansus pun tetap harga mati. Ancamannya jelas kok, kata KPK dan Penegak hukum
lain, barangsiapa menyalahgunakan anggaran bencana pendemi ini, maka diancam
hukuman mati. Ini sesuai dengan Undang Undang tindak pidana korupsi terkait
korupsi dana bencana maka diancam hukuman mati. Tidak perlu pansus kalau memang
ada penyalahgunaan, penegak hukum langsung masuk. Toh biasanya pansus juga
rekomendasinya dibawa ke penegak hukum.

Terakhir, jadi Pansus tidak perlu
panas, ke sana kemari membangun opini, situasi sudah panas. Pemprov juga perlu
terbuka kepada masyarakat. Saling bergandengan tangan, bangkit. Mari ciptakan
suasana adem ditengah pendemi yang kapan berakhir ini. Situasi sudah lapar dan
panas, jangan diperpanas.

Seperti yang sedang viral di
aplikasi Tik Tok, hauredang….panas… panas… pansus…eh.

(Penulis adalah Direktur Pemerataan
Ekonomi  dan Keuangan Indonesia (REGIO))

Terpopuler

Artikel Terbaru