30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Jokowi Minta Pengesahan RUU KUHP Ditunda

JAKARTA –Presiden Joko Widodo memberikan sinyal agar DPR mempertimbangkan kembali pengesahan
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi undang-undang pada
Selasa (24/9). Namun tampaknya hal
itu
belum juga menemukan titik temu.

DPR berdalih akan
mempertimbangkan masukan yang disampaikan Presiden. “Penundaan dilakukan selain
mendengarkan permintaan pemerintah juga sebagai bukti bahwa DPR mendengar dan
memperhatikan kehendak masyarakat yang menghendaki RKUHP ditunda pengesahannya,”
terang Ketua Ketua DPR RI Bambang Soesatyo, kemarin (20/9).

Bamsoet mengaku dalam pembahasan
RKUHP, DPR mendapat tekanan yang kuat terkait dengan masalah LGBT, setidaknya
ada 14 perwakilan negara-negara Eropa, termasuk negara besar tetangga
Indonesia. Negara-negara tersebut tidak ingin adanya pelarangan LGBT dalam KUHP
karena mereka menginginkan LGBT tumbuh subur di Indonesia.

“Sikap DPR tegas, kita penentang
terdepan untuk LGBT berkembang di Indonesia,” akunya.

Terpisah, Presiden Jokowi
mengatakan seteleh mencermati perkembangan pembahasan RUU KUHP dan mencermati
masukan-masukan dari berbagai kalangan, meminta agar pengesahan RUU ditunda.

“Saya telah memerintahkan Menteri
Hukum dan HAM selaku wakil pemerintah untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR
RI, yaitu agar pengesahan RUU KUHP ditunda dan pengesahannya tidak dilakukan
oleh DPR periode ini,” papar Presiden Jokowi dalam konferensi pers di Istana
Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (20/9).

Presiden berharap DPR juga
mempunyai sikap yang sama sehingga pembahasan RUU KUHP bisa dilakukan oleh DPR
RI periode berikutnya. “Saya juga memerintahkan Menteri Hukum dan HAM untuk
kembali menjaring masukan-masukan dari berbagai kalangan masyarakat sebagai
bahan untuk menyempurnakan RUU KUHP yang ada,” sambung Presiden.

Baca Juga :  Canggih, CCTV Masjid Istiqlal Bisa Hitung Jumlah Jamaah Salat Id

Menurutnya, dari
subtansi-subtansi yang dicermatinya, setidaknya ada 14 pasal dari RUU KUHP itu
yang memerlukan pendalaman lebih lanjut. “Nanti ini yang akan kami
komunikasikan, baik dengan DPR maupun dengan kalangan masyarakat yang tidak
setuju dengan materi-materi yang ada,” jelasnya.

Terpisah Menteri Hukum dan HAM
Yasonna H Laoly mengatakan Presiden berharap pembahasan RUU KUHP harus dibuka
selebar-lebarnya ke publik. Jangan sampai muncul tudingan bahwa pembahasan
dilakukan secara tertutup.

“Dibuka saja, semua boleh
memberikan masukan. Ini kan ruang masyarakat, yang bisa memberikan ide, dan adu
gagasan. Dan publik juga jangan setengah-setengah dalam menelaah,” ungkapnya.

Terkait kritik kebijakan presiden
dan wakil presiden (wapres), Yosonna menegaskan, dalam regulasi tidak akan
mendapat hukuman pidana dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). “Mengkritik kebijakannya tidak ada masalah ya, tapi bukan
berarti seorang presiden bisa bebas dicaci-maki harkat martabatnya,” kata
Yasonna didampingi Ketua Tim Perumus Rancangan KUHP Muladi dan tim di gedung
Kemenkumham Jakarta.

Dalam pasal 218 RKUHP ayat (1)
Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat
diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Sedangkan ayat (2) Tidak
merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan
diri.

Pasal pasal yang berkaitan dengan
penghinaan antara lain Pasal 241, 247 atau 354. “Pasal ini merupakan delik
aduan dan terdapat pengecualian jika dilakukan untuk kepentingan umum atau
pembelaan diri,” tambah Yasonna.

Baca Juga :  Gelar Rakernas dan HUT ke-47, PDIP Bahas Haluan Negara dan Pilkada

Agar penghinaan tersebut diproses
aparat penegak hukum, maka harus ada pengaduan tertulis oleh presiden atau
wapres. “Istilah yang digunakan bukan penghinaan tetapi penyerangan terhadap
harkat dan martabat presiden dan wapres, yang pada dasarnya merupakan penghinaan
yang menyerang nama baik atau harga diri presiden atau wakil presiden di muka
umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan
memfitnah,” paparnya.

Penghinaan pada hakikatnya
merupakan perbuatan yang tercela tersebut menurut Yasonna dilihat dari aspek
moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai HAM. “Ketentuan ini
tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik
atau pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah,” tegas Yasonna.

Sedangkan penyerangan harkat dan
martabat terhadap wakil negara sahabat disamakan dengan pengaturan penyerangan
harkat dan martabat bagi presiden dan wapres. “Dan terakhir ketentuan ini
merupakan delik materiil yang dapat dipidana apabila mengakibatkan terjadi
huru-hara atau kerusuhan di tengah masyarakat. Jangan dikatakan bahwa
membungkam kebebasan pers membungkam ini ya,” ungkap Yasonna.

Ia mencontohkan penerapan pasal
tersebut kepada dirinya. “Saya buat contoh ini, saya sebagai menkumham beda
dengan saya sebagai Yasonna Laoly. Kalau kalian mengatakan kepada saya ‘Yasonna
Laoly’ tak becus mengurus UU, tak becus mengurus lapas, itu sah saja karena
saya pejabat publik tapi kalau kamu bilang saya ‘anak haram jadah’ kukejar kau
sampai ke liang lahat. Itu bedanya antara harkat martabat dengan kritik,” jelas
Yasonna. (ful/fin/kpc)

JAKARTA –Presiden Joko Widodo memberikan sinyal agar DPR mempertimbangkan kembali pengesahan
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi undang-undang pada
Selasa (24/9). Namun tampaknya hal
itu
belum juga menemukan titik temu.

DPR berdalih akan
mempertimbangkan masukan yang disampaikan Presiden. “Penundaan dilakukan selain
mendengarkan permintaan pemerintah juga sebagai bukti bahwa DPR mendengar dan
memperhatikan kehendak masyarakat yang menghendaki RKUHP ditunda pengesahannya,”
terang Ketua Ketua DPR RI Bambang Soesatyo, kemarin (20/9).

Bamsoet mengaku dalam pembahasan
RKUHP, DPR mendapat tekanan yang kuat terkait dengan masalah LGBT, setidaknya
ada 14 perwakilan negara-negara Eropa, termasuk negara besar tetangga
Indonesia. Negara-negara tersebut tidak ingin adanya pelarangan LGBT dalam KUHP
karena mereka menginginkan LGBT tumbuh subur di Indonesia.

“Sikap DPR tegas, kita penentang
terdepan untuk LGBT berkembang di Indonesia,” akunya.

Terpisah, Presiden Jokowi
mengatakan seteleh mencermati perkembangan pembahasan RUU KUHP dan mencermati
masukan-masukan dari berbagai kalangan, meminta agar pengesahan RUU ditunda.

“Saya telah memerintahkan Menteri
Hukum dan HAM selaku wakil pemerintah untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR
RI, yaitu agar pengesahan RUU KUHP ditunda dan pengesahannya tidak dilakukan
oleh DPR periode ini,” papar Presiden Jokowi dalam konferensi pers di Istana
Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (20/9).

Presiden berharap DPR juga
mempunyai sikap yang sama sehingga pembahasan RUU KUHP bisa dilakukan oleh DPR
RI periode berikutnya. “Saya juga memerintahkan Menteri Hukum dan HAM untuk
kembali menjaring masukan-masukan dari berbagai kalangan masyarakat sebagai
bahan untuk menyempurnakan RUU KUHP yang ada,” sambung Presiden.

Baca Juga :  Canggih, CCTV Masjid Istiqlal Bisa Hitung Jumlah Jamaah Salat Id

Menurutnya, dari
subtansi-subtansi yang dicermatinya, setidaknya ada 14 pasal dari RUU KUHP itu
yang memerlukan pendalaman lebih lanjut. “Nanti ini yang akan kami
komunikasikan, baik dengan DPR maupun dengan kalangan masyarakat yang tidak
setuju dengan materi-materi yang ada,” jelasnya.

Terpisah Menteri Hukum dan HAM
Yasonna H Laoly mengatakan Presiden berharap pembahasan RUU KUHP harus dibuka
selebar-lebarnya ke publik. Jangan sampai muncul tudingan bahwa pembahasan
dilakukan secara tertutup.

“Dibuka saja, semua boleh
memberikan masukan. Ini kan ruang masyarakat, yang bisa memberikan ide, dan adu
gagasan. Dan publik juga jangan setengah-setengah dalam menelaah,” ungkapnya.

Terkait kritik kebijakan presiden
dan wakil presiden (wapres), Yosonna menegaskan, dalam regulasi tidak akan
mendapat hukuman pidana dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). “Mengkritik kebijakannya tidak ada masalah ya, tapi bukan
berarti seorang presiden bisa bebas dicaci-maki harkat martabatnya,” kata
Yasonna didampingi Ketua Tim Perumus Rancangan KUHP Muladi dan tim di gedung
Kemenkumham Jakarta.

Dalam pasal 218 RKUHP ayat (1)
Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat
diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Sedangkan ayat (2) Tidak
merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan
diri.

Pasal pasal yang berkaitan dengan
penghinaan antara lain Pasal 241, 247 atau 354. “Pasal ini merupakan delik
aduan dan terdapat pengecualian jika dilakukan untuk kepentingan umum atau
pembelaan diri,” tambah Yasonna.

Baca Juga :  Gelar Rakernas dan HUT ke-47, PDIP Bahas Haluan Negara dan Pilkada

Agar penghinaan tersebut diproses
aparat penegak hukum, maka harus ada pengaduan tertulis oleh presiden atau
wapres. “Istilah yang digunakan bukan penghinaan tetapi penyerangan terhadap
harkat dan martabat presiden dan wapres, yang pada dasarnya merupakan penghinaan
yang menyerang nama baik atau harga diri presiden atau wakil presiden di muka
umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan
memfitnah,” paparnya.

Penghinaan pada hakikatnya
merupakan perbuatan yang tercela tersebut menurut Yasonna dilihat dari aspek
moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai HAM. “Ketentuan ini
tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik
atau pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah,” tegas Yasonna.

Sedangkan penyerangan harkat dan
martabat terhadap wakil negara sahabat disamakan dengan pengaturan penyerangan
harkat dan martabat bagi presiden dan wapres. “Dan terakhir ketentuan ini
merupakan delik materiil yang dapat dipidana apabila mengakibatkan terjadi
huru-hara atau kerusuhan di tengah masyarakat. Jangan dikatakan bahwa
membungkam kebebasan pers membungkam ini ya,” ungkap Yasonna.

Ia mencontohkan penerapan pasal
tersebut kepada dirinya. “Saya buat contoh ini, saya sebagai menkumham beda
dengan saya sebagai Yasonna Laoly. Kalau kalian mengatakan kepada saya ‘Yasonna
Laoly’ tak becus mengurus UU, tak becus mengurus lapas, itu sah saja karena
saya pejabat publik tapi kalau kamu bilang saya ‘anak haram jadah’ kukejar kau
sampai ke liang lahat. Itu bedanya antara harkat martabat dengan kritik,” jelas
Yasonna. (ful/fin/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru