28.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Anies Betepe

BTP harus bertemu Anies.

 

Ups, salah. 

 

Anies harus bertemu BTP.

 

Ups, salah juga.

 

Gak tahulah. Pokoknya dua orang itu harus bertemu. Untuk meredakan
ketegangan. Terutama di antara pendukung mereka yang belum juga bisa move
on
.

 

Pilkada sudah dua tahun berlalu. Kebencian masih begitu dalam.

 

Apa pun yang dilakukan Anies salah. 

 

Apa pun yang dilakukan Ahok salah.

 

Siapa yang harus berinisiatif? Siapa pun. 

 

Salah satu harus mengalah. Harus berjiwa negarawan.

 

Saya yakin dua orang itu sendiri tidak lagi punya masalah. Tapi para
pendukung fanatiknya itu lho!

 

Ampun.

 

Sampai-sampai Korea jadi korban. 

 

Korea?

 

Ya. Perusahaan Korea. Yang pakai nama mirip Perancis itu: Tous Les Jours.

 

Perusahaan asing pun ternyata bisa jadi korban kebencian antar-ras di
Indonesia. Padahal begitu berat kita mengusahakan iklim agar modal asing mau
datang.

 

Bagaimana bisa perusahaan itu dihoakskan milik Sandrina Malakiano. 

 

Hanya karena Sandrina itu istri Eep Saefullah Fatah.

 

Dan Kang Eep adalah konsultan pemenangan Anies Baswedan.

 

Dan Anies mengalahkan Ahok di Pilkada DKI Jakarta lalu.

 

Dan BTP itu Tionghoa yang Kristen. 

 

Dan Anies itu keturunan Arab yang Islam. 

 

Tidak habis-habisnya.

 

Bagaimana bisa toko roti Tous Les Jours dibilang milik Sandrina. Hanya
karena di konter salah satu toko roti itu pernah ada poster aneh. Yakni: tidak
menerima pesanan pembuatan roti bertuliskan Selamat Natal atau Selamat Imlek.
Atau sejenis itu.

 

Lalu ada kecaman di medsos bahwa toko roti itu rasis –saya setuju dengan
kecaman itu.

 

Yang saya tidak setuju –bahkan jijik– adalah anggapan bahwa yang
rasis-rasis begitu pastilah Eep.

 

Dan Eep itu suami Sandrina. Pasti dikira gara-gara Eep pula Sandrina masuk
Islam. Berjilbab. 

 

Padahal dikira dulunya Sandrina itu sudah Kristen baik-baik karena ayahnya
Kristen.

 

Menjijikkan.

 

Anggapan yang diotak-atik sendiri. Fakta-fakta begitu diabaikan.

 

Ayah Sandrina memang Kristen. Orang Italia. Kristen Gregorian.

 

Tapi ibunya Jawa. Islam kejawen. Campuran Solo-Madura.

 

Dan Sandrina itu Hindu! Dia bukan Kristen. Tidak pernah jadi Kristen. Juga
bukan Islam.

Baca Juga :  Percepat Pembangunan Daerah, Program Prioritas Harus Diselaraskan deng

 

Sandrina tidak ikut agama ayahnya maupun ibunya. 

 

Sandrina pilih Hindu karena sejak bayi hidup di Bali. TK di Bali. SD di
Bali. SMP-SMA di Bali. Masuk fakultas teknik sipil di Universitas Udayana Bali.

 

Bekerja pun di Bali –sebagai penyiar TVRI Denpasar.

 

Setelah lama pindah ke Jakarta –ke TVRI Pusat lalu ke Metro TV– Sandrina
masuk Islam.

 

Itu jauh sebelum kawin dengan Eep Saefullah Fatah. Yang kemudian memberi
mereka dua orang anak.

 

Anak mereka pun dibawa-bawa di gempuran medsos. Dikaitkan sebagai keturunan
rasis.

 

Demi masa depan anak merekalah Eep kini tidak bisa menerima difitnah
seperti itu.

 

Sejak itu Eep –pernah lama kuliah di Ohio State University di Amerika
Serikat– rajin menelusuri siapa raja hoax di balik semua itu.

 

Sudah lama sebenarnya Eep difitnah. Ya sejak Anies-Sandi melawan Ahok-Jarot
dulu itu.

 

Tapi Eep biasa saja.

 

Apalagi pekerjaannya memang menjadi konsultan. Dengan bendera Polmark. Yang
kebetulan dipakai Anies-Sandi. Tentu harus memenangkannya.

