30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Kementan Gunakan Strategi Pola Tanam Cabai Berbasis IT

Cabai menjadi salah
satu komoditas hortikultura yang sering kali mengalami fluktuasi harga. Pada
satu titik tertentu mengalami kenaikan namun tak jarang mengalami penurunan
harga yang kerap membuat resah petaninya.

Direktur Jenderal
Hortikultura Prihasto Setyanto saat berkunjung di Desa Tambak Rejo, Kecamatan
Gurah menjelaskan, salah satu kondisi penyebab tidak stabilnya harga cabai,
dikarenakan pola tanam yang tidak tepat.

Umumnya, lanjut anak
buah mentan yang biasa disapa Anton itu, petani menanam saat waktu harga jual
cabai tinggi, akhirnya saat panen bersamaan harganya jatuh. Lebih parah lagi,
saat harga jatuh petani cenderung malas merawat tanaman dan akhirnya tanaman
tidak berproduksi dengan baik.

“Dampaknya
produktivitas menurun dan harga mengalami kenaikan saat pasar membutuhkan
pasokan, utamanya saat memasuki musim kemarau yang terjadi baru-baru ini,”
papar Anton.

Menurut Anton,
Banyuwangi, Tuban, Temanggung, Kediri, Blitar, Magelang, Karanganyar merupakan
daerah sentra cabai. Meski sempat mengalami kendala selama masa tanam akibat
kurang air, kini sudah kembali aktif bertanam dan diperkirakan pertengahan Agustus
harga cabai akan kembali normal.

Ke depan, imbuh Anton,
akan dipantau pola tanam berbasis kebutuhan. Tiap daerah dipetakan berapa
jumlah konsumsi yang diperlukan melalui aplikasi online. Pola ini diyakini
mampu menjaga kuantitas produksi sesuai dengan besaran kebutuhan.

Baca Juga :  Asesmen Nasional Jenjang SMK, Berlangsung Hingga November

Peta produksi berbasis
kebutuhan riil ini akan disosialisasikan ke daerah-daerah untuk memberitahukan
berapa besaran pertanaman yang dibutuhkan. Tujuannya dengan pemetaan tersebut,
gejolak harga akibat minimnya produksi bisa dihindari.

“Peta produksi cabai
ini juga bisa digunakan untuk mengenal kondisi pasar. Misalnya, kabupaten A
kekurangan hasil produksi, sedangkan kabupaten B kelebihan produksi, maka pasar
di kedua kabupaten dapat saling mengisi. Dengan adanya peta ini, diharapkan cabai
selalu tersedia di pasar,” terang Anton.

Selanjutnya, kata
Anton, informasi ketersediaan juga perlu dilakukan guna memperlancar pasokan
cabai ke pasar. Langkah ini penting sebagai upaya untuk menyetabilkan harga
cabai agar tidak naik.

“Maka dari itu untuk
memperlancar pasokan kita perlu memantau daerah-daerah  yang memang masih
butuh tambahan pasokan,” paparnya.

Sementara itu, selama
ini Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) didominasi oleh pasokan cabai dari Jawa
Barat dan Jawa Tengah. Jawa Timur memiliki sentra utama seperti
Banyuwangi, Kediri dan Malang yang harus berbagi produksi dengan pasar di Pare
Kediri, Surabaya dan Bali.

“Pasar Pare Kediri
saat mengalami kekurangan, memasok dari Sulawesi melalui pelabuhan Tanjung
Perak. Hal ini dikarenakan di Sulawesi, tepatnya di daerah-daerah surplus cabai
bisa mengirim barangnya ke jawa melalui surabaya. Sebentar lagi akan masuk dari
Kediri dan Nganjuk,” ujar pengelola cabai besar Pasar Pare Kediri, Wawan.

Baca Juga :  PENGUMUMAN! Tahun Ini Pemerintah Akan Rekrut 100 Ribu CPNS dan 75 Ribu

Berdasarkan pantauan
di Pasar Induk Pare, harga cabai hijau besar Rp 22 ribu, harga cabai merah
besar Rp 40 ribu. Untuk cabai rawit hijau Rp 26 ribu, cabai rawit merah Rp 68
ribu per kg. Hal menarik ditemukan di pasar ini adalah adanya pedagang yang
menjual cabai kering. Harganya cukup ekonomis, yakni Rp 17 ribu per kg.

“Ini menarik, ke depan
juga akan dikembangkan teknologi pasca panen cabai sebagai solusi di saat harga
turun. Tentunya cabai bermutu yang dipilih sehingga kualitasnya tetap terjaga,”
ujar Anton.

Terpisah, Ketua
Paguyuban Petani Cabai Indonesia Kabupaten Kediri, Suyono mengaku kenaikan
harga cabai serta merta tidak dinikmati petani. Di sisi lain keuntungan pada
pihak ketiga yang menikmati harga naik.

“Petani yang menikmati
keuntungan tidak sampai 50 persen karena banyak yang sudah habis tanamannya dan
sekarang masih proses pembungaan. Kediri sendiri dahulu penuh dengan hamparan
cabai,” ujar Suyono.

Diketahui, selama ini
pemerintah memberikan segala kebijakan yang berpihak kepada petani maupun
masyarakat. Termasuk mengalokasikan dana APBN dan APBD kepada para petani untuk
menjaga stabilisasi pasokan.(jpg)

 

Cabai menjadi salah
satu komoditas hortikultura yang sering kali mengalami fluktuasi harga. Pada
satu titik tertentu mengalami kenaikan namun tak jarang mengalami penurunan
harga yang kerap membuat resah petaninya.

Direktur Jenderal
Hortikultura Prihasto Setyanto saat berkunjung di Desa Tambak Rejo, Kecamatan
Gurah menjelaskan, salah satu kondisi penyebab tidak stabilnya harga cabai,
dikarenakan pola tanam yang tidak tepat.

Umumnya, lanjut anak
buah mentan yang biasa disapa Anton itu, petani menanam saat waktu harga jual
cabai tinggi, akhirnya saat panen bersamaan harganya jatuh. Lebih parah lagi,
saat harga jatuh petani cenderung malas merawat tanaman dan akhirnya tanaman
tidak berproduksi dengan baik.

“Dampaknya
produktivitas menurun dan harga mengalami kenaikan saat pasar membutuhkan
pasokan, utamanya saat memasuki musim kemarau yang terjadi baru-baru ini,”
papar Anton.

Menurut Anton,
Banyuwangi, Tuban, Temanggung, Kediri, Blitar, Magelang, Karanganyar merupakan
daerah sentra cabai. Meski sempat mengalami kendala selama masa tanam akibat
kurang air, kini sudah kembali aktif bertanam dan diperkirakan pertengahan Agustus
harga cabai akan kembali normal.

Ke depan, imbuh Anton,
akan dipantau pola tanam berbasis kebutuhan. Tiap daerah dipetakan berapa
jumlah konsumsi yang diperlukan melalui aplikasi online. Pola ini diyakini
mampu menjaga kuantitas produksi sesuai dengan besaran kebutuhan.

Baca Juga :  Asesmen Nasional Jenjang SMK, Berlangsung Hingga November

Peta produksi berbasis
kebutuhan riil ini akan disosialisasikan ke daerah-daerah untuk memberitahukan
berapa besaran pertanaman yang dibutuhkan. Tujuannya dengan pemetaan tersebut,
gejolak harga akibat minimnya produksi bisa dihindari.

“Peta produksi cabai
ini juga bisa digunakan untuk mengenal kondisi pasar. Misalnya, kabupaten A
kekurangan hasil produksi, sedangkan kabupaten B kelebihan produksi, maka pasar
di kedua kabupaten dapat saling mengisi. Dengan adanya peta ini, diharapkan cabai
selalu tersedia di pasar,” terang Anton.

Selanjutnya, kata
Anton, informasi ketersediaan juga perlu dilakukan guna memperlancar pasokan
cabai ke pasar. Langkah ini penting sebagai upaya untuk menyetabilkan harga
cabai agar tidak naik.

“Maka dari itu untuk
memperlancar pasokan kita perlu memantau daerah-daerah  yang memang masih
butuh tambahan pasokan,” paparnya.

Sementara itu, selama
ini Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) didominasi oleh pasokan cabai dari Jawa
Barat dan Jawa Tengah. Jawa Timur memiliki sentra utama seperti
Banyuwangi, Kediri dan Malang yang harus berbagi produksi dengan pasar di Pare
Kediri, Surabaya dan Bali.

“Pasar Pare Kediri
saat mengalami kekurangan, memasok dari Sulawesi melalui pelabuhan Tanjung
Perak. Hal ini dikarenakan di Sulawesi, tepatnya di daerah-daerah surplus cabai
bisa mengirim barangnya ke jawa melalui surabaya. Sebentar lagi akan masuk dari
Kediri dan Nganjuk,” ujar pengelola cabai besar Pasar Pare Kediri, Wawan.

Baca Juga :  PENGUMUMAN! Tahun Ini Pemerintah Akan Rekrut 100 Ribu CPNS dan 75 Ribu

Berdasarkan pantauan
di Pasar Induk Pare, harga cabai hijau besar Rp 22 ribu, harga cabai merah
besar Rp 40 ribu. Untuk cabai rawit hijau Rp 26 ribu, cabai rawit merah Rp 68
ribu per kg. Hal menarik ditemukan di pasar ini adalah adanya pedagang yang
menjual cabai kering. Harganya cukup ekonomis, yakni Rp 17 ribu per kg.

“Ini menarik, ke depan
juga akan dikembangkan teknologi pasca panen cabai sebagai solusi di saat harga
turun. Tentunya cabai bermutu yang dipilih sehingga kualitasnya tetap terjaga,”
ujar Anton.

Terpisah, Ketua
Paguyuban Petani Cabai Indonesia Kabupaten Kediri, Suyono mengaku kenaikan
harga cabai serta merta tidak dinikmati petani. Di sisi lain keuntungan pada
pihak ketiga yang menikmati harga naik.

“Petani yang menikmati
keuntungan tidak sampai 50 persen karena banyak yang sudah habis tanamannya dan
sekarang masih proses pembungaan. Kediri sendiri dahulu penuh dengan hamparan
cabai,” ujar Suyono.

Diketahui, selama ini
pemerintah memberikan segala kebijakan yang berpihak kepada petani maupun
masyarakat. Termasuk mengalokasikan dana APBN dan APBD kepada para petani untuk
menjaga stabilisasi pasokan.(jpg)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru