30.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Target Meleset, Kursi Ketum Digoyang

SEJUMLAH partai politik (parpol) mengalami gejolak di internal
pasca Pilpres 2019. Terlebih menjelang habisnya masa bakti ketua umum. Dinamika
itu kini terjadi di Golkar dan Demokrat. Beberapa kader internal kedua parpol
itu mendesak mempercepat forum pergantian ketua umum. Golkar melalui musyawarah
nasional (Munas). Sedangkan kongres bagi Demokrat.

“Gejolak itu bisa disebabkan oleh
adanya power struggle yang didorong persaingan internal. Tujuannya untuk
merebut posisi-posisi strategis di partai,” ujar pengamat politik Ade Reza
Hariyadi di Jakarta, Senin (8/7).

Menurut Ade, ada tiga faktor yang
memicu gejolak internal parpol. Pertama, adanya persaingan internal untuk
memperoleh posisi strategis. “Posisi strategis partai dapat memperkuat kendali
internal. Selain itu, bisa untuk meningkatkan posisi tawar dalam merespon
formasi pemerintahan terutama pengisian kursi kabinet,” jelas Ade Reza.

Faktor kedua adalah kekecewaan
terhadap kinerja politik pengurus sebelumnya yang dianggap tidak berhasil.
Salah satunya adalah turunnya perolehan suara pada Pemilu Legislatif 2019.

Seperti diketahui, Golkar dan
Demokrat mengalami penurunan perolehan suara pada Pemilu 2019. Berdasarkan
rekapitulasi akhir KPU, Golkar meraih 17.229.789 suara atau 12,3 persen. Golkar
berada di bawah PDIP dan Gerindra dalam hal raihan suara nasional. Golkar
berada di peringkat ketiga. Hasil itu membuat Golkar hanya mampu meraih 85
kursi di DPR. Peroleh ini tidak sesuai dengan target Golkar yakni 110 kursi di
DPR RI. Sebelumnya pada Pemilu 2014, Partai Beringin menempatkan 91 wakilnya di
Senayan.

Baca Juga :  PKB: Menteri Jokowi Harus Lebih Gila

Hal serupa juga dialami Demokrat.
Rekapitulasi KPU menyatakan Demokrat meraih 10.876.507 suara atau 7,77 persen.
Suara Demokrat anjlok jika dibandingkan dengan perolehan pada 2014 yang
mencapai 12.728.913 suara atau 10,9 persen.

Pada Pemilu 2019 ini, Demokrat
hanya meraih 54 kursi alias turun 7 kursi dari Pemilu 2014. Turunnya perolehan
suara ini juga membuat Demokrat terlempar dari posisi lima besar.

Hal tersebut, mendorong munculnya
desakan pergantian ketua umum partai politik. Alasannya bermacam-macam. Ada
yang menyebut, mesin parpol tidak bekerja maksimal di bawah kepemimpinan sang
ketua umum. Ada pula yang mengaitkan dengan jiwa kepemimpinan atau leadership.
“Dengan dasar itu, mereka mendesak ketua umum diganti,” imbuhnya.

Faktor ketiga bisa dapat berasal
dari eksternal partai. Ade Reza mencontohkan misalnya adanya kepentingan
pemenang Pilpres untuk memastikan loyalitas dukungan parpol. Namun, hal ini
terjadi jika manakala kepengurusan partai sebelumnya dianggap kurang responsif
dalam menjaga basis legitimasi politik bagi stabilitas kekuasaan.

“Faktor eksternal ini bisa
mengakselerasi dinamika internal partai politik bersangkutan. Selain itu,
campur tangan yang berlebihan bisa mengganggu soliditas partai,” ucapnya.

Sebelumnya, Ketua Koordinator
Bidang Kepartaian DPP Partai Golkar, Ibnu Munzir menegaskan Ketua Dewan Pembina
Golkar Aburizal Bakrie tidak pernah meminta dilakukan evaluasi terhadap
kepemimpinan Airlangga Hartarto. “Yang diminta hanya evaluasi terkait gambaran
kegiatan yang sudah terlaksana pada Pilpres dan Pileg 2019,” ujar Ibnu.

Baca Juga :  Ketua PKS Kota Palangka Raya Serahkan Bantuan kepada Warga yang Terke

Dia menyatakan Dewan Pembina
Golkar juga telah mengirimkan surat arahan kepada DPP Partai Golkar. Salah satu
isinya menyebut pelaksanaan Munas Golkar tetap dilakukan Desember 2019. Hal
ini, lanjutnya, sesuai dengan hasil Munaslub 2017.

Sementara di Demokrat, ada
tudingan dari kelompok yang mengatasnamakan diri sebagai Forum Komunikasi
Pendiri dan Deklarator (FKPD) Partai Demokrat. Mereka menyebut Lembaga Komando
Satuan Tugas Bersama (Kogasma) sebagai lembaga yang ilegal. Namun, hal itu
dibantah oleh Sekjen DPP Partai Demokrat Hinca Pandjaitan. Dia menegaskan
Kogasma Pemenangan Pemilu 2019 Partai Demokrat yang dipimpin Agus Harimurti
Yudhoyono merupakan lembaga yang legal.

“Kogasma lembaga legal. Ini
sesuai dengan spirit AD/ART Partai Demokrat,” ujar Hinca.

Hinca mengatakan sebagaimana
tertuang dalam Surat Keputusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat
No.92/SK/DPP.PD/II/2018, lembaga Kogasma dibentuk oleh DPP Partai Demokrat
sebagai respon atas kebutuhan partai menyukseskan perjuangan menuju Pemilu
2019. “UU No.2/ 2011 tentang Partai Politik, AD/ART Partai Demokrat serta
Program Umum Partai Demokrat 2015-2020, Rapat Pengurus DPP Partai Demokrat pada
tanggal 9 Februari 2018 menetapkan terbentuknya lembaga Kogasma ini. Jadi,
pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang menilai Kogasma ilegal adalah keliru besar
dan tidak berdasar,” tegas Hinca.

Menurutnya, manuver politik yang
dilancarkan kelompok yang mengatasnamakan diri sebagai FKPD Partai Demokrat
sesungguhnya merupakan masalah internal dan tidak berdasar. (rh/fin/kpc)

SEJUMLAH partai politik (parpol) mengalami gejolak di internal
pasca Pilpres 2019. Terlebih menjelang habisnya masa bakti ketua umum. Dinamika
itu kini terjadi di Golkar dan Demokrat. Beberapa kader internal kedua parpol
itu mendesak mempercepat forum pergantian ketua umum. Golkar melalui musyawarah
nasional (Munas). Sedangkan kongres bagi Demokrat.

“Gejolak itu bisa disebabkan oleh
adanya power struggle yang didorong persaingan internal. Tujuannya untuk
merebut posisi-posisi strategis di partai,” ujar pengamat politik Ade Reza
Hariyadi di Jakarta, Senin (8/7).

Menurut Ade, ada tiga faktor yang
memicu gejolak internal parpol. Pertama, adanya persaingan internal untuk
memperoleh posisi strategis. “Posisi strategis partai dapat memperkuat kendali
internal. Selain itu, bisa untuk meningkatkan posisi tawar dalam merespon
formasi pemerintahan terutama pengisian kursi kabinet,” jelas Ade Reza.

Faktor kedua adalah kekecewaan
terhadap kinerja politik pengurus sebelumnya yang dianggap tidak berhasil.
Salah satunya adalah turunnya perolehan suara pada Pemilu Legislatif 2019.

Seperti diketahui, Golkar dan
Demokrat mengalami penurunan perolehan suara pada Pemilu 2019. Berdasarkan
rekapitulasi akhir KPU, Golkar meraih 17.229.789 suara atau 12,3 persen. Golkar
berada di bawah PDIP dan Gerindra dalam hal raihan suara nasional. Golkar
berada di peringkat ketiga. Hasil itu membuat Golkar hanya mampu meraih 85
kursi di DPR. Peroleh ini tidak sesuai dengan target Golkar yakni 110 kursi di
DPR RI. Sebelumnya pada Pemilu 2014, Partai Beringin menempatkan 91 wakilnya di
Senayan.

Baca Juga :  PKB: Menteri Jokowi Harus Lebih Gila

Hal serupa juga dialami Demokrat.
Rekapitulasi KPU menyatakan Demokrat meraih 10.876.507 suara atau 7,77 persen.
Suara Demokrat anjlok jika dibandingkan dengan perolehan pada 2014 yang
mencapai 12.728.913 suara atau 10,9 persen.

Pada Pemilu 2019 ini, Demokrat
hanya meraih 54 kursi alias turun 7 kursi dari Pemilu 2014. Turunnya perolehan
suara ini juga membuat Demokrat terlempar dari posisi lima besar.

Hal tersebut, mendorong munculnya
desakan pergantian ketua umum partai politik. Alasannya bermacam-macam. Ada
yang menyebut, mesin parpol tidak bekerja maksimal di bawah kepemimpinan sang
ketua umum. Ada pula yang mengaitkan dengan jiwa kepemimpinan atau leadership.
“Dengan dasar itu, mereka mendesak ketua umum diganti,” imbuhnya.

Faktor ketiga bisa dapat berasal
dari eksternal partai. Ade Reza mencontohkan misalnya adanya kepentingan
pemenang Pilpres untuk memastikan loyalitas dukungan parpol. Namun, hal ini
terjadi jika manakala kepengurusan partai sebelumnya dianggap kurang responsif
dalam menjaga basis legitimasi politik bagi stabilitas kekuasaan.

“Faktor eksternal ini bisa
mengakselerasi dinamika internal partai politik bersangkutan. Selain itu,
campur tangan yang berlebihan bisa mengganggu soliditas partai,” ucapnya.

Sebelumnya, Ketua Koordinator
Bidang Kepartaian DPP Partai Golkar, Ibnu Munzir menegaskan Ketua Dewan Pembina
Golkar Aburizal Bakrie tidak pernah meminta dilakukan evaluasi terhadap
kepemimpinan Airlangga Hartarto. “Yang diminta hanya evaluasi terkait gambaran
kegiatan yang sudah terlaksana pada Pilpres dan Pileg 2019,” ujar Ibnu.

Baca Juga :  Ketua PKS Kota Palangka Raya Serahkan Bantuan kepada Warga yang Terke

Dia menyatakan Dewan Pembina
Golkar juga telah mengirimkan surat arahan kepada DPP Partai Golkar. Salah satu
isinya menyebut pelaksanaan Munas Golkar tetap dilakukan Desember 2019. Hal
ini, lanjutnya, sesuai dengan hasil Munaslub 2017.

Sementara di Demokrat, ada
tudingan dari kelompok yang mengatasnamakan diri sebagai Forum Komunikasi
Pendiri dan Deklarator (FKPD) Partai Demokrat. Mereka menyebut Lembaga Komando
Satuan Tugas Bersama (Kogasma) sebagai lembaga yang ilegal. Namun, hal itu
dibantah oleh Sekjen DPP Partai Demokrat Hinca Pandjaitan. Dia menegaskan
Kogasma Pemenangan Pemilu 2019 Partai Demokrat yang dipimpin Agus Harimurti
Yudhoyono merupakan lembaga yang legal.

“Kogasma lembaga legal. Ini
sesuai dengan spirit AD/ART Partai Demokrat,” ujar Hinca.

Hinca mengatakan sebagaimana
tertuang dalam Surat Keputusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat
No.92/SK/DPP.PD/II/2018, lembaga Kogasma dibentuk oleh DPP Partai Demokrat
sebagai respon atas kebutuhan partai menyukseskan perjuangan menuju Pemilu
2019. “UU No.2/ 2011 tentang Partai Politik, AD/ART Partai Demokrat serta
Program Umum Partai Demokrat 2015-2020, Rapat Pengurus DPP Partai Demokrat pada
tanggal 9 Februari 2018 menetapkan terbentuknya lembaga Kogasma ini. Jadi,
pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang menilai Kogasma ilegal adalah keliru besar
dan tidak berdasar,” tegas Hinca.

Menurutnya, manuver politik yang
dilancarkan kelompok yang mengatasnamakan diri sebagai FKPD Partai Demokrat
sesungguhnya merupakan masalah internal dan tidak berdasar. (rh/fin/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru