33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Solusi Efektif Karhutla, Mewajibkan Upaya Pencegahan Secara Komprehens

PERSOALAN kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dianggap lebih
efektif diatasi dengan memperkuat pencegahan daripada upaya penanganan seperti
yang selama ini dilakukan.

Guru Besar Ilmu Tanah dan Lingkungan Universitas Tanjungpura
Profesor Gusti Z. Anshari menuturkan, apalagi permasalahan karhutla cukup
kompleks.

Selain disebabkan perilaku dan
kepentingan banyak pihak juga dipengaruhi faktor iklim di Indonesia.

“Salah satu solusi yang paling
efektif adalah mewajibkan upaya pencegahan kebakaran secara komprehensif. Ini
harus dilaksanakan oleh masyarakat, korporasi, dan pemerintah sebagai
pengawas,” kata Anshari Minggu (22/9).

Selama ini kata dia, pendekatan
penanganan karhutla masih ad hoc dan program pencegahannya belum masif,
termasuk di lahan gambut yang kerap menjadi sorotan ketika terjadi karhutla.

Anshari berpendapat upaya restorasi
gambut yang telah dilakukan dalam kurun sekitar tiga tahun belakangan merupakan
langkah tepat.

Sudah ada upaya manajemen air yang
memastikan air tersedia sepanjang tahun, sehingga saat musim kering kelembaban
gambut tetap terjaga. 

“Hanya, wewenang supervisinya belum
seluas lahan gambut yang ada di Indonesia. Sebab, restorasi lahan gambut harus
terus didukung dengan kegiatan pencegahan terfokus dan terkoordinasi dengan
baik,” ujarnya.

Baca Juga :  Ini 4 Titik Potensi Korupsi Penanganan COVID-19

Termasuk perlu ada upaya lain seperti
pengembalian fungsi lahan yang lebih terfokus. Program pencegahan kebakaran
yang termasuk upaya restorasi dan pengelolaan lingkungan pun harusnya
dipisahkan dari program pemanfaatan gambut untuk produksi.

Saat ini, menurutnya, belum ada upaya
tersebut dan fokusnya masih sebatas pembagian wewenang berdasarkan peruntukkan
lahan saja.

“Restorasi dan pengelolaan
lingkungan pada lahan gambut harusnya ditangani oleh satu lembaga seperti Badan
Restorasi Gambut (BRG) yang bisa diperkuat peranannya,” kata Anshari.

Saat ini BRG hanya memiliki wewenang
pengawasan gambut di wilayah non-konsesi dan konsesi perkebunan saja. Adapun
pengawasan wilayah konsesi perhutanan yang luasnya mencapai 1,2 juta hektar
masih di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Berdasarkan pantauan satelit, 85 persen
karhutla tahun ini justru terjadi di luar lahan gambut konsesi perkebunan.
Wilayah konsesi perhutanan dan hutan lain jadi area yang paling banyak
terbakar.

Baca Juga :  Tukang Las Shock Berat, Tagihan Listrik Biasa Rp2 Jutaan, Tiba-tiba Ja

“Saat ini belum ada akses bagi BRG
untuk masuk dan membantu supervisi pada konsesi perhutanan,” ujarnya.

Selain itu, Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN) juga mencatat luas kebakaran di lahan gambut
mengalami penurunan sebesar 2 persen. 

Pada 2015, lahan gambut terbakar mencapai
29 persen dari total luasan karhutla. Hingga Agustus 2019, lahan gambut
terbakar berada di angka 27 persen dari total luasan karhutla.

Meski hasilnya belum terlihat besar,
upaya restorasi gambut yang mulai intens dilakukan sejak pembentukkan BRG pada
2016 bisa dibilang mulai membuahkan hasil. 

Sebab, hasil riil dari upaya restorasi
gambut baru akan bisa nampak di atas 10 tahun. 

“Mungkin bisa sampai 15 tahun baru
akan terlihat hasilnya. Namun, sebagai salah satu upaya pencegahan karhutla,
restorasi gambut harus tetap dilakukan berkesinambungan,” kata Anshari.(chi/jpnn)

PERSOALAN kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dianggap lebih
efektif diatasi dengan memperkuat pencegahan daripada upaya penanganan seperti
yang selama ini dilakukan.

Guru Besar Ilmu Tanah dan Lingkungan Universitas Tanjungpura
Profesor Gusti Z. Anshari menuturkan, apalagi permasalahan karhutla cukup
kompleks.

Selain disebabkan perilaku dan
kepentingan banyak pihak juga dipengaruhi faktor iklim di Indonesia.

“Salah satu solusi yang paling
efektif adalah mewajibkan upaya pencegahan kebakaran secara komprehensif. Ini
harus dilaksanakan oleh masyarakat, korporasi, dan pemerintah sebagai
pengawas,” kata Anshari Minggu (22/9).

Selama ini kata dia, pendekatan
penanganan karhutla masih ad hoc dan program pencegahannya belum masif,
termasuk di lahan gambut yang kerap menjadi sorotan ketika terjadi karhutla.

Anshari berpendapat upaya restorasi
gambut yang telah dilakukan dalam kurun sekitar tiga tahun belakangan merupakan
langkah tepat.

Sudah ada upaya manajemen air yang
memastikan air tersedia sepanjang tahun, sehingga saat musim kering kelembaban
gambut tetap terjaga. 

“Hanya, wewenang supervisinya belum
seluas lahan gambut yang ada di Indonesia. Sebab, restorasi lahan gambut harus
terus didukung dengan kegiatan pencegahan terfokus dan terkoordinasi dengan
baik,” ujarnya.

Baca Juga :  Ini 4 Titik Potensi Korupsi Penanganan COVID-19

Termasuk perlu ada upaya lain seperti
pengembalian fungsi lahan yang lebih terfokus. Program pencegahan kebakaran
yang termasuk upaya restorasi dan pengelolaan lingkungan pun harusnya
dipisahkan dari program pemanfaatan gambut untuk produksi.

Saat ini, menurutnya, belum ada upaya
tersebut dan fokusnya masih sebatas pembagian wewenang berdasarkan peruntukkan
lahan saja.

“Restorasi dan pengelolaan
lingkungan pada lahan gambut harusnya ditangani oleh satu lembaga seperti Badan
Restorasi Gambut (BRG) yang bisa diperkuat peranannya,” kata Anshari.

Saat ini BRG hanya memiliki wewenang
pengawasan gambut di wilayah non-konsesi dan konsesi perkebunan saja. Adapun
pengawasan wilayah konsesi perhutanan yang luasnya mencapai 1,2 juta hektar
masih di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Berdasarkan pantauan satelit, 85 persen
karhutla tahun ini justru terjadi di luar lahan gambut konsesi perkebunan.
Wilayah konsesi perhutanan dan hutan lain jadi area yang paling banyak
terbakar.

Baca Juga :  Tukang Las Shock Berat, Tagihan Listrik Biasa Rp2 Jutaan, Tiba-tiba Ja

“Saat ini belum ada akses bagi BRG
untuk masuk dan membantu supervisi pada konsesi perhutanan,” ujarnya.

Selain itu, Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN) juga mencatat luas kebakaran di lahan gambut
mengalami penurunan sebesar 2 persen. 

Pada 2015, lahan gambut terbakar mencapai
29 persen dari total luasan karhutla. Hingga Agustus 2019, lahan gambut
terbakar berada di angka 27 persen dari total luasan karhutla.

Meski hasilnya belum terlihat besar,
upaya restorasi gambut yang mulai intens dilakukan sejak pembentukkan BRG pada
2016 bisa dibilang mulai membuahkan hasil. 

Sebab, hasil riil dari upaya restorasi
gambut baru akan bisa nampak di atas 10 tahun. 

“Mungkin bisa sampai 15 tahun baru
akan terlihat hasilnya. Namun, sebagai salah satu upaya pencegahan karhutla,
restorasi gambut harus tetap dilakukan berkesinambungan,” kata Anshari.(chi/jpnn)

Terpopuler

Artikel Terbaru