 

Kalau pun ia dipakai Ahok ia juga akan memenangkan Ahok.

 

Apakah saat itu tidak ada tawaran dari kubu Ahok?

 

“Tidak ada,” katanya.

 

Kenapa tidak menawarkan diri ke Ahok?

 

“Polmark tidak pernah menawar-nawarkan diri kepada calon kepala
daerah,” katanya.

 

Kali ini Eep akan menempuh jalur hukum meski kemudian akan memaafkannya.

 

Waktu Pilkada DKI itu memang ditemukan spanduk-spanduk anti-Ahok yang
keras. Membawa-bawa Islam pula. Di dekat-dekat masjid. 

Eep-lah yang dituduh mendesain tema kampanye seperti itu. Pokoknya
gara-gara otak Eep-lah Ahok kalah.

 

“Saya sendiri tidak suka spanduk seperti itu. Saya justru minta
diturunkan,” ujar Eep.

 

Ia kini lagi mengumpulkan saksi. Siapa saja yang pernah ia minta menurunkan
spanduk saat itu.

 

Saya memang mengontak Eep minggu lalu. Saat hoaks ini ramai-ramainya. Saat
toko Tous Les Jours di depan rumah saya sepi-sepinya akibat seruan boikot. Yang
di Pacific Place, SCBD, Jakarta itu.

 

Saya ingin konfirmasi apakah Tous Les Jours –dalam bahasa Perancis berarti
‘tiap hari’ –benar milik istrinya. 

 

Yang saya tahu Sandrina memang punya cafe. Tapi hanya satu. Itu
pun jauh di BSD, Barat Jakarta sana. Namanya pun bukan keperancis-perancisan tapi
kespanyol-spanyolan: nama panggilan ibunya. Sang ibu –seorang diplomat–
memang menguasai tujuh bahasa asing.

Baca Juga :  Harga Sembako Masih Stabil

 

Mungkin karena sang ibu bisa berbahasa Perancis maka Tous Les Jours
dianggap pastilah milik Sandrina. 

 

Padahal orang Korea yang ternyata suka pinjam kata-kata Perancis itu. Demi
marketing. Satu lagi yang juga milik Korea dengan nama keparis-parisan: Paris
Baguette. Juga toko roti. Juga laris. Di seluruh Asia.

 

Tapi bagaimana bisa perusahaan Korea punya poster anti-Natal dan anti-Imlek
seperti itu?

 

Bukankah mereka juga Kristen dan bermata sipit?

 

Rupanya ini urusan marketing pula. Rupanya toko roti itu lagi mengurus
sertifikat halal. Entah dapat ilmu dari mana manajemennya menyimpulkan sendiri:
Natal itu tidak halal. Begitu juga Imlek.

 

Maka selama masa uji oleh tim halal dari majelis ulama dibuatlah poster
itu. Mungkin dengan maksud agar Tous Les Jours cepat dianggap halal
sehalal-halalnya.

 

Padahal tidak ada persyaratan seperti itu.

 

Pihak Tous Les Jours sendiri memilih tutup mulut. Wartawan Jabar Ekspres
saya minta ke pabrik roti itu.  

 

Pabrik rotinya memang di Bandung. Di atas tanah 2 hektar. 

 

Mereka tidak mau bicara. Ini dianggap kecelakaan. 

 

Kecelakaan?

 

Konon awalnya itu hanya briefing internal. Agar semua staf
melayani tim sertifikat halal sebaik-baiknya.

 

Lalu ada seorang karyawan yang berpikiran ‘maju’. Menciptakan ‘kreativitas’
sendiri. Jadilah poster itu.

 

Itulah sebabnya hanya di satu konter saja yang ditemukan poster seperti
itu. Di tiga konter lainnya tidak ada. Demikian juga konter yang di Bandung dan
Bali.

 

Waktu di bandara Bali saya perlukan masuk ke toko Tous Les Jours. Untuk
pertama kali. Saya beli satu jenis rotinya. Tidak jadi saya makan. MAnies
sekali.

 

Jumat lalu saya juga ke seberang rumah. Saya lihat sudah mulai banyak lagi
pembelinya.

 

Tapi luka Anies-Ahok belum sembuh. Masih banyak yang belum bisa move
on
.

 

Pertemuan Anies-Ahok pasti sangat meredakan. Apalagi kalau bisa
rangkulan. 

 

Pasti seru. Lebih seru dari adegan Denny Jagur OVJ merayu Najwa
Shihab.(Dahlan Iskan)

 

BTP harus bertemu Anies.

 

Ups, salah. 

 

Anies harus bertemu BTP.

 

Ups, salah juga.

 

Gak tahulah. Pokoknya dua orang itu harus bertemu. Untuk meredakan
ketegangan. Terutama di antara pendukung mereka yang belum juga bisa move
on
.

 

Pilkada sudah dua tahun berlalu. Kebencian masih begitu dalam.

 

Apa pun yang dilakukan Anies salah. 

 

Apa pun yang dilakukan Ahok salah.

 

Siapa yang harus berinisiatif? Siapa pun. 

 

Salah satu harus mengalah. Harus berjiwa negarawan.

 

Saya yakin dua orang itu sendiri tidak lagi punya masalah. Tapi para
pendukung fanatiknya itu lho!

 

Ampun.

 

Sampai-sampai Korea jadi korban. 

 

Korea?

 

Ya. Perusahaan Korea. Yang pakai nama mirip Perancis itu: Tous Les Jours.

 

Perusahaan asing pun ternyata bisa jadi korban kebencian antar-ras di
Indonesia. Padahal begitu berat kita mengusahakan iklim agar modal asing mau
datang.

 

Bagaimana bisa perusahaan itu dihoakskan milik Sandrina Malakiano. 

 

Hanya karena Sandrina itu istri Eep Saefullah Fatah.

 

Dan Kang Eep adalah konsultan pemenangan Anies Baswedan.

 

Dan Anies mengalahkan Ahok di Pilkada DKI Jakarta lalu.

 

Dan BTP itu Tionghoa yang Kristen. 

 

Dan Anies itu keturunan Arab yang Islam. 

 

Tidak habis-habisnya.

 

Bagaimana bisa toko roti Tous Les Jours dibilang milik Sandrina. Hanya
karena di konter salah satu toko roti itu pernah ada poster aneh. Yakni: tidak
menerima pesanan pembuatan roti bertuliskan Selamat Natal atau Selamat Imlek.
Atau sejenis itu.

 

Lalu ada kecaman di medsos bahwa toko roti itu rasis –saya setuju dengan
kecaman itu.

 

Yang saya tidak setuju –bahkan jijik– adalah anggapan bahwa yang
rasis-rasis begitu pastilah Eep.

 

Dan Eep itu suami Sandrina. Pasti dikira gara-gara Eep pula Sandrina masuk
Islam. Berjilbab. 

 

Padahal dikira dulunya Sandrina itu sudah Kristen baik-baik karena ayahnya
Kristen.

 

Menjijikkan.

 

Anggapan yang diotak-atik sendiri. Fakta-fakta begitu diabaikan.

 

Ayah Sandrina memang Kristen. Orang Italia. Kristen Gregorian.

 

Tapi ibunya Jawa. Islam kejawen. Campuran Solo-Madura.

 

Dan Sandrina itu Hindu! Dia bukan Kristen. Tidak pernah jadi Kristen. Juga
bukan Islam.

Baca Juga :  Percepat Pembangunan Daerah, Program Prioritas Harus Diselaraskan deng

 

Sandrina tidak ikut agama ayahnya maupun ibunya. 

 

Sandrina pilih Hindu karena sejak bayi hidup di Bali. TK di Bali. SD di
Bali. SMP-SMA di Bali. Masuk fakultas teknik sipil di Universitas Udayana Bali.

 

Bekerja pun di Bali –sebagai penyiar TVRI Denpasar.

 

Setelah lama pindah ke Jakarta –ke TVRI Pusat lalu ke Metro TV– Sandrina
masuk Islam.

 

Itu jauh sebelum kawin dengan Eep Saefullah Fatah. Yang kemudian memberi
mereka dua orang anak.

 

Anak mereka pun dibawa-bawa di gempuran medsos. Dikaitkan sebagai keturunan
rasis.

 

Demi masa depan anak merekalah Eep kini tidak bisa menerima difitnah
seperti itu.

 

Sejak itu Eep –pernah lama kuliah di Ohio State University di Amerika
Serikat– rajin menelusuri siapa raja hoax di balik semua itu.

 

Sudah lama sebenarnya Eep difitnah. Ya sejak Anies-Sandi melawan Ahok-Jarot
dulu itu.

 

Tapi Eep biasa saja.

 

Apalagi pekerjaannya memang menjadi konsultan. Dengan bendera Polmark. Yang
kebetulan dipakai Anies-Sandi. Tentu harus memenangkannya.

 

Kalau pun ia dipakai Ahok ia juga akan memenangkan Ahok.

 

Apakah saat itu tidak ada tawaran dari kubu Ahok?

 

“Tidak ada,” katanya.

 

Kenapa tidak menawarkan diri ke Ahok?

 

“Polmark tidak pernah menawar-nawarkan diri kepada calon kepala
daerah,” katanya.

 

Kali ini Eep akan menempuh jalur hukum meski kemudian akan memaafkannya.

 

Waktu Pilkada DKI itu memang ditemukan spanduk-spanduk anti-Ahok yang
keras. Membawa-bawa Islam pula. Di dekat-dekat masjid. 

Eep-lah yang dituduh mendesain tema kampanye seperti itu. Pokoknya
gara-gara otak Eep-lah Ahok kalah.

 

“Saya sendiri tidak suka spanduk seperti itu. Saya justru minta
diturunkan,” ujar Eep.

 

Ia kini lagi mengumpulkan saksi. Siapa saja yang pernah ia minta menurunkan
spanduk saat itu.

 

Saya memang mengontak Eep minggu lalu. Saat hoaks ini ramai-ramainya. Saat
toko Tous Les Jours di depan rumah saya sepi-sepinya akibat seruan boikot. Yang
di Pacific Place, SCBD, Jakarta itu.

 

Saya ingin konfirmasi apakah Tous Les Jours –dalam bahasa Perancis berarti
‘tiap hari’ –benar milik istrinya. 

 

Yang saya tahu Sandrina memang punya cafe. Tapi hanya satu. Itu
pun jauh di BSD, Barat Jakarta sana. Namanya pun bukan keperancis-perancisan tapi
kespanyol-spanyolan: nama panggilan ibunya. Sang ibu –seorang diplomat–
memang menguasai tujuh bahasa asing.

Baca Juga :  Harga Sembako Masih Stabil

 

Mungkin karena sang ibu bisa berbahasa Perancis maka Tous Les Jours
dianggap pastilah milik Sandrina. 

 

Padahal orang Korea yang ternyata suka pinjam kata-kata Perancis itu. Demi
marketing. Satu lagi yang juga milik Korea dengan nama keparis-parisan: Paris
Baguette. Juga toko roti. Juga laris. Di seluruh Asia.

 

Tapi bagaimana bisa perusahaan Korea punya poster anti-Natal dan anti-Imlek
seperti itu?

 

Bukankah mereka juga Kristen dan bermata sipit?

 

Rupanya ini urusan marketing pula. Rupanya toko roti itu lagi mengurus
sertifikat halal. Entah dapat ilmu dari mana manajemennya menyimpulkan sendiri:
Natal itu tidak halal. Begitu juga Imlek.

 

Maka selama masa uji oleh tim halal dari majelis ulama dibuatlah poster
itu. Mungkin dengan maksud agar Tous Les Jours cepat dianggap halal
sehalal-halalnya.

 

Padahal tidak ada persyaratan seperti itu.

 

Pihak Tous Les Jours sendiri memilih tutup mulut. Wartawan Jabar Ekspres
saya minta ke pabrik roti itu.  

 

Pabrik rotinya memang di Bandung. Di atas tanah 2 hektar. 

 

Mereka tidak mau bicara. Ini dianggap kecelakaan. 

 

Kecelakaan?

 

Konon awalnya itu hanya briefing internal. Agar semua staf
melayani tim sertifikat halal sebaik-baiknya.

 

Lalu ada seorang karyawan yang berpikiran ‘maju’. Menciptakan ‘kreativitas’
sendiri. Jadilah poster itu.

 

Itulah sebabnya hanya di satu konter saja yang ditemukan poster seperti
itu. Di tiga konter lainnya tidak ada. Demikian juga konter yang di Bandung dan
Bali.

 

Waktu di bandara Bali saya perlukan masuk ke toko Tous Les Jours. Untuk
pertama kali. Saya beli satu jenis rotinya. Tidak jadi saya makan. MAnies
sekali.

 

Jumat lalu saya juga ke seberang rumah. Saya lihat sudah mulai banyak lagi
pembelinya.

 

Tapi luka Anies-Ahok belum sembuh. Masih banyak yang belum bisa move
on
.

 

Pertemuan Anies-Ahok pasti sangat meredakan. Apalagi kalau bisa
rangkulan. 

 

Pasti seru. Lebih seru dari adegan Denny Jagur OVJ merayu Najwa
Shihab.(Dahlan Iskan)

 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru