28.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Muhammadiyah dan Politik Pilpres

SELAMA satu tahun terakhir sejak kampanye Pilpres dimulai, suasana
dan dinamika politik cukup hangat. Apalagi pilpres juga dibarengkan secara
serentak dengan pemilu untuk legislatif.

Semakin mendekati hari
pelaksanaan pemilu, suasana politik semakin eskalatif. Sehubungan dengan itu,
maka konsolidasi politik cukup gencar dilakukan tidak saja oleh partai-partai
politik, tapi juga oleh para calon dan berbagai tim relawan. Bahkan ormas-ormas
Islam dan banyak tokoh umat (Kiai, ulama, Habaib) dalam tingkat, cara dan
tujuan yang berbeda juga melakukan hal yang sama.

Muhammadiyah sendiri sebagai
kekuatan civil society Islam besar yang tetap menjaga
“netralitas”nya, paling tidak telah melakukan tiga kali konsolidasi
nasional. Konsolidasi di kalangan Muhammadiyah ini paling tidak dimaksudkan
untuk menjaga agar, pertama persyarikatan Muhammadiyah tidak ditarik-ditarik
dan dilibatkan dalam persaingan kepentingan dan pemihakan politik praktis.
Kedua, warga Muhammadiyah tetap berkomitmen dan berkemampuan memperkokoh
persatuan di kalangan persyarikatan Muhammadiyah sendiri dan masyarakat bangsa
secara lebih luas.

Ketiga, pemilu sebagai salah satu
bagian dari proses demokrasi bisa berjalan dengan sehat dan warga Persyarikatan
harus berkomitmen untuk menjaga/merawat demokrasi dengan penuh martabat; jangan
sampai karena perbedaan pilihan politik dalam pemilu yang dilaksanakan lima
tahun sekali ini menimbulkan pertentangan dan keretakan, merusak persaudaraan
dan persatuan.

Keempat, warga persyarikatan
sebagai warga bangsa berkomitmen memanfaatkan momentum berdemokrasi dengan
berpartisipasi menggunakan hak politiknya dengan sebaik-baiknya dan penuh
tanggung jawab saat pemilu.

Seiring dengan sikap resmi
Muhammadiyah ini, warga Muhammadiyah memiliki pandangan, pilihan dan sikap
politik yang tidak tunggal. Tentu saja gambaran perbedaan pilihan politik warga
Persyarikatan ini bukan fenomena baru. Paling tidak sepanjang sejarah Orba
hingga saat ini, misalnya, suara warga persyarikatan terdistribusi ke beberapa
partai politik.

Dalam sistem politik Orba di mana
hanya tersedia tiga partai politik, suara warga Muhammadiyah terdistribusi ke
Golkar dan PPP. Sementara di era Reformasi hingga pemilu yang terakhir, pilihan
warga Muhammadiyah terdistribusi ke 
banyak partai politik antara lain Golkar, PPP, PAN, Demokrat, PBB, PSI,
Perindo dengan jumlah suara yang bervariasi.

Begitu juga pilihan terhadap
capres dan cawapres, tidak tunggal. PAN dan kemudian Partai Matahari Bangsa
yang semula banyak diharapkan menjadi saluran politik warga Muhammadiyah pun
ternyata tidak bisa sepenuhnya diharapkan mempersatukan sikap dan pilihan politik
warga Muhammadiyah, hingga pemilu yang baru lalu. Hanya Masyumi dan Parmusilah
partai yang pernah menjadi saluran politik warga Muhammadiyah.

Sikap resmi Muhammadiyah dalam
kaitannya dengan politik praktis sebagaimana diuraikan di atas dan perbedaan
preferensi politik di kalangan warga persyarikatan tentu saja akan mendatangkan
resiko yang tidak bisa dihindari.

Di antara resiko itu ialah bahwa
Muhammadiyah akan bisa dinilai sebagai ormas Islam yang kurang memberikan
kontribusi politik elektoral yang maksimal dan signifikan, sehingga sedikit
sekali kursi politik atau posisi birokrasi di pemerintahan dan di berbagai
lembaga negara lainnya (termasuk BUMN misalnya) yang strategis yang kemudian
disediakan atau diberikan kepada seseorang yang bisa merepresentasikan
Muhammadiyah.

Hal ini tidak dialami oleh NU
karena NU telah memainkan peran sebagai mesin politik yang cukup efektif yang
memang menggerakkan dan melakukan kerja kerja politik praktis. Dari sisi ini,
NU merasakan lebih banyak political advantages di banyak tempat dibandingkan
dengan Muhamadiyah, yang dalam tingkat tertentu menimbulkan kecemburuan kalau
tidak kejengkelan di sebagian kalangan komunitas Muhammadiyah.

Dilema

Realitas yang terkait dengan
Muhammadiyah dan politik sebagaimana diuraikan di atas, bisa juga dianggap oleh
sebagian kalangan sebagai dilema Muhammadiyah. Terutama di era kepemimpinan
SBY, Muhammadiyah merasakan kepentingan persyarikatan banyak terabaikan.
Apalagi,  pada era tersebut Muhammadiyah
nampak tampil sebagai ormas Islam yang banyak melakukan kritik terhadap
berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai merusak kedaulatan.

Gerakan Jihad Konstitusi yang
dilansir Muhammadiyah adalah salah satu contoh sikap kritisisme Muhammadiyah
terhadap pemerintah. Sebaliknya, NU yang pada saat itu memperoleh tempat secara
politik karena memang memberikan kontribusi politik elektoral yang signifikan
melakukan pembelaan kepada pemerintah. Sebagai akibatnya,  relasi Muhammadiyah dan NUpun tidak terjalin
secara harmonis.

Fenomena ini mendorong sejumlah
kalangan internal Muhammadiyah untuk melakukan upaya-upaya revitalisasi agar
peran-peran politik Muhammadiyah bisa dilakukan secara elegan dan lebih
maksimal sehingga kekuasaan dan pengaruh Muhammadiyah di eksekutif, legislatif
dan beberapa lembaga tinggi negara serta BUMN terasa dan efektif. Munculnya
pemikiran perlunya Muhammadiyah membuka dan memiliki amal usaha baru di bidang
politik yang dilansir oleh beberapa tokoh, antara lain Bachtiar Effendy dan
Hajriyanto Y. Tohari adalah salah satu contoh pentingnya usaha-usaha yang lebih
serius dan strategis agar banyak warga Muhammadiyah yang memperoleh posisi
politik yang strategis sehingga pemerintah dan negara benar-benar diharapkan
mampu membangun keadilan dan kesejahteraan bersama. Ungkapan “kekuasaan
politik itu harus diperjuangkan, bukan ditunggu,” menjadi sangat penting.

Baca Juga :  Fraksi PDIP Usulkan Pemprov Realokasi APBD Tangani Covid-19

Suasana dan spirit ini juga
muncul di kalangan Angkatan Muda Muhammadiyah. Kornas Fokal (Forum Komunikasi
Alumni) IMM, misalnya, telah melakukan serangkaian diskusi memperbincangkan
penguatan peran alumni IMM terutama dalam bidang politik. Di bawah kepengurusan
Armyn Gultom, tema atau spirit yang dikembangkan Fokal IMM adalah distribusi
kader.

Fokal IMM memandang bahwa PAN,
yang selama ini diharapkan menjadi saluran politik warga Muhammadiyah, ternyata
tidak terwujud. Apalagi kader angkatan muda Muhammadiyah khususnya alumni IMM
merasakan tidak banyak terakomodasi di PAN. Oleh karena itu, perjuangan politik
perlu dilakukan melalui berbagai saluran partai, tidak saja PAN. Dengan cara
ini, alumni IMM dan Angkatan Muda Muhammadiyah lainnya bisa memainkan-peran
politiknya secara lebih maksimal di berbagai partai politik yang tersedia.

Tidak maksimalnya warga
Muhammadiyah yang terdistribusi di pusat-pusat kekuasaan ini, terutama di era
SBY,  menimbulkan kegalauan di sejumlah
kalangan Muhammadiyah. Hal ini juga dipandang bahwa misi amar ma’ruf nahy
munkar dalam bidang politik belum berjalan secara maksimal, sementara secara
normatif Muhammadiyah telah memiliki banyak dokumen penting terkait dengan
pandangan Muhammadiyah tentang politik, pemerintah dan kebangsaan. Diperlukan
langkah-langkah yang lebih kongkrit dan strategis merealisasikan perjuangan di
bidang politik ini.

Pemilu 2019

Pemilu serentak 2019 menjadi
momentum penting yang diharapkan bisa lebih memaksimalkan peran strategis
politik Muhammadiyah. Karena itu, berbagai persiapan dan konsolidasi di
kalangan Muhammadiyah dilakukan baik secara kelembagaan maupun secara suka rela
oleh tokoh maupun komunitas warga Muhammadiyah yang memang memiliki kepedulian
kuat di bidang politik.

Salah satu hasil dari konsolidasi
ini ialah terbentuknya sejumlah tim relawan. Tim relawan inilah yang bekerja
untuk melakukan kampanye untuk memenangkan salah satu paslon capres dan
cawapres.

Perhelatan pemilu ini sangat
penting karena akan menentukan seberapa banyak warga Muhammadiyah yang akan
terpilih sebagai anggauta legislatif di DPR RI dan DPRD, siapakah calon
presiden dan calon wakil presiden yang akan terpilih yang sekaligus juga
bisa  memberikan ruang lebih lebar bagi
warga Muhammadiyah dan Muhammadiyah untuk memainkan peran-peran politik
kekuasaan mereka secara lebih maksimal demi kemaslahatan bangsa.

Pemerintahan yang terbentuk dari
hasil Pemilu 2019 ini menjadi harapan besar terjadinya perubahan penting di
mana Muhammadiyah paling tidak memperoleh tempat yang jauh lebih adil tidak
seperti yang dialami di masa pemerintahan sebelumnya.

Memang nampak gejala muncul dan
bangkitnya romantisme di sebagian kalangan Muhammadiyah terhadap Masyumi,
bersamaan dengan berkembangnya spirit Islamisme di kalangan masyarakat. Hal ini
dipicu oleh kenyataan munculnya kehawatiran kembalinya Nasakom pada tahun 2014
yang dilatarbelakangi oleh harmonisnya hubungan PDIP-NU sebagai mesin politik
Presiden terpilih.

Ingatan tentang Nasakom tersebut
berbanding lurus dengan ingatan terhadap Masyumi, di mana pada masa itu ada
gesekan yang sangat keras antara Masyumi dengan PKI. Gesekan itu juga terjadi
antara Masyumi dengan NU.

Muncul anggapan dari sebagian
kalangan Muhammadiyah bahwa presiden/pemerintah lebih memberikan perhatian
besar kepada NU dibandingkan dengan Muhammadiyah. Sikap Presiden terpilih ini
tentu bisa dipahami karena  tidak dapat
diingkari bahwa konstituen organik Presiden terpilih pada Pemilu tahun 2014
adalah NU dan PDIP. Pada mulanya pemikiran ini agak surut ketika nama Mahfud MD
terdengar dan disebut-sebut sebagai calon Wapres terkuat mendampingi Presiden
Petahana.

Mereka berharap Mahfud dapat
menjadi penengah bagi semua kalangan umat terutama dari lingkungan dua Ormas
Islam terbesar yaitu Muhammadiyah dan NU. 
Akan tetapi ketika pada akhirnya KMA yang ditetapkan sebagai Cawapres
mendampingi Capres Petahana, maka isu dan keyakinan bangkitnya neo-Nasakom
menjadi santer kembali. Paslon 01 dinilai oleh sebagian kalangan Muhammadiyah
sebagai hubungan yang akan memberikan keuntungan besar bagi kelompok nasionalis
sekular dan NU,  persis seperti hubungan
yang terbentuk di era Megawati dan era Soekarno.

Baca Juga :  Dinsos Kalteng Usulkan Rehabilitasi Empat Panti Sosial

Karena itu Muhammadiyah,
sebagaimana Masyumi, harus melakukan perlawanan dengan cara memberikan dukungan
kepada paslon 02 apalagi kalangan ulama juga sudah memberikan dukungan melalui
Ijmak Ulama. Kebesaran kekuatan politik Islam sebagaimana yang telah
ditunjukkan oleh Masyumi harus dihidupkan kembali mengalahkan neo-Nasakom.

Perlawanan politik ini antara
lain digerakkan oleh sejumlah elit struktural Muhammadiyah dengan terus
melakukan kampanye di lingkungan pimpinan Muhammadiyah Wilayah, Daerah dan
bahkan Cabang dan Ranting. Meskipun melakukan pelanggaran terhadap peraturan
dan kebijakan PP. Muhammadiyah agar tidak menggunakan atribut dan amal usaha
Muhammadiyah sebagai ajang kampanye, akan tetapi kalangan ini terus secara intensif
mengunjungi kampus-kampus Muhammadiyah untuk menggerakkan perlawanan terhadap
paslon 01.

Akan tetapi semangat mengalahkan
dengan cara-cara yang bahkan melanggar aturan ini justru menuai kritik dari
kalangan akademisi dan angkatan muda Muhammadiyah yang memandang dengan cara
yang lebih rasional dan bermartabat terhadap proses-proses demokrasi ini. Hal
ini menjadikan golongan tersebut  tidak
bersimpati kepada paslon 02 dan berbalik arah memberikan dukungan kepada paslon
01. Inilah yang menyebabkan pemilih Muhammadiyah pada Pemilu Presiden tahun
2019 mengalami kenaikan yang signifikan jika dibandingkan dengan Pemilu
Presiden tahun 2014.

Kontestasi politik pilpres yang
ternyata juga melibatkan warga Muhammadiyah berjalan cukup keras dan bahkan
sampai pada kehawatiran terjadinya gesekan dan konflik yang akan meretakkan
kehidupan masyarakat dan bangsa. Karena itulah, 
beberapa kali PP. Muhammadiyah mengingatkan khususnya kepada warga
Muhammadiyah agar tetap menjaga akhlaq karimah, menghormati perbedaan dan
menjaga persatuan bangsa agar Indonesia tetap utuh dan mengikuti/mentaati
peraturan perundangan yang ada ketika terjadi persengkataan terhadap hasil
pemilu.

Kehawatiran ini juga beralasan
karena ada gerakan yang dilakukan oleh beberapa oknum Muhammadiyah yang
berusaha mendelegitimasi terhadap kepemimpinan Muhammadiyah yang dinilai tidak
sensitif terhadap tuntutan masyarakat luas. Delegitimasi ini terus diviralkan
dengan tujuan antara lain agar pernyataan, seruan dan kebijakan PP.
Muhammadiyah jangan didengar dan diikuti. Yang perlu didengar dan diikuti ialah
seruan para Habaib dan tentu para tokoh Muhammadiyah pro-Paslon 02 yang
diyakini lebih merepresentasikan semangat asli Muhammadiyah untuk melakukan
perubahan mengalahkan paslon 01. Dan perlawanan ini nampak masih terus
dilakukan bahkan pasca penetapan KPU terhadap hasil Pilpres. Upaya delegitimasi
terhadap KPU juga dilakukan.

Langkah Ke Depan

Ada beberapa hal yang penting
digaris bawahi dalam rangka menghadapi masa depan:

1. Menjaga agar proses penyelesaian
sengketa terhadap hasil Pemilu melalui MK bisa berjalan sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.  Langkah
konstutusional ini harus ditempuh dan Muhammadiyah harus tetap ikut melakukan
pengawalan.

2. Mengikuti langkah PP.
Muhammadiyah,  seluruh warga Muhammadiyah
haruslah menunjukkan komitmen, tanggung jawab dan jiwa besar untuk tidak
melakukan aksi-aksi jalanan terkait dengan langkah konstitusional menyelesaikan
sengketa hasil pemilu. Banyak hal yang lebih produktif yang bisa dilakukan oleh
warga persyarikatan untuk bangsa dan negara.

3. Menjaga Muhammadiyah untuk
tetap menjadi kekuatan civil society Islam yang besar,  berwibawa dan berpengaruh luas untuk
mengemban misi kerahmatan untuk seluruh alam, memperkokoh Washotiyatul Islam.
Karena itu, momentum Muktamar Muhammadiyah ke depan haruslah menghasilkan
kepengurusan Muhammadiyah yang memiliki kemampuan mewujudkan Washitiyatul Islam
dan Indonesia berkemajuan.

Ketokohan seperti Haedar Nashir
nampaknya masih dibutuhkan untuk memimpin Muhammadiyah.  Pemerintah akan menjadi mitra Muhammadiyah
yang tepat dan baik untuk keperluan ini dengan tetap menjunjung tinggi prinsip
Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar. 

4. The ruling parties ke depan bersama dengan kekuatan koalisi
haruslah menjadi penyangga politik penting untuk membangun Indonesia sebagai
bangsa muslim terbesar dan pusat Washotiyatul Islam global. Terkait dengan
itu,  maka ormas dan gerakan Islam
moderat khususnya Muhammadiyah dan NU haruslah menjadi mitra dan memperoleh
peran strategis memperokoh Washotiyatul Islam ini. Wallahualam. (***)

(Penulis adalah Ketua Dewan Pakar Fokal IMM dan Asisten Staf Khusus
Presiden)

SELAMA satu tahun terakhir sejak kampanye Pilpres dimulai, suasana
dan dinamika politik cukup hangat. Apalagi pilpres juga dibarengkan secara
serentak dengan pemilu untuk legislatif.

Semakin mendekati hari
pelaksanaan pemilu, suasana politik semakin eskalatif. Sehubungan dengan itu,
maka konsolidasi politik cukup gencar dilakukan tidak saja oleh partai-partai
politik, tapi juga oleh para calon dan berbagai tim relawan. Bahkan ormas-ormas
Islam dan banyak tokoh umat (Kiai, ulama, Habaib) dalam tingkat, cara dan
tujuan yang berbeda juga melakukan hal yang sama.

Muhammadiyah sendiri sebagai
kekuatan civil society Islam besar yang tetap menjaga
“netralitas”nya, paling tidak telah melakukan tiga kali konsolidasi
nasional. Konsolidasi di kalangan Muhammadiyah ini paling tidak dimaksudkan
untuk menjaga agar, pertama persyarikatan Muhammadiyah tidak ditarik-ditarik
dan dilibatkan dalam persaingan kepentingan dan pemihakan politik praktis.
Kedua, warga Muhammadiyah tetap berkomitmen dan berkemampuan memperkokoh
persatuan di kalangan persyarikatan Muhammadiyah sendiri dan masyarakat bangsa
secara lebih luas.

Ketiga, pemilu sebagai salah satu
bagian dari proses demokrasi bisa berjalan dengan sehat dan warga Persyarikatan
harus berkomitmen untuk menjaga/merawat demokrasi dengan penuh martabat; jangan
sampai karena perbedaan pilihan politik dalam pemilu yang dilaksanakan lima
tahun sekali ini menimbulkan pertentangan dan keretakan, merusak persaudaraan
dan persatuan.

Keempat, warga persyarikatan
sebagai warga bangsa berkomitmen memanfaatkan momentum berdemokrasi dengan
berpartisipasi menggunakan hak politiknya dengan sebaik-baiknya dan penuh
tanggung jawab saat pemilu.

Seiring dengan sikap resmi
Muhammadiyah ini, warga Muhammadiyah memiliki pandangan, pilihan dan sikap
politik yang tidak tunggal. Tentu saja gambaran perbedaan pilihan politik warga
Persyarikatan ini bukan fenomena baru. Paling tidak sepanjang sejarah Orba
hingga saat ini, misalnya, suara warga persyarikatan terdistribusi ke beberapa
partai politik.

Dalam sistem politik Orba di mana
hanya tersedia tiga partai politik, suara warga Muhammadiyah terdistribusi ke
Golkar dan PPP. Sementara di era Reformasi hingga pemilu yang terakhir, pilihan
warga Muhammadiyah terdistribusi ke 
banyak partai politik antara lain Golkar, PPP, PAN, Demokrat, PBB, PSI,
Perindo dengan jumlah suara yang bervariasi.

Begitu juga pilihan terhadap
capres dan cawapres, tidak tunggal. PAN dan kemudian Partai Matahari Bangsa
yang semula banyak diharapkan menjadi saluran politik warga Muhammadiyah pun
ternyata tidak bisa sepenuhnya diharapkan mempersatukan sikap dan pilihan politik
warga Muhammadiyah, hingga pemilu yang baru lalu. Hanya Masyumi dan Parmusilah
partai yang pernah menjadi saluran politik warga Muhammadiyah.

Sikap resmi Muhammadiyah dalam
kaitannya dengan politik praktis sebagaimana diuraikan di atas dan perbedaan
preferensi politik di kalangan warga persyarikatan tentu saja akan mendatangkan
resiko yang tidak bisa dihindari.

Di antara resiko itu ialah bahwa
Muhammadiyah akan bisa dinilai sebagai ormas Islam yang kurang memberikan
kontribusi politik elektoral yang maksimal dan signifikan, sehingga sedikit
sekali kursi politik atau posisi birokrasi di pemerintahan dan di berbagai
lembaga negara lainnya (termasuk BUMN misalnya) yang strategis yang kemudian
disediakan atau diberikan kepada seseorang yang bisa merepresentasikan
Muhammadiyah.

