28.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Tenggelamnya Nilai-nilai Antikorupsi

DI tengah pandemi Covid-19 yang belum mereda, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali membuat kebijakan yang kontroversial. Setelah sebelumnya terungkap pernah meminta naik gaji pada awal masa pandemi, kini Firli Bahuri Cs kembali membuat citra lembaga antirasuah makin hancur lebur. Itu setelah terungkap adanya rapat kerja organisasi dan tata kelola (Ortaka) yang digelar sebuah Hotel Bintang 5 di Jogjakarta, pada 27-29 Oktober 2021.

Beda dulu, beda sekarang. Kalau soal kenaikan gaji mereka langsung menyangkal dan buru-buru bilang akan menunda kebijakan itu. Kini, Firli Bahuri Cs justru tak canggung lagi ketika terungkap media sedang menyelenggarakan rapat di sebuah hotel mewah seluas 5,6 hektar milik Mooryati Soedibyo.

Mereka seperti tak punya rasa sense of crisis, urat malu, dan tak berempati kepada masyarakat yang sedang kesusahan karena pandemi Covid-19. Segendang sepenarian, tak ada suara-suara sumbang dari pejabat struktural KPK yang berani menentang ataupun menolak titah Firli Bahuri Cs.

Padahal budaya egaliter, dan penolakan terhadap kebijakan pimpinan yang dinilai bertentangan dengan prinsip dan nilai antikorupsi boleh dilakukan oleh pegawai KPK. Hal ini tercermin dalam Peraturan Dewas KPK No.01 Tahun 2020 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi. Khususnya Bab Soal Nilai Profesionalisme. (Poin 2: Menolak perintah atasan yang bertentangan dengan prosedur operasional standar (Standard Operating Procedure/SOP) dan norma hukum yang berlaku).

Kini, mereka seakan manut saja ketika diboyong oleh pimpinan ke Kota Gudeg selama tiga hari dua malam. Suara-suara sumbang justru bermunculan dari para pegawai-pegawai KPK di level staff, maupun mantan pegawai KPK yang didepak melalui operasi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Mereka risih, karena nilai-nilai antikorupsi yang selama belasan tahun dibangun para pendirinya, dihancurkan begitu saja oleh pimpinan sekarang.

Kalau ingin bijak dan tak mengurangi esensi kegiatan, rapat tersebut seharusnya bisa dilakukan di gedung Merah Putih milik KPK. Bukan di hotel mewah yang biasa dikunjungi Miss Universe saban tahunnya. Atau, bisa juga anggarannya dialihkan untuk mengejar Harun Masiku seperti yang digaungkan Eks Pimpinan KPK Saut Situmorang. Sebab politikus PDIP yang menjadi buron dalam kasus suap Komisioner KPU Wayu Setiawan, sampai saat ini tak diketahui di mana rimbanya.

Baca Juga :  Menjegal Pemudik Nakal

Namun seperti biasa, suara-suara penolakan yang datang bertubi-tubi dari luar Kuningan (istilah lokasi markas KPK) dianggap seperti nyamuk saja yang kerap berdengung dan mengganggu. Sehingga cukup didengarkan saja. Bila perlu harus dimatikan dengan raket anti nyamuk atau disemprot pestisida.

 

Kalau saja kondisi tak lagi sulit karena pandemi, mungkin masyarakat bisa memaklumi pengeluaran anggaran yang tak sedikit ini. Meski, saya yakin masih akan ditentang banyak pihak, terutama pegiat antikorupsi. Ini karena KPK merupakan role model bagi lembaga lain untuk menerapkan sembilan nilai integritas dalam kehidupan sehari-hari. Utamanya nilai soal kesederhanaan.

Hal itu juga diatur dalam Peraturan Dewas KPK No.01 Tahun 2020 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi). Utamanya Bab Soal Integritas Poin 27, : “Tidak menunjukkan gaya hidup hedonisme sebagai bentuk empati kepada masyarakat terutama kepada sesama Insan Komisi ”.

Dengan ditabraknya nilai kesederhanaan oleh pimpinan dan diikuti oleh pejabat-pejabat struktural, tentunya ini bertentangan dengan etika publik dan kembali membuat citra lembaga antirasuah kembali tercoreng. Ke depan, hal ini juga bisa berdampak negatif bagi insan KPK ketika melakukan kampanye pencegahan korupsi.

Bagaimana masyarakat akan patuh ketika pegawai KPK berteriak lantang meminta masyarakat Indonesia mengaplikasikan nilai kesederhanaan dalam sembilan nilai integritas, jika orang-orang KPK sendiri tidak memberi suri tauladan yang baik dan justru hidup bermewah-mewahan?

Baca Juga :  Ancaman Destruksi Pemulihan Ekonomi

Jika alasannya hal yang dilakukan pihaknya juga pernah dilakukan pimpinan sebelumnya seperti yang dikemukakan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, tentunya konteksnya kurang tepat dan hanya mencari pembenaran. Sebab, saat ini adalah masa pandemi. Semua lembaga negara mengencangkan ikat pinggang, melakukan efisensi pengeluaran dan mengalihkan anggaran untuk penanggulangan Covid-19.

Jika alasannya, meski hotel bintang lima harga bintang tiga, Itu justru salah kaprah. Hotel bintang lima ya tarifnya sesuai harga bintang lima. Kalau harganya berubah menjadi harga bintang tiga karena minta diskon, justru hal ini melanggar aturan. Hal itu justru bisa masuk ranah gratifikasi dan rawan konflik kepentingan karena terkait kedinasan.

Jika alasannya demi pemerataan ekonomi dan penyerapan anggaran. Hal ini juga kurang tepat, karena yang menikmati kucuran duit besar dari KPK ini, bukan rakyat jelata. Jadi, pemerataan ekonomi besar kemungkinan tidak terjadi karena tak berdampak langsung ke masyarakat kelas menengah ke bawah yang saat ini membutuhkan uluran tangan.

Kalau ingin membantu pemerataan ekonomi dan langsung dinikmati oleh masyarakat kecil, pimpinan KPK sebenarnya bisa menyelenggarakan rapat di tempat yang sederhana. Misalnya, melakukan rapat di sebuah balai desa, dan tidur di tempat rumah-rumah penduduk kampung dengan cara menyewanya. Selain itu, juga membuat pasar dadakan bekerja sama dengan unit UMKM desa setempat.

Dengan melakukan kegiatan sederhana ini, jelas selain penyerapan anggaran langsung bisa dinikmati oleh kalangan rakyat kelas menengah ke bawah. Pesan antikorupsi, utamanya soal nilai kesederhanaan juga langsung bisa dikomunikasikan dengan baik. Harapannya, pesan-pesan antikorupsi yang selama ini digaungkan KPK di berbagai acara seminar ataupun webinar, bisa lebih membumi. Isu korupsi tidak menjadi isu elit yang hanya dibicarakan kelas menengah atas.

*) Kuswandi, Jurnalis JawaPos.com

DI tengah pandemi Covid-19 yang belum mereda, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali membuat kebijakan yang kontroversial. Setelah sebelumnya terungkap pernah meminta naik gaji pada awal masa pandemi, kini Firli Bahuri Cs kembali membuat citra lembaga antirasuah makin hancur lebur. Itu setelah terungkap adanya rapat kerja organisasi dan tata kelola (Ortaka) yang digelar sebuah Hotel Bintang 5 di Jogjakarta, pada 27-29 Oktober 2021.

Beda dulu, beda sekarang. Kalau soal kenaikan gaji mereka langsung menyangkal dan buru-buru bilang akan menunda kebijakan itu. Kini, Firli Bahuri Cs justru tak canggung lagi ketika terungkap media sedang menyelenggarakan rapat di sebuah hotel mewah seluas 5,6 hektar milik Mooryati Soedibyo.

Mereka seperti tak punya rasa sense of crisis, urat malu, dan tak berempati kepada masyarakat yang sedang kesusahan karena pandemi Covid-19. Segendang sepenarian, tak ada suara-suara sumbang dari pejabat struktural KPK yang berani menentang ataupun menolak titah Firli Bahuri Cs.

Padahal budaya egaliter, dan penolakan terhadap kebijakan pimpinan yang dinilai bertentangan dengan prinsip dan nilai antikorupsi boleh dilakukan oleh pegawai KPK. Hal ini tercermin dalam Peraturan Dewas KPK No.01 Tahun 2020 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi. Khususnya Bab Soal Nilai Profesionalisme. (Poin 2: Menolak perintah atasan yang bertentangan dengan prosedur operasional standar (Standard Operating Procedure/SOP) dan norma hukum yang berlaku).

Kini, mereka seakan manut saja ketika diboyong oleh pimpinan ke Kota Gudeg selama tiga hari dua malam. Suara-suara sumbang justru bermunculan dari para pegawai-pegawai KPK di level staff, maupun mantan pegawai KPK yang didepak melalui operasi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Mereka risih, karena nilai-nilai antikorupsi yang selama belasan tahun dibangun para pendirinya, dihancurkan begitu saja oleh pimpinan sekarang.

Kalau ingin bijak dan tak mengurangi esensi kegiatan, rapat tersebut seharusnya bisa dilakukan di gedung Merah Putih milik KPK. Bukan di hotel mewah yang biasa dikunjungi Miss Universe saban tahunnya. Atau, bisa juga anggarannya dialihkan untuk mengejar Harun Masiku seperti yang digaungkan Eks Pimpinan KPK Saut Situmorang. Sebab politikus PDIP yang menjadi buron dalam kasus suap Komisioner KPU Wayu Setiawan, sampai saat ini tak diketahui di mana rimbanya.

Baca Juga :  Menjegal Pemudik Nakal

Namun seperti biasa, suara-suara penolakan yang datang bertubi-tubi dari luar Kuningan (istilah lokasi markas KPK) dianggap seperti nyamuk saja yang kerap berdengung dan mengganggu. Sehingga cukup didengarkan saja. Bila perlu harus dimatikan dengan raket anti nyamuk atau disemprot pestisida.

 

Kalau saja kondisi tak lagi sulit karena pandemi, mungkin masyarakat bisa memaklumi pengeluaran anggaran yang tak sedikit ini. Meski, saya yakin masih akan ditentang banyak pihak, terutama pegiat antikorupsi. Ini karena KPK merupakan role model bagi lembaga lain untuk menerapkan sembilan nilai integritas dalam kehidupan sehari-hari. Utamanya nilai soal kesederhanaan.

Hal itu juga diatur dalam Peraturan Dewas KPK No.01 Tahun 2020 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi). Utamanya Bab Soal Integritas Poin 27, : “Tidak menunjukkan gaya hidup hedonisme sebagai bentuk empati kepada masyarakat terutama kepada sesama Insan Komisi ”.

Dengan ditabraknya nilai kesederhanaan oleh pimpinan dan diikuti oleh pejabat-pejabat struktural, tentunya ini bertentangan dengan etika publik dan kembali membuat citra lembaga antirasuah kembali tercoreng. Ke depan, hal ini juga bisa berdampak negatif bagi insan KPK ketika melakukan kampanye pencegahan korupsi.

Bagaimana masyarakat akan patuh ketika pegawai KPK berteriak lantang meminta masyarakat Indonesia mengaplikasikan nilai kesederhanaan dalam sembilan nilai integritas, jika orang-orang KPK sendiri tidak memberi suri tauladan yang baik dan justru hidup bermewah-mewahan?

Baca Juga :  Ancaman Destruksi Pemulihan Ekonomi

Jika alasannya hal yang dilakukan pihaknya juga pernah dilakukan pimpinan sebelumnya seperti yang dikemukakan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, tentunya konteksnya kurang tepat dan hanya mencari pembenaran. Sebab, saat ini adalah masa pandemi. Semua lembaga negara mengencangkan ikat pinggang, melakukan efisensi pengeluaran dan mengalihkan anggaran untuk penanggulangan Covid-19.

Jika alasannya, meski hotel bintang lima harga bintang tiga, Itu justru salah kaprah. Hotel bintang lima ya tarifnya sesuai harga bintang lima. Kalau harganya berubah menjadi harga bintang tiga karena minta diskon, justru hal ini melanggar aturan. Hal itu justru bisa masuk ranah gratifikasi dan rawan konflik kepentingan karena terkait kedinasan.

Jika alasannya demi pemerataan ekonomi dan penyerapan anggaran. Hal ini juga kurang tepat, karena yang menikmati kucuran duit besar dari KPK ini, bukan rakyat jelata. Jadi, pemerataan ekonomi besar kemungkinan tidak terjadi karena tak berdampak langsung ke masyarakat kelas menengah ke bawah yang saat ini membutuhkan uluran tangan.

Kalau ingin membantu pemerataan ekonomi dan langsung dinikmati oleh masyarakat kecil, pimpinan KPK sebenarnya bisa menyelenggarakan rapat di tempat yang sederhana. Misalnya, melakukan rapat di sebuah balai desa, dan tidur di tempat rumah-rumah penduduk kampung dengan cara menyewanya. Selain itu, juga membuat pasar dadakan bekerja sama dengan unit UMKM desa setempat.

Dengan melakukan kegiatan sederhana ini, jelas selain penyerapan anggaran langsung bisa dinikmati oleh kalangan rakyat kelas menengah ke bawah. Pesan antikorupsi, utamanya soal nilai kesederhanaan juga langsung bisa dikomunikasikan dengan baik. Harapannya, pesan-pesan antikorupsi yang selama ini digaungkan KPK di berbagai acara seminar ataupun webinar, bisa lebih membumi. Isu korupsi tidak menjadi isu elit yang hanya dibicarakan kelas menengah atas.

*) Kuswandi, Jurnalis JawaPos.com

Terpopuler

Artikel Terbaru