30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Petahana Kehilangan Mahkota

PEMILIHAN Kepala Desa (Pilkades) bagian dari suatu proses politik bagi masyarakat desa menentukan pemimpinnya. Tak ayal, Pilkades ini dikemas menjadi ajang kompetensi politik yang begitu kental dimanfaatkan untuk edukasi politik bagi masyarakat. Sesuai dengan Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, masyarakat menentukan siapa pemimpinnya untuk 6 tahun kedepan.

Dalam pelaksanaannya begitu mendetail keterkaitan antara pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaannya. Sehingga, perlu ketelitian dari tiap calon pemilih dalam menilai calon pemimpin yang akan dipilihnya. Namun pilkades terasa lebih spesifik dari pada pemilu-pemilu lainnya, seperti Pilpres, Pileg, dan Pilkada. Karena ada adanya kedekatan dan keterkaitan secara langsung antara pemilih dan para calon kepala desa.

Bahkan tak jarang suhu politik pada Pilkades lebih bergeregat ketimbang Pemilu lainnya, apalagi para calonnya sudah dikenal secara detail oleh masyarakat, mulai dari track record hingga pada isi dompetnya. Oleh karena kedekatan dan mengetahui sepak terjang calon, masyarakat kerap tidak menilai dari penampilan dan paparan program atau visi misi calon.

Baca Juga :  Kuartal III Bisa Minus 0,5 Persen

Tampaknya kondisi demikian tergambar pada Pilkades serentak di 62 Desa yang tersebar di 10 Kecamatan di Kabupaten Murung Raya pada Rabu 9 Juni 2021. Ungkapan yang penting senang dan bisa menang inilah belakang menjadi jawaban terhadap ketumbangan calon kepala desa petahana. Bayangkan saja, dari 39 calon petahana, hanya 13 calon saja yang mampu bertahan melanjutkan programnya. 26 petahana harus berjiwa besar menyingkirkan keinginannya untuk melanjutkan kekuasaan.

Pilkades yang tertanam semangat demokrasi untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat ini, tampaknya menjadi panggung pertunjukan kemampuan.

Setiap calon memiliki stel dan gaya komunikasi yang khas untuk menggaet calon pemilihnya, meski calon pemilihnya berprinsip yang penting senang dan bisa menang. Lemahnya komunikasi politik dan rendahnya kapabilitas menjadi penghalang bagi calon kepala desa untuk menduduki kekuasan tertinggi di desanya.

Baca Juga :  Polisi: Antara Kekerasan dan Citra Humanis

Apalagi suatu desa tidak hanya dapat dipimpin oleh pemimpin yang bermodalkan kefiguritasan namun cacat secara intelektual, moral dan sosial. Pemimpin yang dibutuhkan oleh masyarakat sekarang adalah seseorang memiliki akseptabilitas namun ditunjang oleh moral yang baik, memiliki kemampuan yang cukup untuk memimpin dan membimbing masyarakatnya.

Disamping itu juga, calon kepala desa memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas administratif dan perpolitikan, serta memiliki wawasan yang luas dan pandangan yang luas terhadap perbaikan desa dan sumber daya masyarakat.

Tidak kalah pentingnya, apabila krisis kepercayaan lantaran gagalnya memberikan yang terbaik untuk pembangunan dan kesejahteraan, maka siap-siap menerima sanksi moral dengan tidak dipilih. Sehingga kehilangan mahkota (kedudukan dan kekuasaan). 

PEMILIHAN Kepala Desa (Pilkades) bagian dari suatu proses politik bagi masyarakat desa menentukan pemimpinnya. Tak ayal, Pilkades ini dikemas menjadi ajang kompetensi politik yang begitu kental dimanfaatkan untuk edukasi politik bagi masyarakat. Sesuai dengan Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, masyarakat menentukan siapa pemimpinnya untuk 6 tahun kedepan.

Dalam pelaksanaannya begitu mendetail keterkaitan antara pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaannya. Sehingga, perlu ketelitian dari tiap calon pemilih dalam menilai calon pemimpin yang akan dipilihnya. Namun pilkades terasa lebih spesifik dari pada pemilu-pemilu lainnya, seperti Pilpres, Pileg, dan Pilkada. Karena ada adanya kedekatan dan keterkaitan secara langsung antara pemilih dan para calon kepala desa.

Bahkan tak jarang suhu politik pada Pilkades lebih bergeregat ketimbang Pemilu lainnya, apalagi para calonnya sudah dikenal secara detail oleh masyarakat, mulai dari track record hingga pada isi dompetnya. Oleh karena kedekatan dan mengetahui sepak terjang calon, masyarakat kerap tidak menilai dari penampilan dan paparan program atau visi misi calon.

Baca Juga :  Kuartal III Bisa Minus 0,5 Persen

Tampaknya kondisi demikian tergambar pada Pilkades serentak di 62 Desa yang tersebar di 10 Kecamatan di Kabupaten Murung Raya pada Rabu 9 Juni 2021. Ungkapan yang penting senang dan bisa menang inilah belakang menjadi jawaban terhadap ketumbangan calon kepala desa petahana. Bayangkan saja, dari 39 calon petahana, hanya 13 calon saja yang mampu bertahan melanjutkan programnya. 26 petahana harus berjiwa besar menyingkirkan keinginannya untuk melanjutkan kekuasaan.

Pilkades yang tertanam semangat demokrasi untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat ini, tampaknya menjadi panggung pertunjukan kemampuan.

Setiap calon memiliki stel dan gaya komunikasi yang khas untuk menggaet calon pemilihnya, meski calon pemilihnya berprinsip yang penting senang dan bisa menang. Lemahnya komunikasi politik dan rendahnya kapabilitas menjadi penghalang bagi calon kepala desa untuk menduduki kekuasan tertinggi di desanya.

Baca Juga :  Polisi: Antara Kekerasan dan Citra Humanis

Apalagi suatu desa tidak hanya dapat dipimpin oleh pemimpin yang bermodalkan kefiguritasan namun cacat secara intelektual, moral dan sosial. Pemimpin yang dibutuhkan oleh masyarakat sekarang adalah seseorang memiliki akseptabilitas namun ditunjang oleh moral yang baik, memiliki kemampuan yang cukup untuk memimpin dan membimbing masyarakatnya.

Disamping itu juga, calon kepala desa memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas administratif dan perpolitikan, serta memiliki wawasan yang luas dan pandangan yang luas terhadap perbaikan desa dan sumber daya masyarakat.

Tidak kalah pentingnya, apabila krisis kepercayaan lantaran gagalnya memberikan yang terbaik untuk pembangunan dan kesejahteraan, maka siap-siap menerima sanksi moral dengan tidak dipilih. Sehingga kehilangan mahkota (kedudukan dan kekuasaan). 

Terpopuler

Artikel Terbaru