Hal ini tidak dialami oleh NU
karena NU telah memainkan peran sebagai mesin politik yang cukup efektif yang
memang menggerakkan dan melakukan kerja kerja politik praktis. Dari sisi ini,
NU merasakan lebih banyak political advantages di banyak tempat dibandingkan
dengan Muhamadiyah, yang dalam tingkat tertentu menimbulkan kecemburuan kalau
tidak kejengkelan di sebagian kalangan komunitas Muhammadiyah.

Dilema

Realitas yang terkait dengan
Muhammadiyah dan politik sebagaimana diuraikan di atas, bisa juga dianggap oleh
sebagian kalangan sebagai dilema Muhammadiyah. Terutama di era kepemimpinan
SBY, Muhammadiyah merasakan kepentingan persyarikatan banyak terabaikan.
Apalagi,  pada era tersebut Muhammadiyah
nampak tampil sebagai ormas Islam yang banyak melakukan kritik terhadap
berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai merusak kedaulatan.

Gerakan Jihad Konstitusi yang
dilansir Muhammadiyah adalah salah satu contoh sikap kritisisme Muhammadiyah
terhadap pemerintah. Sebaliknya, NU yang pada saat itu memperoleh tempat secara
politik karena memang memberikan kontribusi politik elektoral yang signifikan
melakukan pembelaan kepada pemerintah. Sebagai akibatnya,  relasi Muhammadiyah dan NUpun tidak terjalin
secara harmonis.

Fenomena ini mendorong sejumlah
kalangan internal Muhammadiyah untuk melakukan upaya-upaya revitalisasi agar
peran-peran politik Muhammadiyah bisa dilakukan secara elegan dan lebih
maksimal sehingga kekuasaan dan pengaruh Muhammadiyah di eksekutif, legislatif
dan beberapa lembaga tinggi negara serta BUMN terasa dan efektif. Munculnya
pemikiran perlunya Muhammadiyah membuka dan memiliki amal usaha baru di bidang
politik yang dilansir oleh beberapa tokoh, antara lain Bachtiar Effendy dan
Hajriyanto Y. Tohari adalah salah satu contoh pentingnya usaha-usaha yang lebih
serius dan strategis agar banyak warga Muhammadiyah yang memperoleh posisi
politik yang strategis sehingga pemerintah dan negara benar-benar diharapkan
mampu membangun keadilan dan kesejahteraan bersama. Ungkapan “kekuasaan
politik itu harus diperjuangkan, bukan ditunggu,” menjadi sangat penting.

Baca Juga :  Fraksi PDIP Usulkan Pemprov Realokasi APBD Tangani Covid-19

Suasana dan spirit ini juga
muncul di kalangan Angkatan Muda Muhammadiyah. Kornas Fokal (Forum Komunikasi
Alumni) IMM, misalnya, telah melakukan serangkaian diskusi memperbincangkan
penguatan peran alumni IMM terutama dalam bidang politik. Di bawah kepengurusan
Armyn Gultom, tema atau spirit yang dikembangkan Fokal IMM adalah distribusi
kader.

Fokal IMM memandang bahwa PAN,
yang selama ini diharapkan menjadi saluran politik warga Muhammadiyah, ternyata
tidak terwujud. Apalagi kader angkatan muda Muhammadiyah khususnya alumni IMM
merasakan tidak banyak terakomodasi di PAN. Oleh karena itu, perjuangan politik
perlu dilakukan melalui berbagai saluran partai, tidak saja PAN. Dengan cara
ini, alumni IMM dan Angkatan Muda Muhammadiyah lainnya bisa memainkan-peran
politiknya secara lebih maksimal di berbagai partai politik yang tersedia.

Tidak maksimalnya warga
Muhammadiyah yang terdistribusi di pusat-pusat kekuasaan ini, terutama di era
SBY,  menimbulkan kegalauan di sejumlah
kalangan Muhammadiyah. Hal ini juga dipandang bahwa misi amar ma’ruf nahy
munkar dalam bidang politik belum berjalan secara maksimal, sementara secara
normatif Muhammadiyah telah memiliki banyak dokumen penting terkait dengan
pandangan Muhammadiyah tentang politik, pemerintah dan kebangsaan. Diperlukan
langkah-langkah yang lebih kongkrit dan strategis merealisasikan perjuangan di
bidang politik ini.

Pemilu 2019

Pemilu serentak 2019 menjadi
momentum penting yang diharapkan bisa lebih memaksimalkan peran strategis
politik Muhammadiyah. Karena itu, berbagai persiapan dan konsolidasi di
kalangan Muhammadiyah dilakukan baik secara kelembagaan maupun secara suka rela
oleh tokoh maupun komunitas warga Muhammadiyah yang memang memiliki kepedulian
kuat di bidang politik.

Salah satu hasil dari konsolidasi
ini ialah terbentuknya sejumlah tim relawan. Tim relawan inilah yang bekerja
untuk melakukan kampanye untuk memenangkan salah satu paslon capres dan
cawapres.

Perhelatan pemilu ini sangat
penting karena akan menentukan seberapa banyak warga Muhammadiyah yang akan
terpilih sebagai anggauta legislatif di DPR RI dan DPRD, siapakah calon
presiden dan calon wakil presiden yang akan terpilih yang sekaligus juga
bisa  memberikan ruang lebih lebar bagi
warga Muhammadiyah dan Muhammadiyah untuk memainkan peran-peran politik
kekuasaan mereka secara lebih maksimal demi kemaslahatan bangsa.

Pemerintahan yang terbentuk dari
hasil Pemilu 2019 ini menjadi harapan besar terjadinya perubahan penting di
mana Muhammadiyah paling tidak memperoleh tempat yang jauh lebih adil tidak
seperti yang dialami di masa pemerintahan sebelumnya.

Memang nampak gejala muncul dan
bangkitnya romantisme di sebagian kalangan Muhammadiyah terhadap Masyumi,
bersamaan dengan berkembangnya spirit Islamisme di kalangan masyarakat. Hal ini
dipicu oleh kenyataan munculnya kehawatiran kembalinya Nasakom pada tahun 2014
yang dilatarbelakangi oleh harmonisnya hubungan PDIP-NU sebagai mesin politik
Presiden terpilih.

Ingatan tentang Nasakom tersebut
berbanding lurus dengan ingatan terhadap Masyumi, di mana pada masa itu ada
gesekan yang sangat keras antara Masyumi dengan PKI. Gesekan itu juga terjadi
antara Masyumi dengan NU.

Muncul anggapan dari sebagian
kalangan Muhammadiyah bahwa presiden/pemerintah lebih memberikan perhatian
besar kepada NU dibandingkan dengan Muhammadiyah. Sikap Presiden terpilih ini
tentu bisa dipahami karena  tidak dapat
diingkari bahwa konstituen organik Presiden terpilih pada Pemilu tahun 2014
adalah NU dan PDIP. Pada mulanya pemikiran ini agak surut ketika nama Mahfud MD
terdengar dan disebut-sebut sebagai calon Wapres terkuat mendampingi Presiden
Petahana.

Mereka berharap Mahfud dapat
menjadi penengah bagi semua kalangan umat terutama dari lingkungan dua Ormas
Islam terbesar yaitu Muhammadiyah dan NU. 
Akan tetapi ketika pada akhirnya KMA yang ditetapkan sebagai Cawapres
mendampingi Capres Petahana, maka isu dan keyakinan bangkitnya neo-Nasakom
menjadi santer kembali. Paslon 01 dinilai oleh sebagian kalangan Muhammadiyah
sebagai hubungan yang akan memberikan keuntungan besar bagi kelompok nasionalis
sekular dan NU,  persis seperti hubungan
yang terbentuk di era Megawati dan era Soekarno.

Baca Juga :  Dinsos Kalteng Usulkan Rehabilitasi Empat Panti Sosial

Karena itu Muhammadiyah,
sebagaimana Masyumi, harus melakukan perlawanan dengan cara memberikan dukungan
kepada paslon 02 apalagi kalangan ulama juga sudah memberikan dukungan melalui
Ijmak Ulama. Kebesaran kekuatan politik Islam sebagaimana yang telah
ditunjukkan oleh Masyumi harus dihidupkan kembali mengalahkan neo-Nasakom.

Perlawanan politik ini antara
lain digerakkan oleh sejumlah elit struktural Muhammadiyah dengan terus
melakukan kampanye di lingkungan pimpinan Muhammadiyah Wilayah, Daerah dan
bahkan Cabang dan Ranting. Meskipun melakukan pelanggaran terhadap peraturan
dan kebijakan PP. Muhammadiyah agar tidak menggunakan atribut dan amal usaha
Muhammadiyah sebagai ajang kampanye, akan tetapi kalangan ini terus secara intensif
mengunjungi kampus-kampus Muhammadiyah untuk menggerakkan perlawanan terhadap
paslon 01.

Akan tetapi semangat mengalahkan
dengan cara-cara yang bahkan melanggar aturan ini justru menuai kritik dari
kalangan akademisi dan angkatan muda Muhammadiyah yang memandang dengan cara
yang lebih rasional dan bermartabat terhadap proses-proses demokrasi ini. Hal
ini menjadikan golongan tersebut  tidak
bersimpati kepada paslon 02 dan berbalik arah memberikan dukungan kepada paslon
01. Inilah yang menyebabkan pemilih Muhammadiyah pada Pemilu Presiden tahun
2019 mengalami kenaikan yang signifikan jika dibandingkan dengan Pemilu
Presiden tahun 2014.

Kontestasi politik pilpres yang
ternyata juga melibatkan warga Muhammadiyah berjalan cukup keras dan bahkan
sampai pada kehawatiran terjadinya gesekan dan konflik yang akan meretakkan
kehidupan masyarakat dan bangsa. Karena itulah, 
beberapa kali PP. Muhammadiyah mengingatkan khususnya kepada warga
Muhammadiyah agar tetap menjaga akhlaq karimah, menghormati perbedaan dan
menjaga persatuan bangsa agar Indonesia tetap utuh dan mengikuti/mentaati
peraturan perundangan yang ada ketika terjadi persengkataan terhadap hasil
pemilu.

Kehawatiran ini juga beralasan
karena ada gerakan yang dilakukan oleh beberapa oknum Muhammadiyah yang
berusaha mendelegitimasi terhadap kepemimpinan Muhammadiyah yang dinilai tidak
sensitif terhadap tuntutan masyarakat luas. Delegitimasi ini terus diviralkan
dengan tujuan antara lain agar pernyataan, seruan dan kebijakan PP.
Muhammadiyah jangan didengar dan diikuti. Yang perlu didengar dan diikuti ialah
seruan para Habaib dan tentu para tokoh Muhammadiyah pro-Paslon 02 yang
diyakini lebih merepresentasikan semangat asli Muhammadiyah untuk melakukan
perubahan mengalahkan paslon 01. Dan perlawanan ini nampak masih terus
dilakukan bahkan pasca penetapan KPU terhadap hasil Pilpres. Upaya delegitimasi
terhadap KPU juga dilakukan.

Langkah Ke Depan

Ada beberapa hal yang penting
digaris bawahi dalam rangka menghadapi masa depan:

1. Menjaga agar proses penyelesaian
sengketa terhadap hasil Pemilu melalui MK bisa berjalan sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.  Langkah
konstutusional ini harus ditempuh dan Muhammadiyah harus tetap ikut melakukan
pengawalan.

2. Mengikuti langkah PP.
Muhammadiyah,  seluruh warga Muhammadiyah
haruslah menunjukkan komitmen, tanggung jawab dan jiwa besar untuk tidak
melakukan aksi-aksi jalanan terkait dengan langkah konstitusional menyelesaikan
sengketa hasil pemilu. Banyak hal yang lebih produktif yang bisa dilakukan oleh
warga persyarikatan untuk bangsa dan negara.

3. Menjaga Muhammadiyah untuk
tetap menjadi kekuatan civil society Islam yang besar,  berwibawa dan berpengaruh luas untuk
mengemban misi kerahmatan untuk seluruh alam, memperkokoh Washotiyatul Islam.
Karena itu, momentum Muktamar Muhammadiyah ke depan haruslah menghasilkan
kepengurusan Muhammadiyah yang memiliki kemampuan mewujudkan Washitiyatul Islam
dan Indonesia berkemajuan.

Ketokohan seperti Haedar Nashir
nampaknya masih dibutuhkan untuk memimpin Muhammadiyah.  Pemerintah akan menjadi mitra Muhammadiyah
yang tepat dan baik untuk keperluan ini dengan tetap menjunjung tinggi prinsip
Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar. 

4. The ruling parties ke depan bersama dengan kekuatan koalisi
haruslah menjadi penyangga politik penting untuk membangun Indonesia sebagai
bangsa muslim terbesar dan pusat Washotiyatul Islam global. Terkait dengan
itu,  maka ormas dan gerakan Islam
moderat khususnya Muhammadiyah dan NU haruslah menjadi mitra dan memperoleh
peran strategis memperokoh Washotiyatul Islam ini. Wallahualam. (***)

(Penulis adalah Ketua Dewan Pakar Fokal IMM dan Asisten Staf Khusus
Presiden)

Terpopuler

Artikel Terbaru