27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Tak Sempat Kencan, Penduduk Negara-negara Maju Pilih Melajang

Mayoritas negara maju pusing. Penduduknya enggan punya momongan.
Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan populasi.

Perut Lee Jung-woo membuncit. Perempuan 36 tahun itu hamil.
Diperkiraan, November nanti dia melahirkan. Itu akan menjadi menjadi anak
pertama dan terakhirnya. Lee sama sekali tak ingin menambah anak. Tingginya
biaya sekolah membuatnya merasa bahwa satu anak sudah cukup.

”Insentif dan subsidi yang diberikan pemerintah tidak terlalu
membantu,” ujar perempuan yang tinggal di Seoul, Korsel, itu.

Di Korsel, pendidikan memang diutamakan. Banyak orang tua yang
memanggil guru les untuk anaknya. Berdasar data pemerintah, 10 persen
pengeluaran rumah tangga habis hanya untuk les privat. Belum biaya kebutuhan
pendidikan lainnya.

Baek Da-som juga memiliki pemikiran serupa. Dia baru berhenti
dari pekerjaannya demi merawat putrinya yang berusia setahun. Baek juga tak
berencana menambah anak lagi. Baginya, membesarkan anak tanpa adanya dukungan
yang memadai dari negara sangatlah sulit.

Pasangan suami istri yang sepemikiran dengan Baek dan Lee bukan
satu dua orang, tetapi banyak. Imbasnya, angka kelahiran di Korsel terus
menurun. Korea Joongang Daily mengungkapkan bahwa angka fertilitas di Korsel
pada 2018 adalah 0,98. Angka fertilitas adalah rata-rata anak yang dimiliki
oleh perempuan berusia 15-49 tahun. Itu angka fertilitas terendah sedunia. Sementara
itu, angka harapan hidup dari tahun ke tahun terus naik. Di Korsel, lansia di
atas 60 tahun yang masih aktif bekerja lebih tinggi jika dibandingkan dengan
pemuda usia 20-an tahun.

Baca Juga :  Bersedia Divaksin, Karyawan Diberi Hadiah

Pemerintah Korsel bahkan sudah menghabiskan duit miliaran dolar
AS untuk mendanai tempat penitipan bayi dan anak-anak gratis. Dengan begitu,
orang tua yang bekerja tak perlu waswas untuk punya anak.

Orang tua juga berhak untuk mengajukan cuti merawat anak selama
setahun dan disubsidi. Pemkot Seoul bahkan memberikan insentif khusus sebesar
KRW 100 ribu (Rp 1,2 juta) per satu kelahiran. Semua cara itu, tampaknya, tak
mempan.

”Angka kelahiran terus turun karena berbagai alasan seperti
menunda pernikahan, pendidikan tinggi, biaya perumahan, dan tingginya angka
pemuda yang menganggur,” terang ekonom di Eugene Investment & Securities
Lee Sang-jae.

Menunda pernikahan memang sedang ”tren” di Jepang dan Korsel.
Tahun lalu mayoritas penduduk berusia 20-44 tahun di Korsel masih single.
Sebanyak 51 persen pria dan 64 persen perempuan yang single mengatakan akan
selamanya melajang. Alasannya macam-macam. Di antaranya, tak punya uang dan
waktu untuk kencan.

Di beberapa kampus sampai ada mata kuliah untuk berlatih kencan.
Mereka diajari bagai­mana cara merayu, keluar untuk kencan, berciuman, hingga
berhubungan badan. Sebagian kecil berhasil. Yang lain tidak.

Dongkrak Bayi
dengan Bonus

Sebagai negara tetangga, Jepang punya masalah yang sama. Dua
negara serumpun itu juga punya kebijakan serupa, yaitu tak mau menerima
imigran. Jepang mengampanyekan untuk mengurangi jam kerja hingga menambah
insentif untuk cuti paternal.

Baca Juga :  Panik Wabah Virus Corona, Warga Cina Bunuh Anjing dan Kucing Piaraan

Pemerintah Kota Nagi, Prefektur Okayama, menggunakan insentif
untuk mendongkrak populasi. Sejak 2014, mereka memberikan uang tunai kepada
pasangan yang punya anak. JPY 100 ribu (Rp 13,4 juta) untuk anak pertama, JPY
150 ribu (Rp 20,06 juta) untuk anak kedua, dan JPY 400 ribu (Rp 53,5 juta)
untuk anak kelima.

Tak cukup sampai di situ, mereka juga memberikan vaksinasi
gratis, subsidi pembelian rumah, dan pengurangan biaya sekolah, serta penitipan
anak. Imbasnya, angka kelahiran di kota pertanian itu melonjak. Pada 2005,
angkanya hanya 1,4. Tetapi, pada 2014 ke atas, mencapai 2,8. Nagi tak lagi
menjadi kota sepi.

Tak semua sesukses Nagi tentu saja. Desa Nagoro menjadi contoh
nyata bom waktu demografi di Jepang. Di desa tersebut tidak ada anak-anak.
Sekolah terakhir yang masih beroperasi tutup pada 2012. Penduduk kota itu hanya
27 orang dan yang termuda berusia 55 tahun.

Penduduk yang masih muda pindah ke kota lain untuk mencari
penghidupan yang lebih baik. Di wilayah pedesaan, pekerjaan memang sulit
didapatkan. Penduduk yang tersisa membuat boneka seukuran manusia dan
meletakkannya di berbagai lokasi. Semua dilakukan agar desa tersebut terlihat
ramai lagi.

”Saya rasa kota lain juga mengalami hal ini. Kami harus
menghadapi populasi yang menurun maupun menua,” ujar Tsukimi Ayano, salah
seorang penduduk di Nagi.(jpg)

 

Mayoritas negara maju pusing. Penduduknya enggan punya momongan.
Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan populasi.

Perut Lee Jung-woo membuncit. Perempuan 36 tahun itu hamil.
Diperkiraan, November nanti dia melahirkan. Itu akan menjadi menjadi anak
pertama dan terakhirnya. Lee sama sekali tak ingin menambah anak. Tingginya
biaya sekolah membuatnya merasa bahwa satu anak sudah cukup.

”Insentif dan subsidi yang diberikan pemerintah tidak terlalu
membantu,” ujar perempuan yang tinggal di Seoul, Korsel, itu.

Di Korsel, pendidikan memang diutamakan. Banyak orang tua yang
memanggil guru les untuk anaknya. Berdasar data pemerintah, 10 persen
pengeluaran rumah tangga habis hanya untuk les privat. Belum biaya kebutuhan
pendidikan lainnya.

Baek Da-som juga memiliki pemikiran serupa. Dia baru berhenti
dari pekerjaannya demi merawat putrinya yang berusia setahun. Baek juga tak
berencana menambah anak lagi. Baginya, membesarkan anak tanpa adanya dukungan
yang memadai dari negara sangatlah sulit.

Pasangan suami istri yang sepemikiran dengan Baek dan Lee bukan
satu dua orang, tetapi banyak. Imbasnya, angka kelahiran di Korsel terus
menurun. Korea Joongang Daily mengungkapkan bahwa angka fertilitas di Korsel
pada 2018 adalah 0,98. Angka fertilitas adalah rata-rata anak yang dimiliki
oleh perempuan berusia 15-49 tahun. Itu angka fertilitas terendah sedunia. Sementara
itu, angka harapan hidup dari tahun ke tahun terus naik. Di Korsel, lansia di
atas 60 tahun yang masih aktif bekerja lebih tinggi jika dibandingkan dengan
pemuda usia 20-an tahun.

Baca Juga :  Bersedia Divaksin, Karyawan Diberi Hadiah

Pemerintah Korsel bahkan sudah menghabiskan duit miliaran dolar
AS untuk mendanai tempat penitipan bayi dan anak-anak gratis. Dengan begitu,
orang tua yang bekerja tak perlu waswas untuk punya anak.

Orang tua juga berhak untuk mengajukan cuti merawat anak selama
setahun dan disubsidi. Pemkot Seoul bahkan memberikan insentif khusus sebesar
KRW 100 ribu (Rp 1,2 juta) per satu kelahiran. Semua cara itu, tampaknya, tak
mempan.

”Angka kelahiran terus turun karena berbagai alasan seperti
menunda pernikahan, pendidikan tinggi, biaya perumahan, dan tingginya angka
pemuda yang menganggur,” terang ekonom di Eugene Investment & Securities
Lee Sang-jae.

Menunda pernikahan memang sedang ”tren” di Jepang dan Korsel.
Tahun lalu mayoritas penduduk berusia 20-44 tahun di Korsel masih single.
Sebanyak 51 persen pria dan 64 persen perempuan yang single mengatakan akan
selamanya melajang. Alasannya macam-macam. Di antaranya, tak punya uang dan
waktu untuk kencan.

Di beberapa kampus sampai ada mata kuliah untuk berlatih kencan.
Mereka diajari bagai­mana cara merayu, keluar untuk kencan, berciuman, hingga
berhubungan badan. Sebagian kecil berhasil. Yang lain tidak.

Dongkrak Bayi
dengan Bonus

Sebagai negara tetangga, Jepang punya masalah yang sama. Dua
negara serumpun itu juga punya kebijakan serupa, yaitu tak mau menerima
imigran. Jepang mengampanyekan untuk mengurangi jam kerja hingga menambah
insentif untuk cuti paternal.

Baca Juga :  Panik Wabah Virus Corona, Warga Cina Bunuh Anjing dan Kucing Piaraan

Pemerintah Kota Nagi, Prefektur Okayama, menggunakan insentif
untuk mendongkrak populasi. Sejak 2014, mereka memberikan uang tunai kepada
pasangan yang punya anak. JPY 100 ribu (Rp 13,4 juta) untuk anak pertama, JPY
150 ribu (Rp 20,06 juta) untuk anak kedua, dan JPY 400 ribu (Rp 53,5 juta)
untuk anak kelima.

Tak cukup sampai di situ, mereka juga memberikan vaksinasi
gratis, subsidi pembelian rumah, dan pengurangan biaya sekolah, serta penitipan
anak. Imbasnya, angka kelahiran di kota pertanian itu melonjak. Pada 2005,
angkanya hanya 1,4. Tetapi, pada 2014 ke atas, mencapai 2,8. Nagi tak lagi
menjadi kota sepi.

Tak semua sesukses Nagi tentu saja. Desa Nagoro menjadi contoh
nyata bom waktu demografi di Jepang. Di desa tersebut tidak ada anak-anak.
Sekolah terakhir yang masih beroperasi tutup pada 2012. Penduduk kota itu hanya
27 orang dan yang termuda berusia 55 tahun.

Penduduk yang masih muda pindah ke kota lain untuk mencari
penghidupan yang lebih baik. Di wilayah pedesaan, pekerjaan memang sulit
didapatkan. Penduduk yang tersisa membuat boneka seukuran manusia dan
meletakkannya di berbagai lokasi. Semua dilakukan agar desa tersebut terlihat
ramai lagi.

”Saya rasa kota lain juga mengalami hal ini. Kami harus
menghadapi populasi yang menurun maupun menua,” ujar Tsukimi Ayano, salah
seorang penduduk di Nagi.(jpg)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru