28.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Akun Novel-Peneliti ICW Diretas, Kewenangan Penyadapan Milik Aparat

PROKALTENG.CO-Perlawanan pegiat antikorupsi terkait 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak memenuhi syarat tes wawasan kebangsaan (TWK), sebagai alih status menjadi aparatur sipil negara (ASN) berujung pada peretasan. Akun penyidik senior KPK Novel Baswedan hingga peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan mantan juru bicara KPK Febri Diansyah mengalami peretasan.

Direktur Information and Communication Technology atau ICT Institute Heru Sutadi menyampaikan, pengambil alihan akun terhadap para pegiat antikorupsi dinilai merupakan bentuk penyadapan. Pihak penyadap bisa mengetahui isi percakapan.

Hal ini seperti dialami oleh sejumlah peneliti ICW, mereka yang giat membela 75 pegawai KPK yang gagal menjadi ASN justru diretas. “Pengambil alihan akun bisa juga seperti menyadap. Seolah orang bisa baca isi whatsApp kita juga,” kata Heru kepada JawaPos.com, Jumat (21/5).

Heru menyebut, sistem Telegram seharusnya lebih sulit dari aplikas WhatsApp. Tetapi justru, Novel Baswedan pada Kamis (20/5) malam, nomor teleponnya diretas, bersamaan dengan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK, Sujanarko yang tiba-tiba nama keduanya muncul pada akun Telegram. “Kalau ke sistem Telegram sulit, apalagi lebih sulit daripada WA dan message tidak disimpan di sana,” ucap Heru.

Baca Juga :  Adaptasi Teknologi, BRI Sabet 3 Penghargaan Tempo Financial Award

Heru tak memungkiri, penyadapan harus memiliki teknologi canggih. Menurutnya operator telekomunikasi memang bisa mengetahui percakapan telepon maupun sms para penggunanya. Tetapi justru penyadapan terhadap akun media sosial hanya bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dia menyebut, hanya aparat penegak hukum yang mempunyai kewenangan untuk menyadap pihak-pihak tertentu.

“Kalau percakapan atau sms bisa disadap dari operator telekomunikasi. Pakai alat dan hampir semua APH (aparat penegak hukum) punya alat sadapnya,” ucap Heru.

Meski demikian, Heru tak merinci alat sadap seperti apa yang digunakan. Terlebih, Heru menegaskan hanya aparat penegak hukum yang bisa melakukan penyadapan. Hal ini pun diatur dalam Undang-Undang. “Kalau menyadap tidak boleh, hanya aparat penegak hukum yang mendapat kewenangan sesuai UU saja,” ungkap Heru.

Heru menegaskan, pengambil alihan akun pun tidak dibenarkan, sekalipun itu dilakukan oleh aparat penegak hukum. “Tapi kalau mengambil alih akun, tidak boleh pasti. Tapi ada yang bisa melakukan, baik personal maupun terorganisir,” pungkas Heru.

Baca Juga :  Mendagri Wajibkan Pemda Buat Program Ini

Sebelumnya, Novel Baswedan mengakui nomor telepon miliknya diretas ke dalam akun Telegram. Secara bersamaan, kontak keduanya yakni Novel dan Sujanarko muncul di akun Telegram. “Iya mas, saya (Novel Baswedan) dan pak Sujanarko,” kata Novel kepada JawaPos.com, Kamis (20/5).

Senada juga disampaikan oleh Sujanarko. Pria yang karib disapa Koko ini menyampaikan, dirinya tidak mempunyai akun Telegram. “Akun Telegram atas nama Sujanarko juga dibajak per jam 20.31 WIB. Ini bukan pak Koko yang pegang, pak Koko nggak pakai Telegram,” ucap Koko.

Koko khawatir peretasan itu berdampak buruk kepada rekan-rekan lain yang tidak mengetahui, kalau dirinya tidak menggunakan akun Telegram. Karena itu dia meminta agar tidak menghubungi dirinya melalui Telegram. “Kasih tahu teman-teman lain ya, siapa tahu disalah gunakan,” imbau Koko.

Selain Novel dan Sujanarko, delapan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mengalami peretasan. ICW memang belakangan ini giat membela 75 pegawai KPK yang gagal menjadi ASN.

PROKALTENG.CO-Perlawanan pegiat antikorupsi terkait 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak memenuhi syarat tes wawasan kebangsaan (TWK), sebagai alih status menjadi aparatur sipil negara (ASN) berujung pada peretasan. Akun penyidik senior KPK Novel Baswedan hingga peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan mantan juru bicara KPK Febri Diansyah mengalami peretasan.

Direktur Information and Communication Technology atau ICT Institute Heru Sutadi menyampaikan, pengambil alihan akun terhadap para pegiat antikorupsi dinilai merupakan bentuk penyadapan. Pihak penyadap bisa mengetahui isi percakapan.

Hal ini seperti dialami oleh sejumlah peneliti ICW, mereka yang giat membela 75 pegawai KPK yang gagal menjadi ASN justru diretas. “Pengambil alihan akun bisa juga seperti menyadap. Seolah orang bisa baca isi whatsApp kita juga,” kata Heru kepada JawaPos.com, Jumat (21/5).

Heru menyebut, sistem Telegram seharusnya lebih sulit dari aplikas WhatsApp. Tetapi justru, Novel Baswedan pada Kamis (20/5) malam, nomor teleponnya diretas, bersamaan dengan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK, Sujanarko yang tiba-tiba nama keduanya muncul pada akun Telegram. “Kalau ke sistem Telegram sulit, apalagi lebih sulit daripada WA dan message tidak disimpan di sana,” ucap Heru.

Baca Juga :  Adaptasi Teknologi, BRI Sabet 3 Penghargaan Tempo Financial Award

Heru tak memungkiri, penyadapan harus memiliki teknologi canggih. Menurutnya operator telekomunikasi memang bisa mengetahui percakapan telepon maupun sms para penggunanya. Tetapi justru penyadapan terhadap akun media sosial hanya bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dia menyebut, hanya aparat penegak hukum yang mempunyai kewenangan untuk menyadap pihak-pihak tertentu.

“Kalau percakapan atau sms bisa disadap dari operator telekomunikasi. Pakai alat dan hampir semua APH (aparat penegak hukum) punya alat sadapnya,” ucap Heru.

Meski demikian, Heru tak merinci alat sadap seperti apa yang digunakan. Terlebih, Heru menegaskan hanya aparat penegak hukum yang bisa melakukan penyadapan. Hal ini pun diatur dalam Undang-Undang. “Kalau menyadap tidak boleh, hanya aparat penegak hukum yang mendapat kewenangan sesuai UU saja,” ungkap Heru.

Heru menegaskan, pengambil alihan akun pun tidak dibenarkan, sekalipun itu dilakukan oleh aparat penegak hukum. “Tapi kalau mengambil alih akun, tidak boleh pasti. Tapi ada yang bisa melakukan, baik personal maupun terorganisir,” pungkas Heru.

Baca Juga :  Mendagri Wajibkan Pemda Buat Program Ini

Sebelumnya, Novel Baswedan mengakui nomor telepon miliknya diretas ke dalam akun Telegram. Secara bersamaan, kontak keduanya yakni Novel dan Sujanarko muncul di akun Telegram. “Iya mas, saya (Novel Baswedan) dan pak Sujanarko,” kata Novel kepada JawaPos.com, Kamis (20/5).

Senada juga disampaikan oleh Sujanarko. Pria yang karib disapa Koko ini menyampaikan, dirinya tidak mempunyai akun Telegram. “Akun Telegram atas nama Sujanarko juga dibajak per jam 20.31 WIB. Ini bukan pak Koko yang pegang, pak Koko nggak pakai Telegram,” ucap Koko.

Koko khawatir peretasan itu berdampak buruk kepada rekan-rekan lain yang tidak mengetahui, kalau dirinya tidak menggunakan akun Telegram. Karena itu dia meminta agar tidak menghubungi dirinya melalui Telegram. “Kasih tahu teman-teman lain ya, siapa tahu disalah gunakan,” imbau Koko.

Selain Novel dan Sujanarko, delapan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mengalami peretasan. ICW memang belakangan ini giat membela 75 pegawai KPK yang gagal menjadi ASN.

Terpopuler

Artikel Terbaru