31.9 C
Jakarta
Friday, December 27, 2024

Ke(tidak)akuratan LHKPN

KEPATUHAN dan ketaatan setiap penyelenggara negara dalam melaporkan harta kekayaannya layak dipertanyakan. Sebab, sejak 2018 sampai 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memeriksa 1.665 laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dengan hasil 95 persen tidak akurat. Artinya, hanya 5 persen penyelenggara negara yang benar-benar jujur melaporkan harta kekayaan mereka. Pejabat negara diduga menyembunyikan atau tidak sesuai dalam melaporkan harta kekayaan.

 

Ketua KPK Firli Bahuri mengungkapkan, salah satu yang terburuk adalah para pejabat di parlemen. Pandemi menjadi dalih karena staf mereka lebih banyak bekerja dari rumah. Anggota DPR yang melaporkan harta kekayaan masih minim, yakni hanya 58 persen atau baru 330 anggota dari total 569 orang wakil rakyat. Bahkan, ada fraksi yang baru 22 persen anggotanya yang melaporkan, sedangkan yang tertinggi ada fraksi yang sudah 88 persen.

 

Indonesia Corruption Watch ICW (2021) juga memberikan catatan buruk atas kepatuhan pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, TNI-Polri, dan BUMN/BUMD dalam hal penyampaian LHKPN. Sebanyak 80 persen konon melaporkan LHKPN ”asal bapak senang” lantaran biasanya tidak dikerjakan di bawah pengawasan para penyelenggara sendiri. Tetapi dikerjakan stafnya hingga sopir dan pembantunya. Di luar itu, para penyelenggara negara juga belum paham benar apa makna LHKPN sehingga sering mengerjakan LHKPN ”asal kirim”.

Melaporkan harta kekayaan adalah kewajiban setiap penyelenggara negara sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bebas Korupsi. Dalam pasal 5 ayat (3) tercantum, setiap penyelenggara negara wajib melaporkan kekayaan sebelum dan sesudah menjabat. Pasal 20 ayat (1) mengingatkan, penyelenggara negara yang tak melaporkan harta kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat dikenai sanksi administratif. Artinya, ada kewajiban melekat kepadanya untuk menyampaikan LHKPN.

 

Dalam Peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan KPK 7/2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara sudah amat jelas bagaimana mekanisme dan prosedur pelaporan harta kekayaan dimaksud. Adapun kewajiban menyampaikan LHKPN kepada KPK memiliki makna penting. Pertama, setiap penyelenggara negara yang menyerahkan LHKPN sesuai dengan peraturan yang berlaku untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kedua, adanya kewajiban menyerahkan LHKPN secara jujur menjadi faktor penting dalam upaya melakukan kontrol terhadap pelaksanaan perilaku jabatan dari setiap penyelenggara negara sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik.

Baca Juga :  Vaksin vs Mutan

 

Nah, 95 persen LHKPN yang tak akurat seharusnya bisa menjadi indikasi bagi penegak hukum dan KPK untuk meningkatkan pengawasan efektif. Apalagi, UU Tipikor menganut asas beban pembuktian (shifting burden of proof). Ingat, ”Jika memang bersih, mengapa harus risi?”

Ketiga, kepatuhan, kejujuran, dan ketertiban setiap penyelenggara negara dalam menyampaikan LHKPN menjadikan landasan kuat dalam upaya membangun pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa. Keempat, ketidakpatuhan dan ketidakakuratan setiap penyelenggara negara untuk menyerahkan LHKPN selayaknya tidak hanya mendapat sanksi administratif, tetapi juga sanksi etik dan pidana. Slogan Presiden Joko Widodo ”Bersih dan Jujur” serta komitmen mewujudkan pemerintahan yang bebas KKN serta transparan akan runtuh jika para penyelenggara dalam menyampaikan LHKPN sekadar akal-akalan saja.

 

Lebih ironis ketika setiap penyelenggara tidak akurat dalam menyampaikan LHKPN. KPK memberikan catatan bahwa kekayaan pejabat atau penyelenggara negara, baik di pusat maupun daerah, mengalami kenaikan 70,3 persen selama pandemi Covid-19. Berbanding terbalik dengan kondisi ekonomi penduduk Indonesia secara umum. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Jumlah itu hanya menurun tipis 0,01 juta orang dibanding September 2020. Namun, jika dibandingkan pada Maret 2020, jumlah penduduk miskin naik 1,12 juta orang.

 

Akal sehat kita pun bertanya: mengapa harta kekayaan pejabat dan penyelenggara naik, tapi tidak akurat dalam melaporkan kepada KPK? Apa setiap penyelenggara hanya menganggap LHKPN sekadar formalitas memenuhi amanat UU? Atau memang ada harta yang didapat setiap penyelenggara secara ilegal atau tidak wajar? Mungkin karena sanksi hukumnya sekadar dipahami sanksi administratif?

Baca Juga :  Sumpah Pemuda di Era Bisnis Digital

Pelaporan LHKPN adalah bagian dari upaya pemberantasan korupsi. Maka, bila penyelenggara negara tidak akurat, bahkan menolak menyampaikan LHKPN, patut dipertanyakan komitmennya mendukung pemberantasan korupsi.

Hemat saya, perlu ada langkah menyeluruh dalam penyampaian LHKPN semua penyelenggara negara dalam mewujudkan bebas KKN dan tata kelola pemerintahan yang baik. Pertama, LHKPN dari setiap penyelenggara negara wajib hukumnya diteliti dan dikaji secara detail oleh KPK. Jika ada indikasi mencurigakan dan tak wajar, segera beri tahukan kepada yang bersangkutan dan apa langkah KPK jika terbukti LHKPN berpotensi terjadinya pelanggaran administrasi dan hukum.

 

Kedua, LHKPN harus dijadikan wahana untuk saling mengawasi di lingkungan lembaga setiap penyelenggara negara bekerja. Pimpinan instansi dan jajaran terkait bisa menggunakan LHKPN untuk menciptakan birokrasi yang bersih, transparan, dan akuntabel. Hal tersebut akan mempermudah KPK dalam melakukan pemeriksaan LHKPN. LHKPN para penyelenggara yang 100 persen akurat sesuai hukum akan menciptakan iklim pemberantasan korupsi yang kondusif dalam tata kelola pemerintahan.

 

Ketiga, bila saat ini ada penyelenggara negara yang tidak melaporkan LHKPN karena berpendapat tak ada sanksi pidananya, sebaiknya kebijakan LHKPN diubah saja ke fase hukuman berat sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Perlu ada efek jera bagi setiap para penyelenggara negara yang lalai dan tidak/belum menyampaikan LHKPN. Harus diberikan sanksi penjara dan denda, bukan hanya sanksi administratif. UU 28/1999 sebaiknya direvisi untuk memuat sanksi pidana bagi para penyelenggara yang tidak jujur, lalai, dan menolak menyampaikan LHKPN. Budaya patuh dan disiplin dalam pelaporan LHKPN tidak dapat terbangun jika tidak disertai sanksi hukum yang menjerakan. (*)

JOKO RIYANTO, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta

KEPATUHAN dan ketaatan setiap penyelenggara negara dalam melaporkan harta kekayaannya layak dipertanyakan. Sebab, sejak 2018 sampai 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memeriksa 1.665 laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dengan hasil 95 persen tidak akurat. Artinya, hanya 5 persen penyelenggara negara yang benar-benar jujur melaporkan harta kekayaan mereka. Pejabat negara diduga menyembunyikan atau tidak sesuai dalam melaporkan harta kekayaan.

 

Ketua KPK Firli Bahuri mengungkapkan, salah satu yang terburuk adalah para pejabat di parlemen. Pandemi menjadi dalih karena staf mereka lebih banyak bekerja dari rumah. Anggota DPR yang melaporkan harta kekayaan masih minim, yakni hanya 58 persen atau baru 330 anggota dari total 569 orang wakil rakyat. Bahkan, ada fraksi yang baru 22 persen anggotanya yang melaporkan, sedangkan yang tertinggi ada fraksi yang sudah 88 persen.

 

Indonesia Corruption Watch ICW (2021) juga memberikan catatan buruk atas kepatuhan pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, TNI-Polri, dan BUMN/BUMD dalam hal penyampaian LHKPN. Sebanyak 80 persen konon melaporkan LHKPN ”asal bapak senang” lantaran biasanya tidak dikerjakan di bawah pengawasan para penyelenggara sendiri. Tetapi dikerjakan stafnya hingga sopir dan pembantunya. Di luar itu, para penyelenggara negara juga belum paham benar apa makna LHKPN sehingga sering mengerjakan LHKPN ”asal kirim”.

Melaporkan harta kekayaan adalah kewajiban setiap penyelenggara negara sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bebas Korupsi. Dalam pasal 5 ayat (3) tercantum, setiap penyelenggara negara wajib melaporkan kekayaan sebelum dan sesudah menjabat. Pasal 20 ayat (1) mengingatkan, penyelenggara negara yang tak melaporkan harta kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat dikenai sanksi administratif. Artinya, ada kewajiban melekat kepadanya untuk menyampaikan LHKPN.

 

Dalam Peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan KPK 7/2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara sudah amat jelas bagaimana mekanisme dan prosedur pelaporan harta kekayaan dimaksud. Adapun kewajiban menyampaikan LHKPN kepada KPK memiliki makna penting. Pertama, setiap penyelenggara negara yang menyerahkan LHKPN sesuai dengan peraturan yang berlaku untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kedua, adanya kewajiban menyerahkan LHKPN secara jujur menjadi faktor penting dalam upaya melakukan kontrol terhadap pelaksanaan perilaku jabatan dari setiap penyelenggara negara sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik.

Baca Juga :  Vaksin vs Mutan

 

Nah, 95 persen LHKPN yang tak akurat seharusnya bisa menjadi indikasi bagi penegak hukum dan KPK untuk meningkatkan pengawasan efektif. Apalagi, UU Tipikor menganut asas beban pembuktian (shifting burden of proof). Ingat, ”Jika memang bersih, mengapa harus risi?”

Ketiga, kepatuhan, kejujuran, dan ketertiban setiap penyelenggara negara dalam menyampaikan LHKPN menjadikan landasan kuat dalam upaya membangun pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa. Keempat, ketidakpatuhan dan ketidakakuratan setiap penyelenggara negara untuk menyerahkan LHKPN selayaknya tidak hanya mendapat sanksi administratif, tetapi juga sanksi etik dan pidana. Slogan Presiden Joko Widodo ”Bersih dan Jujur” serta komitmen mewujudkan pemerintahan yang bebas KKN serta transparan akan runtuh jika para penyelenggara dalam menyampaikan LHKPN sekadar akal-akalan saja.

 

Lebih ironis ketika setiap penyelenggara tidak akurat dalam menyampaikan LHKPN. KPK memberikan catatan bahwa kekayaan pejabat atau penyelenggara negara, baik di pusat maupun daerah, mengalami kenaikan 70,3 persen selama pandemi Covid-19. Berbanding terbalik dengan kondisi ekonomi penduduk Indonesia secara umum. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Jumlah itu hanya menurun tipis 0,01 juta orang dibanding September 2020. Namun, jika dibandingkan pada Maret 2020, jumlah penduduk miskin naik 1,12 juta orang.

 

Akal sehat kita pun bertanya: mengapa harta kekayaan pejabat dan penyelenggara naik, tapi tidak akurat dalam melaporkan kepada KPK? Apa setiap penyelenggara hanya menganggap LHKPN sekadar formalitas memenuhi amanat UU? Atau memang ada harta yang didapat setiap penyelenggara secara ilegal atau tidak wajar? Mungkin karena sanksi hukumnya sekadar dipahami sanksi administratif?

Baca Juga :  Sumpah Pemuda di Era Bisnis Digital

Pelaporan LHKPN adalah bagian dari upaya pemberantasan korupsi. Maka, bila penyelenggara negara tidak akurat, bahkan menolak menyampaikan LHKPN, patut dipertanyakan komitmennya mendukung pemberantasan korupsi.

Hemat saya, perlu ada langkah menyeluruh dalam penyampaian LHKPN semua penyelenggara negara dalam mewujudkan bebas KKN dan tata kelola pemerintahan yang baik. Pertama, LHKPN dari setiap penyelenggara negara wajib hukumnya diteliti dan dikaji secara detail oleh KPK. Jika ada indikasi mencurigakan dan tak wajar, segera beri tahukan kepada yang bersangkutan dan apa langkah KPK jika terbukti LHKPN berpotensi terjadinya pelanggaran administrasi dan hukum.

 

Kedua, LHKPN harus dijadikan wahana untuk saling mengawasi di lingkungan lembaga setiap penyelenggara negara bekerja. Pimpinan instansi dan jajaran terkait bisa menggunakan LHKPN untuk menciptakan birokrasi yang bersih, transparan, dan akuntabel. Hal tersebut akan mempermudah KPK dalam melakukan pemeriksaan LHKPN. LHKPN para penyelenggara yang 100 persen akurat sesuai hukum akan menciptakan iklim pemberantasan korupsi yang kondusif dalam tata kelola pemerintahan.

 

Ketiga, bila saat ini ada penyelenggara negara yang tidak melaporkan LHKPN karena berpendapat tak ada sanksi pidananya, sebaiknya kebijakan LHKPN diubah saja ke fase hukuman berat sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Perlu ada efek jera bagi setiap para penyelenggara negara yang lalai dan tidak/belum menyampaikan LHKPN. Harus diberikan sanksi penjara dan denda, bukan hanya sanksi administratif. UU 28/1999 sebaiknya direvisi untuk memuat sanksi pidana bagi para penyelenggara yang tidak jujur, lalai, dan menolak menyampaikan LHKPN. Budaya patuh dan disiplin dalam pelaporan LHKPN tidak dapat terbangun jika tidak disertai sanksi hukum yang menjerakan. (*)

JOKO RIYANTO, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta

Terpopuler

Artikel Terbaru