28.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Edhy Prabowo: Jangankan Dihukum Mati, Lebih dari Itu Saya Siap!

PROKALTENG.CO-Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo
mengaku siap dituntut hukuman mati dalam kasus dugaan suap penetapan izin
ekspor benih lobster atau benur. Edhy menegaskan, tidak akan lari dari tanggung
jawab dari kasus yang menjeratnya.

“Sekali lagi kalau memang saya dianggap salah, saya tidak lari
dari kesalahan, saya tetap tanggung jawab. Jangankan dihukum mati, lebih dari
itu pun saya siap yang penting demi masyarakat saya,” kata Edhy di Gedung Merah
Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin (22/2).

Mantan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini mengklaim, tidak
akan menutupi kasus dugaan suap benur. Dia berjanji akan kooperatif menjalani
proses hukum tersebut.

“Saya tidak lari dari kesalahan yang ada. Silakan proses
peradilan berjalan, makannya saya lakukan ini. Saya tidak akan lari, dan saya
tidak bicara bahwa yang saya lakukan pasti benar, nggak,” beber Edhy.

Edhy mengakui, program ekspor benur bukan sepenuh keinginan
pribadinya. Dia mengklaim, hal itu untuk membantu keinginan masyarakat.

“Permen yang kami bikin itu bukan atas dasar keinginan menteri,
tapi keinginan masyarakat supaya permasalahan lobster yang selama ini tidak
dibolehkan itu, yang selama ini rakyat menangkap malah ditangkap, nangkap
lobster tidak boleh menikmati sumber daya alam yang ada di negara kita,
sekarang kita hidupkan. Ini kan permintaan dari mereka yang sudah diajukan
semua kelompok, pemerintah, DPR,” tegas Edhy.

Baca Juga :  Melestarikan Kearifan Lokal dengan Menggelar Lomba Jukung Tradisional

Edhy menyebut, Permen itu tidak dibuat dalam waktu singkat,
melainkan melalui kajian yang matang dan memakan waktu enam bulan. Setelah
menjadi draf, Permen itu pun didiskusikan kepada Presiden Joko Widodo dan
jajaran Kabinet Indonesia Maju.

“Kita laporkan ke Presiden melalui Mensesneg dan Menseskab,
semua terlibat. Kami laporkan juga dengan Menko, enggak sendirian. Bandingkan
dengan dulu, Permen yang dulu melarang (ekspor benur) yang keluarnya hanya satu
minggu, sangat berbeda. Jadi ini semua ada uji akademisnya, ada uji teknisnya,
ada melibatkan stakeholder pelaku usaha, jadi tidak muncul begitu saja,” ujar Edhy
menandaskan.

Dalam perkara tersebut, KPK menetapkan tujuh orang sebagai
tersangka. Mereka di antaranya mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy
Prabowo; dua stafsus Menteri Kelautan dan Perikanan, Safri (SAF) dan Andreau
Pribadi Misanta (APM); Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadi (SWD); staf
istri Menteri Kelautan dan Perikanan, Ainul Faqih (AF) dan pihak swasta, Amiril
Mukminin. Sementara diduga sebagai pihak pemberi, KPK menetapkan Direktur PT
Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito (SJT) sebagai tersangka.

Baca Juga :  Larangan Pemprov Kalteng dan Pemkab Barsel Tidak Diindahkan

KPK menduga Edhy Prabowo menerima suap dengan total Rp 10,2
miliar dan USD 100.000 dari Suharjito.
Suap tersebut diberikan agar Edhy selaku Menteri Kalautan dan Perikanan
memberikan izin kepada PT Dua Putra Perkasa Pratama untuk menerima izin sebagai
eksportir benih lobster atau benur.

Keenam tersangka penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12
ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sedangkan tersangka pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5
ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

PROKALTENG.CO-Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo
mengaku siap dituntut hukuman mati dalam kasus dugaan suap penetapan izin
ekspor benih lobster atau benur. Edhy menegaskan, tidak akan lari dari tanggung
jawab dari kasus yang menjeratnya.

“Sekali lagi kalau memang saya dianggap salah, saya tidak lari
dari kesalahan, saya tetap tanggung jawab. Jangankan dihukum mati, lebih dari
itu pun saya siap yang penting demi masyarakat saya,” kata Edhy di Gedung Merah
Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin (22/2).

Mantan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini mengklaim, tidak
akan menutupi kasus dugaan suap benur. Dia berjanji akan kooperatif menjalani
proses hukum tersebut.

“Saya tidak lari dari kesalahan yang ada. Silakan proses
peradilan berjalan, makannya saya lakukan ini. Saya tidak akan lari, dan saya
tidak bicara bahwa yang saya lakukan pasti benar, nggak,” beber Edhy.

Edhy mengakui, program ekspor benur bukan sepenuh keinginan
pribadinya. Dia mengklaim, hal itu untuk membantu keinginan masyarakat.

“Permen yang kami bikin itu bukan atas dasar keinginan menteri,
tapi keinginan masyarakat supaya permasalahan lobster yang selama ini tidak
dibolehkan itu, yang selama ini rakyat menangkap malah ditangkap, nangkap
lobster tidak boleh menikmati sumber daya alam yang ada di negara kita,
sekarang kita hidupkan. Ini kan permintaan dari mereka yang sudah diajukan
semua kelompok, pemerintah, DPR,” tegas Edhy.

Baca Juga :  Melestarikan Kearifan Lokal dengan Menggelar Lomba Jukung Tradisional

Edhy menyebut, Permen itu tidak dibuat dalam waktu singkat,
melainkan melalui kajian yang matang dan memakan waktu enam bulan. Setelah
menjadi draf, Permen itu pun didiskusikan kepada Presiden Joko Widodo dan
jajaran Kabinet Indonesia Maju.

“Kita laporkan ke Presiden melalui Mensesneg dan Menseskab,
semua terlibat. Kami laporkan juga dengan Menko, enggak sendirian. Bandingkan
dengan dulu, Permen yang dulu melarang (ekspor benur) yang keluarnya hanya satu
minggu, sangat berbeda. Jadi ini semua ada uji akademisnya, ada uji teknisnya,
ada melibatkan stakeholder pelaku usaha, jadi tidak muncul begitu saja,” ujar Edhy
menandaskan.

Dalam perkara tersebut, KPK menetapkan tujuh orang sebagai
tersangka. Mereka di antaranya mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy
Prabowo; dua stafsus Menteri Kelautan dan Perikanan, Safri (SAF) dan Andreau
Pribadi Misanta (APM); Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadi (SWD); staf
istri Menteri Kelautan dan Perikanan, Ainul Faqih (AF) dan pihak swasta, Amiril
Mukminin. Sementara diduga sebagai pihak pemberi, KPK menetapkan Direktur PT
Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito (SJT) sebagai tersangka.

Baca Juga :  Larangan Pemprov Kalteng dan Pemkab Barsel Tidak Diindahkan

KPK menduga Edhy Prabowo menerima suap dengan total Rp 10,2
miliar dan USD 100.000 dari Suharjito.
Suap tersebut diberikan agar Edhy selaku Menteri Kalautan dan Perikanan
memberikan izin kepada PT Dua Putra Perkasa Pratama untuk menerima izin sebagai
eksportir benih lobster atau benur.

Keenam tersangka penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12
ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sedangkan tersangka pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5
ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Terpopuler

Artikel Terbaru