33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Mewaspadai Janji Manis Ekonomi Digital

BANYAK harapan digantungkan pada industri
e-commerce. Di tengah kondisi perekonomian yang menurun akibat pandemi
Covid-19, ekonomi digital sering disebut-sebut bakal menjadi salah satu tulang
punggung bagi perkembangan perekonomian nasional.

 

Proyeksi Bank Indonesia (BI) melaporkan
transaksi perdagangan secara elektronik (e-commerce) akan melonjak 33 persen
dari Rp 253 triliun pada 2020 menjadi Rp 337 triliun pada 2021. Transaksi uang
elektronik diperkirakan naik 32 persen dari Rp 201 triliun menjadi Rp 266
triliun. Sedangkan transaksi digital banking diprediksi tumbuh 19 persen dari
Rp 27.000 triliun menjadi Rp 32.200 triliun.

 

Berbeda dengan sektor perekonomian
konvensional yang bergantung pada interaksi tatap muka antara penjual dan
pembeli, dalam ekonomi digital semua transaksi dilakukan di ruang virtual.
Dengan berbekal gadget atau laptop dan dukungan internet, konsumen dapat
berselancar untuk memilih produk-produk yang mereka inginkan.

 

Sementara itu, tanpa harus memiliki
lapak-lapak dan konter tertentu, para penjual dapat menjajakan produknya di
dunia maya. Cyber mal dan shopping online kini menjadi bagian dari gaya hidup
masyarakat postmodern. Tanpa harus pergi ke mal-mal, konsumen sekarang sudah
bisa berbelanja barang yang diinginkan melalui transaksi daring dari rumah.
Kemudahan seperti inilah yang membuat aktivitas perekonomian tidak mati meski
mobilitas sosial dibatasi.

 

Sharing Economy

 

Bagi pelaku ekonomi yang sudah mapan dan
tidak kesulitan menanamkan investasi perangkat elektronik, kesempatan yang
ditawarkan ekonomi digital jelas sangat menguntungkan. Seperti dikatakan
Christian Fuchs (2014) dalam bukunya, Digital Labour and Karl Marx, bahwa
dominasi kapitalis tidak akan terhenti meski zaman sudah berubah ke era
digital.

 

Dengan keahlian dan dukungan modal besar yang
dimiliki, kapitalis akan mampu mempertahankan dan bahkan terus berekspansi
merebut ceruk-ceruk pasar baru. Selama pandemi Covid-19, kita bisa melihat
bahwa pelaku ekonomi berskala raksasa rata-rata makin meningkat tingkat
penguasaannya pada pasar.

Baca Juga :  Menilik Hak Masyarakat Dalam Kebijakan PPKM

 

Alih-alih ceruk pasar mereka sebagian
terserap pelaku ekonomi berskala kecil dan menengah, yang terjadi justru
sebaliknya. Perkembangan economy sharing yang disebut-sebut menjadi jembatan
bagi pelaku UMKM untuk memperluas pangsa pasar tidak selalu menjanjikan.
Menjadi pemasok produk UMKM ke situs-situs penjual produk online memang sepintas
tampak menguntungkan. Tetapi, apakah pembagian margin keuntungan antara pelaku
UMKM dan kekuatan kapitalis pelaku ekonomi digital berjalan proporsional?

Sharing economy adalah sistem transaksi
ekonomi baru di mana pelaku ekonomi menggunakan platform teknologi pihak ketiga
yang cocok dengan penyedia dan pengguna untuk bertukar barang, jasa, dan ide
dengan cara yang tidak mengalihkan kepemilikan. Menurut Schor (2014), aktivitas
sharing economy terbagi dalam empat kategori besar: resirkulasi barang, peningkatan
pemanfaatan aset tahan lama, pertukaran layanan, dan berbagi aset produktif.

Dewasa ini, istilah sharing economy sering
digunakan untuk menggambarkan spektrum layanan, aktivitas, bisnis, dan mode
konsumsi yang sangat luas. Oleh karena itu, sharing economy sering digunakan
sebagai istilah umum atau digunakan secara bergantian dengan ”konsumsi
kolaboratif”. Ide inti sharing economy adalah berbagi daripada memiliki.

Para pelaku UMKM yang tergabung dan
memasarkan produknya melalui platform seperti Bukalapak, Tokopedia, Lazada, dan
lain-lain adalah orang-orang yang memilih bergabung dalam sebuah situs layanan
penjualan secara bersama. Dengan bergabung pada platform ekonomi daring, para
pelaku UMKM memiliki kesempatan memasarkan produk yang mereka hasilkan ke
seluruh Indonesia, bahkan dunia.

Apa yang inovatif tentang praktik berbagi
saat ini adalah bahwa ia mampu memfasilitasi berbagi antara orang asing melalui
teknologi digital. Bagi pelaku UMKM yang melek teknologi, mereka biasanya
dengan mudah beradaptasi dengan ekonomi digital. Tetapi, lain soal bagi pelaku
UMKM yang masih gaptek dan tidak familier dengan penggunaan gawai. Pelaku UMKM
yang menjadi korban kesenjangan digital bukan tidak mungkin makin terpuruk
ketika pelaku UMKM lain makin mampu merebut pangsa pasar tradisional mereka.

Baca Juga :  Menimbang Potensi Pariwisata dalam Mengakselerasi Ekonomi Kalteng 2021

 

Janji Manis

Sepanjang memiliki kemampuan literasi
digital, pelaku UMKM niscaya tidak masalah beradaptasi dengan ekonomi digital.
Pengalaman telah banyak membuktikan bahwa pelaku UMKM yang mampu bertahan hidup
umumnya adalah pelaku UMKM yang melibatkan diri dalam praktik sharing economy.
Mereka tergabung dalam berbagai platform ekonomi untuk menawarkan dan
memperluas pangsa pasar bagi produk-produk yang dihasilkan.

Tidak diragukan lagi, tren perkembangan
ekonomi online ini niscaya akan berlanjut karena masyarakat menjadi lebih
terhubung secara digital. Para ahli telah memprediksi bahwa sharing economy
adalah inovasi baru yang membuka kemungkinan yang tak terhitung banyaknya untuk
perubahan radikal dalam cara kita bekerja, cara kita mengonsumsi,
bersosialisasi, menciptakan nilai dalam perekonomian, dan bersaing untuk
mendapatkan keuntungan yang dihasilkan.

Melalui e-commerce dan ekonomi digital,
perekonomian Indonesia diprediksi menjadi kekuatan ekonomi baru dunia pada
tahun-tahun mendatang. Janji manis ini bukan tanpa bukti. Dari data analisis
Ernst & Young, dilaporkan pertumbuhan nilai penjualan bisnis online di
tanah air setiap tahun meningkat 40 persen. Ada sekitar 100 juta lebih pengguna
internet dan telepon pintar di Indonesia. Jelas mereka adalah pangsa pasar yang
sangat menjanjikan.

Masalahnya sekarang: ketika kemampuan
literasi digital pelaku ekonomi masih terpolarisasi, lantas siapa yang memetik
keuntungan terbesar dari perkembangan ekonomi digital? Pertanyaan ini perlu
dijawab agar euforia terhadap perkembangan ekonomi digital tidak berlebihan.
Jangan sampai terjadi, apa yang ditawarkan ekonomi digital ternyata hanya janji
manis yang menipu. Pelaku UMKM yang tidak memiliki kemampuan literasi digital
niscaya hanya akan menjadi korban daripada menjadi penikmat keuntungan
perkembangan ekonomi digital. (*)

Rahma Sugihartati, Dosen Isu-Isu Masyarakat
Digital Prodi S-3 Ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga

BANYAK harapan digantungkan pada industri
e-commerce. Di tengah kondisi perekonomian yang menurun akibat pandemi
Covid-19, ekonomi digital sering disebut-sebut bakal menjadi salah satu tulang
punggung bagi perkembangan perekonomian nasional.

 

Proyeksi Bank Indonesia (BI) melaporkan
transaksi perdagangan secara elektronik (e-commerce) akan melonjak 33 persen
dari Rp 253 triliun pada 2020 menjadi Rp 337 triliun pada 2021. Transaksi uang
elektronik diperkirakan naik 32 persen dari Rp 201 triliun menjadi Rp 266
triliun. Sedangkan transaksi digital banking diprediksi tumbuh 19 persen dari
Rp 27.000 triliun menjadi Rp 32.200 triliun.

 

Berbeda dengan sektor perekonomian
konvensional yang bergantung pada interaksi tatap muka antara penjual dan
pembeli, dalam ekonomi digital semua transaksi dilakukan di ruang virtual.
Dengan berbekal gadget atau laptop dan dukungan internet, konsumen dapat
berselancar untuk memilih produk-produk yang mereka inginkan.

 

Sementara itu, tanpa harus memiliki
lapak-lapak dan konter tertentu, para penjual dapat menjajakan produknya di
dunia maya. Cyber mal dan shopping online kini menjadi bagian dari gaya hidup
masyarakat postmodern. Tanpa harus pergi ke mal-mal, konsumen sekarang sudah
bisa berbelanja barang yang diinginkan melalui transaksi daring dari rumah.
Kemudahan seperti inilah yang membuat aktivitas perekonomian tidak mati meski
mobilitas sosial dibatasi.

 

Sharing Economy

 

Bagi pelaku ekonomi yang sudah mapan dan
tidak kesulitan menanamkan investasi perangkat elektronik, kesempatan yang
ditawarkan ekonomi digital jelas sangat menguntungkan. Seperti dikatakan
Christian Fuchs (2014) dalam bukunya, Digital Labour and Karl Marx, bahwa
dominasi kapitalis tidak akan terhenti meski zaman sudah berubah ke era
digital.

 

Dengan keahlian dan dukungan modal besar yang
dimiliki, kapitalis akan mampu mempertahankan dan bahkan terus berekspansi
merebut ceruk-ceruk pasar baru. Selama pandemi Covid-19, kita bisa melihat
bahwa pelaku ekonomi berskala raksasa rata-rata makin meningkat tingkat
penguasaannya pada pasar.

Baca Juga :  Menilik Hak Masyarakat Dalam Kebijakan PPKM

 

Alih-alih ceruk pasar mereka sebagian
terserap pelaku ekonomi berskala kecil dan menengah, yang terjadi justru
sebaliknya. Perkembangan economy sharing yang disebut-sebut menjadi jembatan
bagi pelaku UMKM untuk memperluas pangsa pasar tidak selalu menjanjikan.
Menjadi pemasok produk UMKM ke situs-situs penjual produk online memang sepintas
tampak menguntungkan. Tetapi, apakah pembagian margin keuntungan antara pelaku
UMKM dan kekuatan kapitalis pelaku ekonomi digital berjalan proporsional?

Sharing economy adalah sistem transaksi
ekonomi baru di mana pelaku ekonomi menggunakan platform teknologi pihak ketiga
yang cocok dengan penyedia dan pengguna untuk bertukar barang, jasa, dan ide
dengan cara yang tidak mengalihkan kepemilikan. Menurut Schor (2014), aktivitas
sharing economy terbagi dalam empat kategori besar: resirkulasi barang, peningkatan
pemanfaatan aset tahan lama, pertukaran layanan, dan berbagi aset produktif.

Dewasa ini, istilah sharing economy sering
digunakan untuk menggambarkan spektrum layanan, aktivitas, bisnis, dan mode
konsumsi yang sangat luas. Oleh karena itu, sharing economy sering digunakan
sebagai istilah umum atau digunakan secara bergantian dengan ”konsumsi
kolaboratif”. Ide inti sharing economy adalah berbagi daripada memiliki.

Para pelaku UMKM yang tergabung dan
memasarkan produknya melalui platform seperti Bukalapak, Tokopedia, Lazada, dan
lain-lain adalah orang-orang yang memilih bergabung dalam sebuah situs layanan
penjualan secara bersama. Dengan bergabung pada platform ekonomi daring, para
pelaku UMKM memiliki kesempatan memasarkan produk yang mereka hasilkan ke
seluruh Indonesia, bahkan dunia.

Apa yang inovatif tentang praktik berbagi
saat ini adalah bahwa ia mampu memfasilitasi berbagi antara orang asing melalui
teknologi digital. Bagi pelaku UMKM yang melek teknologi, mereka biasanya
dengan mudah beradaptasi dengan ekonomi digital. Tetapi, lain soal bagi pelaku
UMKM yang masih gaptek dan tidak familier dengan penggunaan gawai. Pelaku UMKM
yang menjadi korban kesenjangan digital bukan tidak mungkin makin terpuruk
ketika pelaku UMKM lain makin mampu merebut pangsa pasar tradisional mereka.

Baca Juga :  Menimbang Potensi Pariwisata dalam Mengakselerasi Ekonomi Kalteng 2021

 

Janji Manis

Sepanjang memiliki kemampuan literasi
digital, pelaku UMKM niscaya tidak masalah beradaptasi dengan ekonomi digital.
Pengalaman telah banyak membuktikan bahwa pelaku UMKM yang mampu bertahan hidup
umumnya adalah pelaku UMKM yang melibatkan diri dalam praktik sharing economy.
Mereka tergabung dalam berbagai platform ekonomi untuk menawarkan dan
memperluas pangsa pasar bagi produk-produk yang dihasilkan.

Tidak diragukan lagi, tren perkembangan
ekonomi online ini niscaya akan berlanjut karena masyarakat menjadi lebih
terhubung secara digital. Para ahli telah memprediksi bahwa sharing economy
adalah inovasi baru yang membuka kemungkinan yang tak terhitung banyaknya untuk
perubahan radikal dalam cara kita bekerja, cara kita mengonsumsi,
bersosialisasi, menciptakan nilai dalam perekonomian, dan bersaing untuk
mendapatkan keuntungan yang dihasilkan.

Melalui e-commerce dan ekonomi digital,
perekonomian Indonesia diprediksi menjadi kekuatan ekonomi baru dunia pada
tahun-tahun mendatang. Janji manis ini bukan tanpa bukti. Dari data analisis
Ernst & Young, dilaporkan pertumbuhan nilai penjualan bisnis online di
tanah air setiap tahun meningkat 40 persen. Ada sekitar 100 juta lebih pengguna
internet dan telepon pintar di Indonesia. Jelas mereka adalah pangsa pasar yang
sangat menjanjikan.

Masalahnya sekarang: ketika kemampuan
literasi digital pelaku ekonomi masih terpolarisasi, lantas siapa yang memetik
keuntungan terbesar dari perkembangan ekonomi digital? Pertanyaan ini perlu
dijawab agar euforia terhadap perkembangan ekonomi digital tidak berlebihan.
Jangan sampai terjadi, apa yang ditawarkan ekonomi digital ternyata hanya janji
manis yang menipu. Pelaku UMKM yang tidak memiliki kemampuan literasi digital
niscaya hanya akan menjadi korban daripada menjadi penikmat keuntungan
perkembangan ekonomi digital. (*)

Rahma Sugihartati, Dosen Isu-Isu Masyarakat
Digital Prodi S-3 Ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga

Terpopuler

Artikel Terbaru