28.7 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

PK Ditolak MA, Baiq Nuril Dihukum Penjara 6 Bulan dan Denda Rp 500 Jut

MAHKAMAH Agung (MA) menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang
diajukan terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE), Baiq Nuril.

Akibat ditolaknya PK Baiq Nuril,
maka mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram itu akan tetap menjalani hukuman
enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan sesuai
putusan Kasasi MA.

“Mahkamah Agung menolak
permohonan peninjauan kembali (PK) pemohon atau terpidana Baiq Nuril, yang
mengajukan PK ke MA dengan Nomor 83 PK/Pid.Sus/2019. Maka putusan kasasi MA
yang menghukum dirinya dinyatakan tetap berlaku,” kata Juru Bicara MA,
Hakim Agung Andi Samsan Nganro, lewat keterangan tertulis, Jumat (5/7).

Majelis hakim sidang PK menilai
Baiq terbukti bersalah karena mentransmisikan konten asusila, sebagaimana
diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Hakim menilai, perbuatan terdakwa
Baiq Nuril yang menyerahkan HP miliknya kepada orang lain, kemudian dapat
didistribusikan dan dapat diakses informasi atau dokumen elektronik yang berisi
pembicaraan yang bermuatan tindak kesusilaan, tidak dapat dibenarkan.

Baca Juga :  MUI : Salat Id Hanya Boleh di Zona Hijau dan Kuning, Tetap Wajib Proke

“Atas alasan tersebut permohonan
PK pemohon atau terdakwa ditolak,” ujar Andi.

Kasus Nuril mencuat ke publik
pada 2017 lalu. Bermula ketika Nuril yang merupakan staf honorer di SMAN 7
merekam pembicaraan dengan kepala sekolah berinisial M yang terjadi pada 2012.

Dalam percakapan, M menceritakan
soal hubungan badannya dengan seorang perempuan. Belakangan, percakapan itu
terbongkar dan beredar di masyarakat. M tidak terima dan melaporkan Nuril ke
polisi pada 2015. Dua tahun berlalu, Nuril diproses polisi dan ditahan pada 27
Maret 2017 dengan dijerat pasal 27 ayat 1 UU ITE. 

Pengadilan Negeri Mataram
kemudian memutus Nuril tidak bersalah dan membebaskannya dari status tahanan
kota. Kalah di persidangan, jaksa penuntut umum mengajukan banding hingga
kasasi ke Mahkamah Agung. Hingga pada 26 September 2018 MA memutus Nuril
bersalah dan dihukum enam bulan penjara serta denda Rp 500 juta.

Preseden Buruk Perlindungan Perempuan

Keputusan MA yang menolak PK yang
diajukan Baiq Nuril dinilai sebagai preseden buruh perlindungan perempuan.

Wakil Ketua Komite I DPD RI,
Fahira Idris menilai bahwa keputusan ini akan membuat perempuan lebih memilih
diam jika menemukan masalah yang dialami oleh Baiq Nuril. Sebab, mereka akan
takut dikenakan pidana.

Baca Juga :  Begini Kronologis Penangkapan Bos PT AKT Samin Tan

“Ini sangat memperihatinkan, dan
ini momentum agar pemerintah dan DPR segera merevisi UU ITE. Pasal-pasal karet
dalam UU ini membelenggu keadilan terutama mereka yang lemah. Tidak boleh ada
Baiq Nuril-Baiq Nuril lain,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima,
Jumat (5/7).

Fahira mengungkapkan, penolakan
PK ini melukai rasa keadilan publik. Selama ini publik berharap MA menjadi oase
dalam mengadili kasus kasus yang terkait UU ITE karena memang terbukti berbagai
pasal dalam UU ini bermasalah.

Terlebih, kasus Baiq Nuril yang
mendapat perhatian besar dari publik karena yang bersangkutan adalah korban
pelecehan seksual verbal.

“Sekarang saya mau tanya, sebagai
korban pelecahen seksual secara verbal, keadilan apa yang didapat Ibu Baiq
Nuril. Hukum ada di mana saat dia dilecehkan,” ujar senator asal Jakarta ini. (rmol/kpc)

MAHKAMAH Agung (MA) menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang
diajukan terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE), Baiq Nuril.

Akibat ditolaknya PK Baiq Nuril,
maka mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram itu akan tetap menjalani hukuman
enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan sesuai
putusan Kasasi MA.

“Mahkamah Agung menolak
permohonan peninjauan kembali (PK) pemohon atau terpidana Baiq Nuril, yang
mengajukan PK ke MA dengan Nomor 83 PK/Pid.Sus/2019. Maka putusan kasasi MA
yang menghukum dirinya dinyatakan tetap berlaku,” kata Juru Bicara MA,
Hakim Agung Andi Samsan Nganro, lewat keterangan tertulis, Jumat (5/7).

Majelis hakim sidang PK menilai
Baiq terbukti bersalah karena mentransmisikan konten asusila, sebagaimana
diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Hakim menilai, perbuatan terdakwa
Baiq Nuril yang menyerahkan HP miliknya kepada orang lain, kemudian dapat
didistribusikan dan dapat diakses informasi atau dokumen elektronik yang berisi
pembicaraan yang bermuatan tindak kesusilaan, tidak dapat dibenarkan.

Baca Juga :  MUI : Salat Id Hanya Boleh di Zona Hijau dan Kuning, Tetap Wajib Proke

“Atas alasan tersebut permohonan
PK pemohon atau terdakwa ditolak,” ujar Andi.

Kasus Nuril mencuat ke publik
pada 2017 lalu. Bermula ketika Nuril yang merupakan staf honorer di SMAN 7
merekam pembicaraan dengan kepala sekolah berinisial M yang terjadi pada 2012.

Dalam percakapan, M menceritakan
soal hubungan badannya dengan seorang perempuan. Belakangan, percakapan itu
terbongkar dan beredar di masyarakat. M tidak terima dan melaporkan Nuril ke
polisi pada 2015. Dua tahun berlalu, Nuril diproses polisi dan ditahan pada 27
Maret 2017 dengan dijerat pasal 27 ayat 1 UU ITE. 

Pengadilan Negeri Mataram
kemudian memutus Nuril tidak bersalah dan membebaskannya dari status tahanan
kota. Kalah di persidangan, jaksa penuntut umum mengajukan banding hingga
kasasi ke Mahkamah Agung. Hingga pada 26 September 2018 MA memutus Nuril
bersalah dan dihukum enam bulan penjara serta denda Rp 500 juta.

Preseden Buruk Perlindungan Perempuan

Keputusan MA yang menolak PK yang
diajukan Baiq Nuril dinilai sebagai preseden buruh perlindungan perempuan.

Wakil Ketua Komite I DPD RI,
Fahira Idris menilai bahwa keputusan ini akan membuat perempuan lebih memilih
diam jika menemukan masalah yang dialami oleh Baiq Nuril. Sebab, mereka akan
takut dikenakan pidana.

Baca Juga :  Begini Kronologis Penangkapan Bos PT AKT Samin Tan

“Ini sangat memperihatinkan, dan
ini momentum agar pemerintah dan DPR segera merevisi UU ITE. Pasal-pasal karet
dalam UU ini membelenggu keadilan terutama mereka yang lemah. Tidak boleh ada
Baiq Nuril-Baiq Nuril lain,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima,
Jumat (5/7).

Fahira mengungkapkan, penolakan
PK ini melukai rasa keadilan publik. Selama ini publik berharap MA menjadi oase
dalam mengadili kasus kasus yang terkait UU ITE karena memang terbukti berbagai
pasal dalam UU ini bermasalah.

Terlebih, kasus Baiq Nuril yang
mendapat perhatian besar dari publik karena yang bersangkutan adalah korban
pelecehan seksual verbal.

“Sekarang saya mau tanya, sebagai
korban pelecahen seksual secara verbal, keadilan apa yang didapat Ibu Baiq
Nuril. Hukum ada di mana saat dia dilecehkan,” ujar senator asal Jakarta ini. (rmol/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru