30.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Upaya Menghadapi Pelakor Dalam Dimensi Hukum Adat Dayak Ngaju

SEBELUM RUU KUHP menerapkan
pasal perluasan tentang tindak pidana zina dan kumpul kebo yang ramai
diperbincangkan saat ini
. Hukum adat Dayak dalam hal ini penulis memfokuskan pada hukum adat Dayak Ngaju, telah
membahas secara tegas dan jelas tentang tindakan merebut pasangan orang lain.

Perkawinan secara adat di kalangan masyarakat adat Dayak Ngaju dianggap
suatu proses yang sakral. Perjanjian kawin tersebut berasal dari Ranying Hatalla Langit sebagai sesuatu
yang suci. Pelaksanaan perkawinan yang tidak sesuai dengan adat dan adanya
perselingkuhan dipercaya akan membawa bencana karena telah melanggar janji
kepada Ranying Hatalla Langit yang
telah diikrarkan pada saat pemenuhan hukum adat.

Walaupun masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah telah menganut
berbagai agama berbeda seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Kaharingan.
Tetap
, makna perkawinan adat Dayak  pada prinsipnya adalah suatu kesepakatan suci
yang tidak boleh dilanggar sejalan dengan pendapat dari bahwa Emile Durkheim
pelanggaran terhadap ketentuan adat merupakan suatu perbuatan yang
mengakibatkan hukuman-hukuman dan penderitaan-penderitaan bagi pelanggarnya.

Fenomena yang kerap kali penulis amati di Kalimantan Tengah
adalah keenganan seorang wanita untuk berusaha menjerat
pelakor (wanita pihak
ke tiga) yang menggoda suami mereka. Sebagian memilih untuk melampiaskan
kekecewaannya dengan mengamuk/melabrak sang
pelakor ataupun berkoar-koar
di media sosial untuk menjelek-jelekan wanita
pelakor tersebut. Sebagian
lagi memilih jalan perceraian dan pasrah mengganggap dirinya memang sudah tidak
“menarik” lagi.

Baca Juga :  ASN Diminta Turun Kerja Sesuai Jadwal

Sangat disayangkan jika seorang wanita suku Dayak dan memang
berdomisili di Kalimantan Tengah tidak memberdayakan hukum adat “miliknya”
sendiri. Salah satunya dengan memperdalam ketentuan adat yang dapat menjerat
perbuatan Pelakor dan memberikan efek jera kepada mereka.

Perbuatan pelakor
dalam hukum adat Dayak Ngaju disebut dengan Tungkun
merupakan suatu perbuatan yang memiliki dimensi Pidana di dalamnya yaitu
tergolong dalam pelanggaran adat kesusilaan. Pedoman pengaturan tentang hukum
adat Dayak yang sampai saat ini masih digunakan adalah 96 Pasal Hukum Adat
Tumbang Anoi yang dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan para pemangku
adat
Dayak.

Upaya hukum yang dapat dilakukan
untuk perbuatan hatungkun yang
dilakukan oleh untuk menjerat pelakor ini dapat dilakukan dengan cara
melaporkan para pihak yang terlibat ke damang kepala adat yang berkedudukan di
wilayah kecamatan tempat tinggal si pelapor ataupun wilayah kedamangan tempat
dilaksanakannya kawin adat para pihak yang terikat perkawinan tersebut.

Kemudian akan dilakukan
tantangan bersumpah kepada si Pelakor, apabila dia berkilah atau tidak mengakui
perbuatannya. Akibat dari sumpah yang diucapkan amat ditakuti jika terjadi
yaitu Pandak Umur, Dia Atun Rajaki, Kana
Haban Kapehe Sambung Sambunga Akan lye Kabuat Dan Kare Arnak Jaria, Kawan
Pahari
yang artinya memiliki umur pendek, tidak ada rejeki, sakit penyakit
yang sambung menyambung untuknya, keturunan serta saudara-saudaranya.

Baca Juga :  Sinthya Lima 'i'

Sanksi adat Dayak Ngaju yang dikenakan bagi
perbuatan
pelakor
juga tidak main-main secara singkat yaitu :
membayar
dua kali
nilai palaku adat perkawinan (mahar)
lelaki yang direbutnya; membayar
lima belas kati ramu tekap bau
mate
(penutup malu) bagi keluarga wanita istri sah; memberikan Pakaian sinde mendeng (satu stel
pakaian) bagi wanita istri sah
; membayar ganti rugi biaya pesta kawin
yang dikeluarkan istri sah sekeluarga;
menanggung biaya pesta perdamaian adat
khusus (makan-minum bersama, memotong dua ekor babi/ternak bagi alam dan
masyarakat setempat). Hal ini diterapkan untuk memberikan efek jera kepada
Pelakor dan pembelaan secara psikis terhadap istri sah yang direbut suaminya
secara hukum adat Dayak Ngaju.

Dengan adanya
tulisan ini penulis berharap dapat menggerakkan kecintaan dan memperluas
cakrawala pengetahuan para wanita dayak khususnya wanita suku Dayak Ngaju
tentang khasanah budaya dan hukum adatnya sendiri dalam menegakkan hak-haknya
sebagai wanita dan bagian dari masyarakat adat.
(*)

(Penulis adalah: Dosen
Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya)

SEBELUM RUU KUHP menerapkan
pasal perluasan tentang tindak pidana zina dan kumpul kebo yang ramai
diperbincangkan saat ini
. Hukum adat Dayak dalam hal ini penulis memfokuskan pada hukum adat Dayak Ngaju, telah
membahas secara tegas dan jelas tentang tindakan merebut pasangan orang lain.

Perkawinan secara adat di kalangan masyarakat adat Dayak Ngaju dianggap
suatu proses yang sakral. Perjanjian kawin tersebut berasal dari Ranying Hatalla Langit sebagai sesuatu
yang suci. Pelaksanaan perkawinan yang tidak sesuai dengan adat dan adanya
perselingkuhan dipercaya akan membawa bencana karena telah melanggar janji
kepada Ranying Hatalla Langit yang
telah diikrarkan pada saat pemenuhan hukum adat.

Walaupun masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah telah menganut
berbagai agama berbeda seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Kaharingan.
Tetap
, makna perkawinan adat Dayak  pada prinsipnya adalah suatu kesepakatan suci
yang tidak boleh dilanggar sejalan dengan pendapat dari bahwa Emile Durkheim
pelanggaran terhadap ketentuan adat merupakan suatu perbuatan yang
mengakibatkan hukuman-hukuman dan penderitaan-penderitaan bagi pelanggarnya.

Fenomena yang kerap kali penulis amati di Kalimantan Tengah
adalah keenganan seorang wanita untuk berusaha menjerat
pelakor (wanita pihak
ke tiga) yang menggoda suami mereka. Sebagian memilih untuk melampiaskan
kekecewaannya dengan mengamuk/melabrak sang
pelakor ataupun berkoar-koar
di media sosial untuk menjelek-jelekan wanita
pelakor tersebut. Sebagian
lagi memilih jalan perceraian dan pasrah mengganggap dirinya memang sudah tidak
“menarik” lagi.

Baca Juga :  ASN Diminta Turun Kerja Sesuai Jadwal

Sangat disayangkan jika seorang wanita suku Dayak dan memang
berdomisili di Kalimantan Tengah tidak memberdayakan hukum adat “miliknya”
sendiri. Salah satunya dengan memperdalam ketentuan adat yang dapat menjerat
perbuatan Pelakor dan memberikan efek jera kepada mereka.

Perbuatan pelakor
dalam hukum adat Dayak Ngaju disebut dengan Tungkun
merupakan suatu perbuatan yang memiliki dimensi Pidana di dalamnya yaitu
tergolong dalam pelanggaran adat kesusilaan. Pedoman pengaturan tentang hukum
adat Dayak yang sampai saat ini masih digunakan adalah 96 Pasal Hukum Adat
Tumbang Anoi yang dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan para pemangku
adat
Dayak.

Upaya hukum yang dapat dilakukan
untuk perbuatan hatungkun yang
dilakukan oleh untuk menjerat pelakor ini dapat dilakukan dengan cara
melaporkan para pihak yang terlibat ke damang kepala adat yang berkedudukan di
wilayah kecamatan tempat tinggal si pelapor ataupun wilayah kedamangan tempat
dilaksanakannya kawin adat para pihak yang terikat perkawinan tersebut.

Kemudian akan dilakukan
tantangan bersumpah kepada si Pelakor, apabila dia berkilah atau tidak mengakui
perbuatannya. Akibat dari sumpah yang diucapkan amat ditakuti jika terjadi
yaitu Pandak Umur, Dia Atun Rajaki, Kana
Haban Kapehe Sambung Sambunga Akan lye Kabuat Dan Kare Arnak Jaria, Kawan
Pahari
yang artinya memiliki umur pendek, tidak ada rejeki, sakit penyakit
yang sambung menyambung untuknya, keturunan serta saudara-saudaranya.

Baca Juga :  Sinthya Lima 'i'

Sanksi adat Dayak Ngaju yang dikenakan bagi
perbuatan
pelakor
juga tidak main-main secara singkat yaitu :
membayar
dua kali
nilai palaku adat perkawinan (mahar)
lelaki yang direbutnya; membayar
lima belas kati ramu tekap bau
mate
(penutup malu) bagi keluarga wanita istri sah; memberikan Pakaian sinde mendeng (satu stel
pakaian) bagi wanita istri sah
; membayar ganti rugi biaya pesta kawin
yang dikeluarkan istri sah sekeluarga;
menanggung biaya pesta perdamaian adat
khusus (makan-minum bersama, memotong dua ekor babi/ternak bagi alam dan
masyarakat setempat). Hal ini diterapkan untuk memberikan efek jera kepada
Pelakor dan pembelaan secara psikis terhadap istri sah yang direbut suaminya
secara hukum adat Dayak Ngaju.

Dengan adanya
tulisan ini penulis berharap dapat menggerakkan kecintaan dan memperluas
cakrawala pengetahuan para wanita dayak khususnya wanita suku Dayak Ngaju
tentang khasanah budaya dan hukum adatnya sendiri dalam menegakkan hak-haknya
sebagai wanita dan bagian dari masyarakat adat.
(*)

(Penulis adalah: Dosen
Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya)

Terpopuler

Artikel Terbaru