30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Menyusur Tapak Sapi, Memburu Jejak Hantu

Irisan antara yang tradisi dan modern, klasik dan kontemporer, lokal dan nonlokal, fana dan baka, berseliweran menjadi bayangan dalam konflik domestik yang dialami oleh banyak persona.

DIKSI sapi dan hantu refleks menancap sebagai inti sasar saat memulai perjalanan membaca kumpulan puisi Sapi dan Hantu karya Dadang Ari Murtono (Penerbit Pelangi Sastra, 2022). Buku yang menyandang juara III Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2021 ini dikemas minimalis bersampul hitam polos berhuruf judul putih. Samar, ada kesan horor dalam desain sederhana itu.

Saya penasaran adakah kaitannya dengan diksi sapi dan hantu? Ditulis dalam dua bagian, Sapi dan Hantu, dari satu puisi ke satu puisi saya perlahan sangsi benarkah sapi dan hantu yang dibicarakan di sini.

Dimulai dengan ”patung sapi sumberan”. Persona lirik ia muncul merujuk sebongkah patung sapi yang dalam diam kebatuannya meyakini bahwa dirinya ”sesuatu atau sesosok” –entah apa– yang tertidur dalam mimpi buruk panjang. Di masa depan ia akan terbangun dalam wujud sejati sebagai nandini nan suci, hewan mitologi yang dikenal sebagai kendaraan Dewa Siwa.

Namun, ia bukan satusatunya figur. Ada juga bocah-bocah, remaja tanggung, dan orang-orang tak jelas. Tiga figur yang merujuk pada personamanusia tersebut secara implisit membangun ruang lain dalam arus situasi puitik yang dialami si patung sapi, seolah tokoh pendukung yang menggagahi panggung utama.

Baca Juga :  Tanah Para Bandit: Kebenaran dan Kerancuan

Pada bagian kedua, kecenderungan serupa juga saya temukan kala menyusuri jejak imaji hantu. Kemunculan persona-manusia merentang jarak simbolik antara hantu dan hal-hal yang dirujuk olehnya.

Pada akhirnya, hantu hadir tidak hanya dalam batasan ada hantu, melainkan juga konteks menjadi hantu, yang dekat dengan impresi menghantui dan dihantui secara luas.

Pada puisi ”cerita sutami”, hantu menandai sosok wewe gombel, hantu perempuan dalam kepercayaan masyarakat Jawa yang suka menculik bayi. Sementara pada puisi ”kedung baya”, hantu muncul dengan latar belakang historis lokal menyinggung sebuah peristiwa pembantaian.

 

Sapi, Hantu, dan Tokoh

Irisan antara yang tradisi dan modern, klasik dan kontemporer, lokal dan nonlokal, fana dan baka, berseliweran menjadi bayangan dalam konflik domestik yang dialami oleh banyak persona.

Di antara itu bermunculan kata kunci: jagabaya, kiai, TKW, BTI (Barisan Tani Indonesia), PKI, dan lain-lain yang tidak mungkin diabaikan begitu saja. Sejumlah diksi yang merujuk latar lokasi seperti sumberan, celaket, pacet, dan lain-lain tentu mengundang pembacaan kontekstual terhadap kelompok sosial yang ditandainya.

Pada satu titik, saya menyadari bahwa persona-manusialah yang sesungguhnya hadir sebagai pengikat antarpuisi dan antarbagian buku ini. Meski demikian, tetap ada wilayah di mana puisi-puisi ini bisa dibaca dengan labelisasi yang bebas. Wilayah tersebut, penting digarisbawahi, dibangun oleh narasi.

Baca Juga :  Manusia Soliter dan Problematika Berat Badan

Kita berhadapan dengan teks puisi. Namun, perlu disadari bahwa persona lirik dan situasi puitik dalam teks ini sejatinya ditopang oleh konvensi prosa. Di mana peristiwa dan kisah lebih penting dibanding imaji, di mana figur persona tampil dengan nama, predikat sosial, dan konflik, alih-alih pelukisan citraan indrawi.

Di satu sisi, konvensi naratif yang demikian memang menyisihkan aspek ritualistik yang umumnya dominan dalam puisi. Namun, justru itulah konvensi teks yang ditawarkan Sapi dan Hantu.

Pengalaman dan konflik yang mendera figur-figur persona liriknya –atau boleh kita sebut tokoh– menjadi pintu bagi pembaca untuk memasuki jagat teks, di mana sapi dan hantu tampil sebagai suara kecil di gubuk di ujung kampung.

 

Fakta bahwa sapi dan hantu muncul sebagai judul menyiratkan betapa ganjilnya suara kuprit, ki kasan, prapto, sutami, kasidan, sumyar, sepasang kekasih yang batal bunuh diri di padusan –para persona-manusia dalam buku ini. Betapa ganjilnya manusia –tokoh pendukung di jagat raya puitik ini. (*)

Judul: Sapi dan Hantu

Penulis: Dadang Ari Murtono

Penerbit: Pelangi Sastra

Tahun: 2022

Tebal: 80 halaman

Kategori: Puisi

ISBN: 9786236 937525

*) NANDA ALIFYA RAHMAH, Alumnus Sastra Indonesia Universitas Airlangga, berniat di FS3LP

Irisan antara yang tradisi dan modern, klasik dan kontemporer, lokal dan nonlokal, fana dan baka, berseliweran menjadi bayangan dalam konflik domestik yang dialami oleh banyak persona.

DIKSI sapi dan hantu refleks menancap sebagai inti sasar saat memulai perjalanan membaca kumpulan puisi Sapi dan Hantu karya Dadang Ari Murtono (Penerbit Pelangi Sastra, 2022). Buku yang menyandang juara III Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2021 ini dikemas minimalis bersampul hitam polos berhuruf judul putih. Samar, ada kesan horor dalam desain sederhana itu.

Saya penasaran adakah kaitannya dengan diksi sapi dan hantu? Ditulis dalam dua bagian, Sapi dan Hantu, dari satu puisi ke satu puisi saya perlahan sangsi benarkah sapi dan hantu yang dibicarakan di sini.

Dimulai dengan ”patung sapi sumberan”. Persona lirik ia muncul merujuk sebongkah patung sapi yang dalam diam kebatuannya meyakini bahwa dirinya ”sesuatu atau sesosok” –entah apa– yang tertidur dalam mimpi buruk panjang. Di masa depan ia akan terbangun dalam wujud sejati sebagai nandini nan suci, hewan mitologi yang dikenal sebagai kendaraan Dewa Siwa.

Namun, ia bukan satusatunya figur. Ada juga bocah-bocah, remaja tanggung, dan orang-orang tak jelas. Tiga figur yang merujuk pada personamanusia tersebut secara implisit membangun ruang lain dalam arus situasi puitik yang dialami si patung sapi, seolah tokoh pendukung yang menggagahi panggung utama.

Baca Juga :  Tanah Para Bandit: Kebenaran dan Kerancuan

Pada bagian kedua, kecenderungan serupa juga saya temukan kala menyusuri jejak imaji hantu. Kemunculan persona-manusia merentang jarak simbolik antara hantu dan hal-hal yang dirujuk olehnya.

Pada akhirnya, hantu hadir tidak hanya dalam batasan ada hantu, melainkan juga konteks menjadi hantu, yang dekat dengan impresi menghantui dan dihantui secara luas.

Pada puisi ”cerita sutami”, hantu menandai sosok wewe gombel, hantu perempuan dalam kepercayaan masyarakat Jawa yang suka menculik bayi. Sementara pada puisi ”kedung baya”, hantu muncul dengan latar belakang historis lokal menyinggung sebuah peristiwa pembantaian.

 

Sapi, Hantu, dan Tokoh

Irisan antara yang tradisi dan modern, klasik dan kontemporer, lokal dan nonlokal, fana dan baka, berseliweran menjadi bayangan dalam konflik domestik yang dialami oleh banyak persona.

Di antara itu bermunculan kata kunci: jagabaya, kiai, TKW, BTI (Barisan Tani Indonesia), PKI, dan lain-lain yang tidak mungkin diabaikan begitu saja. Sejumlah diksi yang merujuk latar lokasi seperti sumberan, celaket, pacet, dan lain-lain tentu mengundang pembacaan kontekstual terhadap kelompok sosial yang ditandainya.

Pada satu titik, saya menyadari bahwa persona-manusialah yang sesungguhnya hadir sebagai pengikat antarpuisi dan antarbagian buku ini. Meski demikian, tetap ada wilayah di mana puisi-puisi ini bisa dibaca dengan labelisasi yang bebas. Wilayah tersebut, penting digarisbawahi, dibangun oleh narasi.

Baca Juga :  Manusia Soliter dan Problematika Berat Badan

Kita berhadapan dengan teks puisi. Namun, perlu disadari bahwa persona lirik dan situasi puitik dalam teks ini sejatinya ditopang oleh konvensi prosa. Di mana peristiwa dan kisah lebih penting dibanding imaji, di mana figur persona tampil dengan nama, predikat sosial, dan konflik, alih-alih pelukisan citraan indrawi.

Di satu sisi, konvensi naratif yang demikian memang menyisihkan aspek ritualistik yang umumnya dominan dalam puisi. Namun, justru itulah konvensi teks yang ditawarkan Sapi dan Hantu.

Pengalaman dan konflik yang mendera figur-figur persona liriknya –atau boleh kita sebut tokoh– menjadi pintu bagi pembaca untuk memasuki jagat teks, di mana sapi dan hantu tampil sebagai suara kecil di gubuk di ujung kampung.

 

Fakta bahwa sapi dan hantu muncul sebagai judul menyiratkan betapa ganjilnya suara kuprit, ki kasan, prapto, sutami, kasidan, sumyar, sepasang kekasih yang batal bunuh diri di padusan –para persona-manusia dalam buku ini. Betapa ganjilnya manusia –tokoh pendukung di jagat raya puitik ini. (*)

Judul: Sapi dan Hantu

Penulis: Dadang Ari Murtono

Penerbit: Pelangi Sastra

Tahun: 2022

Tebal: 80 halaman

Kategori: Puisi

ISBN: 9786236 937525

*) NANDA ALIFYA RAHMAH, Alumnus Sastra Indonesia Universitas Airlangga, berniat di FS3LP

Terpopuler

Artikel Terbaru