SEJAK berangkat dari rumah saya sengaja pakai kaus pemberian Butet ini: Para Pensiunan. Saya memang ke Jogja untuk itu: menengok Butet yang lagi sakit.
Asu!
Ternyata orangnya baik-baik saja.
Butet Kartaredjasa memang terbaring telentang di tempat tidur. Tapi otaknya tetap waras. Lebih waras lagi kalau diajak ngobrol soal kesenian. Khususnya teater.
Wajah Butet bukan wajah orang yang lagi sakit. Setidaknya ketika saya tengok Kamis (21/10) sore kemarin itu: wajah yang seger, gembira, dan cerah. Bola matanya juga tetap bermain-main sangat hidup.
Tapi saya tidak menyesal menengoknya.
Saya begitu sering nonton teater Gandrik-nya Butet. Tapi baru sekali itu saya ke rumahnya: yang sebenarnya di mBantul, tapi selalu mengaku di Jogja.
Umpatan ''Asu!'' memang menjadi salah satu wiridan Butet. Awalnya saya kira –memakai jurnalisme kira-kira– kata ''Asu!'' itu hanya dzikir Butet di panggung. Ternyata hiasan dinding di rumah Butet pun juga mengandung lafal ''Asu!''. Itu terlihat mencolok di ruang tamu.
Lihatlah juga di Instagram-nya. Yang ia unggah setelah pasang ring ke-5 di jantungnya. Dua tahun lalu. Tepatnya ketika Djaduk, adiknya, baru saja meninggal dunia.
"Inilah foto paling Asu…" tulis judul Instagram Butet hari itu.
Foto yang dimaksud adalah adegan Djaduk yang sedang merangkul kepala Butet. Rangkulan itu begitu kuat sampai kepala Butet nyungsep di dada Djaduk. Rupanya Djaduk sangat gembira Butet sembuh dari sakit jantungnya.
"Kan jantung saya yang bermasalah kok kamu yang meninggal dunia (karena sakit jantung)," tulis Butet yang sudah saya ubah kalimatnya. Di situlah letak ''asu''-nya.
Foto itu diambil oleh putri bungsu Butet: Suci ''Ucis'' Senanti. Di balik nama Suci Senanti konon ada doa: agak anak itu suci senantiasa.
Dari tiga anaknya hanya satu, sulung, yang laki-laki: Giras Basuwondo. Sedang putri kedua bernama Galuh Pascamagma, yang bekerja di Yayasan Djarum.
Nama Pascamagma untuk menandai berakhirnya muntahan magma gunung Merapi kala itu. Sedang kata Galuh menandai bahwa dia punya darah Kalimantan. Gadis, dalam bahasa Banjar, disebut galuh. Istri Butet memang campuran suku Banjar (ibu) dan suku Kutai (ayah). Niatnyi merantau ke Jawa, di masa galuhnyi, adalah untuk memperdalam seni tari. Tapi, asu!, ketemu Butet. Yakni ketika Butet, mungkin pura-pura, kekurangan pemeran teater yang bisa menari.
Maka ketika saya ngobrol soal teater dengan Butet, istri saya ngobrol dengan Ny Rulyani Isfihana: dalam bahasa Banjar campur Kutai.
Di samping ''kaligrafi Asu'' ada hiasan dinding mencolok di rumah itu: foto (lukisan) berukuran besar sekali. Rasanya saya kenal wajah di foto itu: Pangeran Diponegoro selagi muda? Presiden Jokowi di kala muda? "Pak Jokowi," jawab sang istri.
Kakak perempuan Butet (belakang kiri) dan istri Butet (belakang kanan).
Hiasan dinding di salah satu sudut rumah Butet.
"Oh iya," kata saya. Pakaian yang dikenakan Pak Jokowi yang membuat saya ragu. Baru sekali itu saya melihat foto Pak Jokowi dalam pakaian ulama Jawa –dengan penutup kepala seperti yang dikenakan Pangeran Diponegoro. Atau saya yang kurang teliti –keburu ke kamar Butet.
Saya tidak memberi tahu kedatangan saya itu. "Pasti ia ada di rumah," kata saya dalam hati. Saya ikuti berita tentang Butet belakangan ini: ia sedang sakit. Tidak mungkin pergi-pergi.
Butet itu sebenarnya sakti. Ia tidak pernah kena Covid-19. Betapa bahaya kalau ia sampai kena Covid –komorbidnya kan sebanyak lakon pementasannya.
Umurnya: 60 tahun, bulan depan. Punya gula darah. Jantungnya sering bermasalah. Dan komorbid utamanya: makannya ngawur.
Saya sempat mampir ke warung sate dan gule kambing tidak jauh dari rumah Butet. Ups… ada menu bernama Butet di situ –pertanda Butet sering berngawur ke warung itu.
Meski saya juga ke situ, tapi tidak bisa dikategorikan ngawur: kan kalau lagi ke rumah Butet saja.
Yang juga membuat saya optimistis Butet akan sembuh adalah kaus yang lagi dikenakannya.
"Wow! pakai kaus Superman," celetuk saya dari kejauhan, ketika masih di pintu kamar.
"Bukan. Ini kaus Gundala. Kesukaan Azrul Ananda," jawab Butet sambil tetap telentang di tempat tidurnya.
Oh.. Iya. Itu Gundala. Parodi Gundala. Di dada sang Gundala ada tulisan melayani strum accu cepat.
"Ini kaus lama sekali. Pemberian Hasmi," jawab Butet. Hasmi adalah pencipta komik Gundala yang terkenal itu.
Tanpa dijelaskan sebenarnya saya tahu kalau kaus itu sudah lama. Hasmi sendiri sudah meninggal, November 2016. Dan lagi kaus itu memang sudah terlihat seperti wastro lungset ing sampiran. Warna putihnya sudah menjadi putih tulang.
"Terima kasih sumbangan tulisannya," ujar Butet membuka percakapan.
Saya memang baru mengirim satu artikel untuk buku yang segera terbit: 60 Tahun Butet.
Kami (terutama Imawan Mashuri dan Arif Afandi) memang sering mengundang Gandrik ke Surabaya. Yang terakhir untuk pentas lakon Para Pensiunan.
Ada satu lakon yang membuat kepala polisi Surabaya marah berkepanjangan: Sarmin. Memang, Butet menguliti sisi kelakuan buruk polisi di lakon Sarmin. Butet sampai kucing-kucingan setelah itu.
Tapi itulah Butet. Jangankan polisi. Presiden pun jadi bulan-bulanan di pentasnya. Di masa Presiden Gus Dur –yang juga sahabat demokrasinya– ada lakon Republik Bagong. Apalagi di zaman Presiden SBY. Begitu banyak lakon yang keras nan lucu. Puncaknya: Nyonya-nyonya Istana.
"Tapi kenapa belum pernah ''menggarap'' Presiden Jokowi?" tanya saya.
"Lho pernah kan. Lakon ''Tangis'' itu!" jawabnya.
Kami memang banyak bicara soal teater. Butet, seperti biasa, sangat antusias. Saya memang tidak memperlakukan Butet sebagai orang sakit. Bahwa ia harus terus berbaring itu hanya karena punggungnya baru dioperasi. Saraf tulang belakangnya bermasalah. Tapi saya tidak mau bicara itu. Istri saya pernah operasi mirip itu. Sudah lama, bertahun lalu. Dan sekarang tidak pernah kumat lagi.
Bahwa Butet masih harus telentang itu karena operasinya harus diulang. Dia harus menjalani dua kali operasi dalam waktu kurang satu bulan.
Selebihnya, Butet itu orang waras. Bahkan mungkin baik juga untuk sementara tetap di tempat tidur: ha..ha..ha.. agar makannya terjaga. Terbukti Butet terlihat langsing sekarang. Dan itu penting bagi penderita jantung dan diabetes.
"Kapan pentas lakon yang baru lagi?" tanya saya.
"Belum…ha..ha… Sebenarnya naskahnya sudah jadi," jawabnya.
Saya pernah dengar itu. Kalau tidak salah, judulnya akan asu banget: Soimah Dilarang Nyanyi.
Ternyata bukan itu. Judul yang benar adalah: Sinden Dilarang Nyanyi.
Syukurlah. Bayangkan kalau Soimah dilarang nyanyi. Butet bisa tidak akan sembuh-sembuh.
Soal hiasan dinding ASU itu sendiri sebenarnya ada kelakarnya: ASU itu bisa saja sebagai pengganti ASI setelah banyak orang mengganti sebutan ibu dengan umi. (Dahlan Iskan)