30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Menyoal Partisipasi Pemilih dalam Pilkada pada Masa Pandemi

AKHIRNYA rasa penasaran
warga masyarakat Kalimantan Tengah menunggu kabar siapa bakal pasangan calon
gubernur dan wakil gubernur yang akan maju dalam kontestasi elektoral pilkada
2020 terjawab sudah. Hal itu seiring dengan kepastian mendaftarnya dua bakal
pasangan calon yang diusung oleh gabungan partai politik ke Komisi Pemilihan
Umum Daerah (KPUD) Provinsi Kalimantan Tengah sebagaimana jadwal pendaftaran
bakal pasangan calon yang telah ditetapkan oleh penyelenggara pemilu.

Sebelumnya, muncul spekulasi di tengah masyarakat mengenai siapa bakal pasangan
calon yang akan berkontestasi merebut simpati dan hati warga masyarakat Kalimantan
Tengah dalam pilkada 2020 ini. Beberapa baliho atau papan reklame dengan ukuran
besar yang menampilkan figur-figur tertentu dan terpasang di lokasi-lokasi
strategis sempat turut mewarnai spekulasi atau perkiraan publik.

Pasangan Sugianto
Sabran-Edy Pratowo dan pasangan Ben Brahim S. Bahat-Ujang Iskandar menjadi dua
bakal pasangan calon yang akan bertarung dalam kontestasi elektoral kali ini.
Pasangan Sugianto Sabran dan Edy Pratowo diusung oleh PDIP, Golkar, Nasdem,
PKB, PAN, Perindo, PKS, dan PPP.

Sedangkan pasangan Ben Brahim S. Bahat-Ujang
Iskandar diusung oleh Demokrat, Gerindra, dan Hanura. Kedua bakal pasangan
calon tersebut telah mendaftarkan diri ke KPUD Provinsi, meskipun KPUD Provinsi
sendiri belum menetapkan keduanya sebagai pasangan calon secara resmi.
Penetapan secara resmi pasangan calon akan dilaksanakan pada 23 September 2020
sesuai dengan tahapan pilkada.

Pilkada pada masa
pandemi: antara optimisme dan kekhawatiran

Pilkada calon gubernur
dan wakil gubernur tahun 2020 ini merupakan pilkada keempat yang akan
dilaksanakan di provinsi Kalimantan Tengah. Sebelumnya pilkada calon gubernur
dan wakil gubernur dilaksanakan pada 2005, 2010, dan 2016.

Pilkada kali ini
nuansanya terasa berbeda jika dibandingkan dengan pilkada-pilkada sebelumnya. Salah
satunya disebabkan oleh situasi dan kondisi di mana pilkada akan dilaksanakan
di masa pandemi Covid-19.

Ada optimisme dan juga
muncul khawatiran, apakah pilkada akan berlangsung dengan lancar, aman, dan
sukses? Apakah para pemilih akan antusias datang ke tempat pemungutan suara
(TPS) untuk menggunakan hak pilihnya?. Jika pun datang ke TPS, apakah para
pemilih datang dengan kesadaran politiknya atau justru karena terikat kontrak
atas dasar guyuran uang (vote buying)
dari kandidat dan tim suksesnya?.

Baca Juga :  PBM Berikan Sosialisasi Program BNNP Rehabilitasi Pecandu Narkoba

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa setiap
penyelenggaraan pemilu (pilpres, pileg, dan pilkada) praktik vote buying begitu terasa. Bahkan
beberapa kajian ilmiah terkait vote
buying
dalam pemilu di Indonesia (Aspinall & Berenschot, 2019; Muhtadi,
2019) mengungkapkan fenomena tersebut.

Menyikapi adanya
pandemi Covid-19, tahapan pilkada serentak diubah dengan dikeluarkan dan
ditetapkannya PKPU No. 10 Tahun 2020. KPU RI telah menetapkan hari pemungutan
suara pilkada serentak pada Rabu, 9 Desember 2020. Salah satu indikator atau
kriteria penilaian bagi kesuksesan penyelenggaraan pemilu ialah tingkat
partisipasi pemilih pada saat pemungutan suara. Jika partisipasi para pemilih
tinggi, maka pemilu bisa dikatakan sukses. T

entu saja masih ada kriteria atau
indikator lainnya untuk mengukur kesuksesan sebuah penyelenggaraan pemilu.

Penyelenggaraan pilkada
pada masa pandemi tetap saja memiliki resiko penularan. Pada masa pandemi dan
kecenderungan penularan yang masih relatif tinggi, penyelenggara pemilu,
kandidat, tim sukses, dan warga masyarakat tentu harus ekstra berhati-hati
dengan tetap memerhatikan dan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Semua
pihak diharapkan terus menjaga kondusifitas lingkungan, meskipun Covid-19 masih
menebar ancaman dan masih belum ada kepastian kapan pandemi akan segera
berakhir.

Urgensi partisipasi
pemilih

Penyelenggaraan pemilu
(pilkada) tidak akan bermakna sama sekali jika tanpa adanya partisipasi
pemilih. Kontestasi elektoral pasti akan selalu berhubungan dengan partisipasi
pemilih dalam menggunakan hak pilihnya pada saat pemungutan suara. Penggunaan
hak pilih tersebut tentu bukan menjadi satu-satunya ukuran partisipasi pemilih.

Harapan (hope) akan adanya perubahan
atau perbaikan dari kandidat merupakan salah satu faktor penting dan signifikan
pengaruhnya dalam menggerakkan partisipasi pemilih. Jika kandidatnya petahana (incumbent), apakah masih ada harapan
publik untuk melanjutkan pembangunan dan model kepemimpinannya setelah satu
periode kekuasaan. Jika posisi kandidat sebagai penantang, apakah bisa
meyakinkan pemilih, bahwa ada perubahan yang akan lebih baik jika mengganti
pemimpin.

Untuk meraih simpati
dan hati para pemilih dalam konteks kontestasi elektoral, kandidat perlu juga
memerhatikan apa yang diistilahkan oleh Leon Festinger (1957) melalui karyanya A Theory of Cognitive Dissonance sebagai
disonansi kognitif. Disonansi kognitif dimaknai sebagai perasaan
ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan perilaku
yang tidak konsisten dan memotivasi seseorang untuk mengambil langkah demi
mengurangi ketidaknyamanan tersebut. Menurut Heryanto (2020), inkonsistensi
logis merupakan salah satu faktor yang bisa menyebabkan disonansi.

Baca Juga :  Pasar Ramadan Kemungkinan Ditiadakan

Inkonsistensi logis
yaitu logika berfikir yang mengingkari logika berfikir lain. Misalnya, pemilih
meyakini bahwa pemilu (pilkada) itu merupakan momentum untuk menentukan
perbaikan daerah lima tahun ke depan, tetapi di saat bersamaan muncul
ketidakpercayaan pada program, janji kampanye, dan rekam jejak kandidat untuk
membawa mereka pada perbaikan yang diharapkan. Munculnya inkonsistensi logis
inilah yang membuat pemilih akan mencari cara mengurangi ketidakpastian guna
menciptakan konsonansi. Disonansi yang muncul pada khalayak pemilih, bisa
menjadi faktor perusak sekaligus peluang kemenangan.

Berdasarkan tahapan
pilkada setidaknya masih tersisa 3 bulan bagi dua bakal pasangan kandidat dan
tim suksesnya untuk bisa memersuasi dan meraih simpati publik sekaligus
memperoleh suara pemilih. Partisipasi pemilih yang tentu saja tidak sekadar
diukur dari kehadiran mereka di tempat pemungutan suara (TPS) pada hari H
pemungutan suara. Jauh lebih penting dan substansial adalah bagaimana
partisipasi pemilih juga diarahkan pada diskursifitas rasional dan kritisisme
warga.

Hal penting lainnya
ialah bahwa kedua bakal pasangan calon dan tim suksesnya juga memiliki tanggung
jawab moril untuk memberikan literasi politik warga sehingga pelaksanaan
pilkada menjadi keriangan persaudaraan. Sebuah kontestasi elektoral yang
mengedepankan dan mengutamakan keadaban dengan semangat kekitaan sehingga
terwujud apa yang disebut bonum commune.
Sebagai renungan bersama, di akhir tulisan ini penting mengutip perkataan Suzy
Kassem berikut “choose a leader who will
invest in building bridges, not walls. Books, not weapons. Morality, not
corruption. Intellectualism and wisdom, not ignorance
.” Semoga pilkada
melahirkan pemimpin terbaik bagi keberlanjutan pembangunan demi mewujudkan
kesejahteraan.

 

*Penulis adalah alumnus
S2 Ilmu Politik UGM dan Dosen Komunikasi Politik IAIN Palangka Raya 

AKHIRNYA rasa penasaran
warga masyarakat Kalimantan Tengah menunggu kabar siapa bakal pasangan calon
gubernur dan wakil gubernur yang akan maju dalam kontestasi elektoral pilkada
2020 terjawab sudah. Hal itu seiring dengan kepastian mendaftarnya dua bakal
pasangan calon yang diusung oleh gabungan partai politik ke Komisi Pemilihan
Umum Daerah (KPUD) Provinsi Kalimantan Tengah sebagaimana jadwal pendaftaran
bakal pasangan calon yang telah ditetapkan oleh penyelenggara pemilu.

Sebelumnya, muncul spekulasi di tengah masyarakat mengenai siapa bakal pasangan
calon yang akan berkontestasi merebut simpati dan hati warga masyarakat Kalimantan
Tengah dalam pilkada 2020 ini. Beberapa baliho atau papan reklame dengan ukuran
besar yang menampilkan figur-figur tertentu dan terpasang di lokasi-lokasi
strategis sempat turut mewarnai spekulasi atau perkiraan publik.

Pasangan Sugianto
Sabran-Edy Pratowo dan pasangan Ben Brahim S. Bahat-Ujang Iskandar menjadi dua
bakal pasangan calon yang akan bertarung dalam kontestasi elektoral kali ini.
Pasangan Sugianto Sabran dan Edy Pratowo diusung oleh PDIP, Golkar, Nasdem,
PKB, PAN, Perindo, PKS, dan PPP.

Sedangkan pasangan Ben Brahim S. Bahat-Ujang
Iskandar diusung oleh Demokrat, Gerindra, dan Hanura. Kedua bakal pasangan
calon tersebut telah mendaftarkan diri ke KPUD Provinsi, meskipun KPUD Provinsi
sendiri belum menetapkan keduanya sebagai pasangan calon secara resmi.
Penetapan secara resmi pasangan calon akan dilaksanakan pada 23 September 2020
sesuai dengan tahapan pilkada.

Pilkada pada masa
pandemi: antara optimisme dan kekhawatiran

Pilkada calon gubernur
dan wakil gubernur tahun 2020 ini merupakan pilkada keempat yang akan
dilaksanakan di provinsi Kalimantan Tengah. Sebelumnya pilkada calon gubernur
dan wakil gubernur dilaksanakan pada 2005, 2010, dan 2016.

Pilkada kali ini
nuansanya terasa berbeda jika dibandingkan dengan pilkada-pilkada sebelumnya. Salah
satunya disebabkan oleh situasi dan kondisi di mana pilkada akan dilaksanakan
di masa pandemi Covid-19.

Ada optimisme dan juga
muncul khawatiran, apakah pilkada akan berlangsung dengan lancar, aman, dan
sukses? Apakah para pemilih akan antusias datang ke tempat pemungutan suara
(TPS) untuk menggunakan hak pilihnya?. Jika pun datang ke TPS, apakah para
pemilih datang dengan kesadaran politiknya atau justru karena terikat kontrak
atas dasar guyuran uang (vote buying)
dari kandidat dan tim suksesnya?.

Baca Juga :  PBM Berikan Sosialisasi Program BNNP Rehabilitasi Pecandu Narkoba

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa setiap
penyelenggaraan pemilu (pilpres, pileg, dan pilkada) praktik vote buying begitu terasa. Bahkan
beberapa kajian ilmiah terkait vote
buying
dalam pemilu di Indonesia (Aspinall & Berenschot, 2019; Muhtadi,
2019) mengungkapkan fenomena tersebut.

Menyikapi adanya
pandemi Covid-19, tahapan pilkada serentak diubah dengan dikeluarkan dan
ditetapkannya PKPU No. 10 Tahun 2020. KPU RI telah menetapkan hari pemungutan
suara pilkada serentak pada Rabu, 9 Desember 2020. Salah satu indikator atau
kriteria penilaian bagi kesuksesan penyelenggaraan pemilu ialah tingkat
partisipasi pemilih pada saat pemungutan suara. Jika partisipasi para pemilih
tinggi, maka pemilu bisa dikatakan sukses. T

entu saja masih ada kriteria atau
indikator lainnya untuk mengukur kesuksesan sebuah penyelenggaraan pemilu.

Penyelenggaraan pilkada
pada masa pandemi tetap saja memiliki resiko penularan. Pada masa pandemi dan
kecenderungan penularan yang masih relatif tinggi, penyelenggara pemilu,
kandidat, tim sukses, dan warga masyarakat tentu harus ekstra berhati-hati
dengan tetap memerhatikan dan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Semua
pihak diharapkan terus menjaga kondusifitas lingkungan, meskipun Covid-19 masih
menebar ancaman dan masih belum ada kepastian kapan pandemi akan segera
berakhir.

Urgensi partisipasi
pemilih

Penyelenggaraan pemilu
(pilkada) tidak akan bermakna sama sekali jika tanpa adanya partisipasi
pemilih. Kontestasi elektoral pasti akan selalu berhubungan dengan partisipasi
pemilih dalam menggunakan hak pilihnya pada saat pemungutan suara. Penggunaan
hak pilih tersebut tentu bukan menjadi satu-satunya ukuran partisipasi pemilih.

Harapan (hope) akan adanya perubahan
atau perbaikan dari kandidat merupakan salah satu faktor penting dan signifikan
pengaruhnya dalam menggerakkan partisipasi pemilih. Jika kandidatnya petahana (incumbent), apakah masih ada harapan
publik untuk melanjutkan pembangunan dan model kepemimpinannya setelah satu
periode kekuasaan. Jika posisi kandidat sebagai penantang, apakah bisa
meyakinkan pemilih, bahwa ada perubahan yang akan lebih baik jika mengganti
pemimpin.

Untuk meraih simpati
dan hati para pemilih dalam konteks kontestasi elektoral, kandidat perlu juga
memerhatikan apa yang diistilahkan oleh Leon Festinger (1957) melalui karyanya A Theory of Cognitive Dissonance sebagai
disonansi kognitif. Disonansi kognitif dimaknai sebagai perasaan
ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan perilaku
yang tidak konsisten dan memotivasi seseorang untuk mengambil langkah demi
mengurangi ketidaknyamanan tersebut. Menurut Heryanto (2020), inkonsistensi
logis merupakan salah satu faktor yang bisa menyebabkan disonansi.

Baca Juga :  Pasar Ramadan Kemungkinan Ditiadakan

Inkonsistensi logis
yaitu logika berfikir yang mengingkari logika berfikir lain. Misalnya, pemilih
meyakini bahwa pemilu (pilkada) itu merupakan momentum untuk menentukan
perbaikan daerah lima tahun ke depan, tetapi di saat bersamaan muncul
ketidakpercayaan pada program, janji kampanye, dan rekam jejak kandidat untuk
membawa mereka pada perbaikan yang diharapkan. Munculnya inkonsistensi logis
inilah yang membuat pemilih akan mencari cara mengurangi ketidakpastian guna
menciptakan konsonansi. Disonansi yang muncul pada khalayak pemilih, bisa
menjadi faktor perusak sekaligus peluang kemenangan.

Berdasarkan tahapan
pilkada setidaknya masih tersisa 3 bulan bagi dua bakal pasangan kandidat dan
tim suksesnya untuk bisa memersuasi dan meraih simpati publik sekaligus
memperoleh suara pemilih. Partisipasi pemilih yang tentu saja tidak sekadar
diukur dari kehadiran mereka di tempat pemungutan suara (TPS) pada hari H
pemungutan suara. Jauh lebih penting dan substansial adalah bagaimana
partisipasi pemilih juga diarahkan pada diskursifitas rasional dan kritisisme
warga.

Hal penting lainnya
ialah bahwa kedua bakal pasangan calon dan tim suksesnya juga memiliki tanggung
jawab moril untuk memberikan literasi politik warga sehingga pelaksanaan
pilkada menjadi keriangan persaudaraan. Sebuah kontestasi elektoral yang
mengedepankan dan mengutamakan keadaban dengan semangat kekitaan sehingga
terwujud apa yang disebut bonum commune.
Sebagai renungan bersama, di akhir tulisan ini penting mengutip perkataan Suzy
Kassem berikut “choose a leader who will
invest in building bridges, not walls. Books, not weapons. Morality, not
corruption. Intellectualism and wisdom, not ignorance
.” Semoga pilkada
melahirkan pemimpin terbaik bagi keberlanjutan pembangunan demi mewujudkan
kesejahteraan.

 

*Penulis adalah alumnus
S2 Ilmu Politik UGM dan Dosen Komunikasi Politik IAIN Palangka Raya 

Terpopuler

Artikel Terbaru