33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Penjelasan Jokowi soal Pemberian Grasi kepada Koruptor

Keputusan
Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada mantan gubernur Riau yang menjadi
terpidana korupsi, Annas Maamun, menuai kecaman. Kebijakan tersebut dinilai
bertentangan dengan semangat antikorupsi yang semestinya memberikan hukuman
dengan efek jera bagi koruptor.

Namun,
Jokowi membantah anggapan tersebut. Dia berdalih, keputusan itu sudah sesuai
dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yang diatur dalam undang-undang. ’’Grasi
itu adalah hak yang diberikan kepada presiden atas pertimbangan MA (Mahkamah
Agung). Itu jelas sekali dalam UUD (Undang-Undang Dasar) kita. Jelas sekali,’’
ujarnya di Istana Kepresidenan Bogor kemarin (27/11).

Annas
Maamun merupakan terpidana korupsi alih fungsi lahan. Dia ditangkap KPK pada 25
September 2014. Hakim telah memvonisnya tujuh tahun penjara. Jokowi memberikan
grasi berupaya potongan masa hukuman satu tahun. Dengan ’’korting’’ tersebut,
pria 79 tahun itu diprediksi bebas pada Oktober 2020.

Baca Juga :  Strategi Wedding Organizer Bertahan di Masa Pandemi

Pemberian
grasi kepada Annas, lanjut Jokowi, sudah dipertimbangkan MA serta Kementerian
Koordinator Politik Hukum dan HAM. Dia mengakui, aspek kemanusiaan menjadi
pertimbangan utama. ’’Dari sisi kemanusiaan, memang umurnya juga sudah uzur dan
sakit-sakitan terus,’’ ungkapnya.

Sementara
itu, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadana menilai,
pemberian grasi itu mempertegas kesan minimnya sikap antikorupsi presiden.
’’Jadi, kesimpulan bahwa Presiden Joko Widodo tidak memiliki komitmen
antikorupsi itu bukan tanpa dasar,’’ ujarnya kemarin.

Sebelumnya,
kata dia, presiden juga merestui calon pimpinan KPK yang diduga mempunyai
banyak persoalan, menyetujui revisi UU KPK, serta menolak mengeluarkan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menyelamatkan KPK.

Kurnia
menambahkan, pemberian grasi bagi Annas harus dipertanyakan. Sebab, korupsi
telah digolongkan sebagai extraordinary crime alias kejahatan luar biasa.
’’Pengurangan hukuman dalam bentuk dan alasan apa pun tidak dapat dibenarkan,’’
tegasnya.(jpc)

Baca Juga :  Museum Sejarah Rasulullah Akan Dibangun di Indonesia

 

Keputusan
Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada mantan gubernur Riau yang menjadi
terpidana korupsi, Annas Maamun, menuai kecaman. Kebijakan tersebut dinilai
bertentangan dengan semangat antikorupsi yang semestinya memberikan hukuman
dengan efek jera bagi koruptor.

Namun,
Jokowi membantah anggapan tersebut. Dia berdalih, keputusan itu sudah sesuai
dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yang diatur dalam undang-undang. ’’Grasi
itu adalah hak yang diberikan kepada presiden atas pertimbangan MA (Mahkamah
Agung). Itu jelas sekali dalam UUD (Undang-Undang Dasar) kita. Jelas sekali,’’
ujarnya di Istana Kepresidenan Bogor kemarin (27/11).

Annas
Maamun merupakan terpidana korupsi alih fungsi lahan. Dia ditangkap KPK pada 25
September 2014. Hakim telah memvonisnya tujuh tahun penjara. Jokowi memberikan
grasi berupaya potongan masa hukuman satu tahun. Dengan ’’korting’’ tersebut,
pria 79 tahun itu diprediksi bebas pada Oktober 2020.

Baca Juga :  Strategi Wedding Organizer Bertahan di Masa Pandemi

Pemberian
grasi kepada Annas, lanjut Jokowi, sudah dipertimbangkan MA serta Kementerian
Koordinator Politik Hukum dan HAM. Dia mengakui, aspek kemanusiaan menjadi
pertimbangan utama. ’’Dari sisi kemanusiaan, memang umurnya juga sudah uzur dan
sakit-sakitan terus,’’ ungkapnya.

Sementara
itu, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadana menilai,
pemberian grasi itu mempertegas kesan minimnya sikap antikorupsi presiden.
’’Jadi, kesimpulan bahwa Presiden Joko Widodo tidak memiliki komitmen
antikorupsi itu bukan tanpa dasar,’’ ujarnya kemarin.

Sebelumnya,
kata dia, presiden juga merestui calon pimpinan KPK yang diduga mempunyai
banyak persoalan, menyetujui revisi UU KPK, serta menolak mengeluarkan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menyelamatkan KPK.

Kurnia
menambahkan, pemberian grasi bagi Annas harus dipertanyakan. Sebab, korupsi
telah digolongkan sebagai extraordinary crime alias kejahatan luar biasa.
’’Pengurangan hukuman dalam bentuk dan alasan apa pun tidak dapat dibenarkan,’’
tegasnya.(jpc)

Baca Juga :  Museum Sejarah Rasulullah Akan Dibangun di Indonesia

 

Terpopuler

Artikel Terbaru