33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Ikhtiar Menjaga Humor

SEMAKIN  hari semakin susah
menjadi mubalig, terutama akhir-akhir ini. Di depan-belakang, kiri-kanan,
dekat-jauh, bahkan mungkin atas-bawah, antah-berantah, kini selalu ada saja
yang menunggu siapa pun terpeleset lidah.

Pasal penistaan terhadap agama
siap dijeratkan seperti jala pada ikan. Tapi, apakah kemudian ceramah harus
tanpa humor? Bagaimana bisa segar dan renyah?

Terlebih, jika audiens berjarak
ruang dan waktu dengan pembicara, pembicaraannya, dan konteks, semakin sulit
menghendaki humor dapat diterima dengan baik dan tulus. Maksud hati hendak
meluaskan jangkauan dakwah, memberikan kesempatan kepada mereka yang tidak
hadir. Sebab, live streaming toh tidak bisa menghadirkan utuh suasana batin
pengucap beserta ucapannya.

Siaran tunda via YouTube, yang
kini juga bermakna siaran ulang yang berulang-ulang, justru dapat menjadi
bumerang. Mengapa? Karena bisa ditonton lagi dan lagi itulah, ada saja yang
kemudian menemukan tafsir lain dari pemaknaan sebelumnya. Jangankan berkelakar,
bicara datar atau serius pun tak seleluasa dulu lagi jika terkait soal-soal
agama sejak dibawa-bawa ke ranah politik.

Bisa dibayangkan apa yang
melintas di benak saya ketika menerima undangan ke Semarang untuk menemani Mas
Prie GS berbincang tentang sebuah tema sensitif: Agama Dadi Guyonan, agama
menjadi candaan. Santrendelik, komunitas muda-mudi di ibu kota Jawa Tengah,
telah empat tahun ini konsisten bergaya kontemporer dalam menyajikan
topik-topik religiusitas.

Saya langsung teringat QS At
Taubah [9] : 65, Allah berfirman, “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka
(tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab,
‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah:
‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’”
Tak mudah menghindarkan humor dari olok-olok.

Baca Juga :  Bakal Genjot Perbaikan Infrastruktur Dalam Kota

Seingat saya, semasa kecil hingga
remaja, setiap kali menghadiri pengajian di masjid di dekat rumah, saya dan
hadirin lain bisa terpingkal-pingkal berjam-jam gara-gara penceramah membungkus
rapi pesan-pesan agamais dalam kejenakaan gaya tutur dan tuturannya itu sendiri.
Dua jam kiai tersebut berbicara, sedikitnya 1,5 jam hadirin terus-menerus
nyengir dibuatnya tertawa segar.

Kegembiraan itu melenyap sejak
ada saja yang menjadikan isu agama sebagai urusan akhirat melulu. Sebatas
perkara pahala dan dosa, surga dan neraka, halal dan haram, sunah dan bidah,
muslim dan kafir, dan lain-lain. Beragama jadi menegangkan. Harus melulu serius,
kalau perlu duarius, tigarius, dan seterusnya. Jangankan beda mazhab, beda
pemikiran pun jadi masalah.

Beruntunglah, warganet di media
sosial terus melahirkan penyegaran-penyegaran linimasa. Tak ada yang meragukan
riwayat panjang Gus Muwafiq. Beliau telah malang melintang dari kampung ke
kampung, desa ke desa, majelis ke majelis. Lantas gaungnya semakin jauh
membahana sejak kanal-kanal daring mengangkasakan ceramahnya yang lentur, namun
tetap ulet. Humor hadir.

Sebelumnya ikhtiar menjaga humor
tetap hidup telah dilakukan para admin akun-akun garis lucu. Ini menyenangkan,
sekaligus melegakan, di tengah hiruk pikuk obrolan yang dikuasai tidak hanya
oleh kebenaran (truth), tapi juga oleh pasca kebenaran (post-truth), yang tentu
keduanya itu klaim. Belum lama pula, hadir kemudian Gus Baha’, idola baru
publik, dengan kekhasan lain lagi.

Baca Juga :  KPPS Siap Laksanakan Pemungutan Suara, Penerapan Prokes Jadi Prioritas

Sebagaimana Gus Muwafiq, rekam
jejak Gus Baha’ yang bernama lengkap KH Baha’uddin Nur Salim sangat meyakinkan
sebagai guru bagi kita, khususnya dalam urusan agama. Media sosial dan daring
membantu kita mendekat kepada para ulama yang tinggi ilmu, tapi selalu rendah
hati ini. Sesekali dua gus itu melempar humor dalam perbincangan ukhrawi yang
serius.

Bahkan, Gus Baha’ menyitir Abu
Hasan As Syadzili yang menyuruh murid meninggalkan gurunya jika ia tidak pernah
tertawa ketika mengajar. Pun kisah Nabi Yahya AS yang berbalas sindir dengan
Nabi Isa AS. “Kamu sering tertawa ngakak seperti tidak akan pernah terkena
siksa,” seru Nabi Isa. “Kamu ini merengut melulu seperti tidak ada rahmat Allah
saja,” balas Nabi Yahya.

Kiai yang juga istiqamah jenaka
membawa pesan-pesan langit adalah KH Anwar Zahid dari Bojonegoro. Banyak video
pengajiannya yang diakses ribuan penonton. Tentu upaya saya dan Mas Prie GS
belum seberapa dibanding para alim yang setia menjaga marwah agama, namun tetap
suka melucu itu. Humor sufi, metamorfosis humor sahur beberapa tahun lalu,
ialah ikhtiar kecil kami. (*)

(Penulis adalah budayawan)

SEMAKIN  hari semakin susah
menjadi mubalig, terutama akhir-akhir ini. Di depan-belakang, kiri-kanan,
dekat-jauh, bahkan mungkin atas-bawah, antah-berantah, kini selalu ada saja
yang menunggu siapa pun terpeleset lidah.

Pasal penistaan terhadap agama
siap dijeratkan seperti jala pada ikan. Tapi, apakah kemudian ceramah harus
tanpa humor? Bagaimana bisa segar dan renyah?

Terlebih, jika audiens berjarak
ruang dan waktu dengan pembicara, pembicaraannya, dan konteks, semakin sulit
menghendaki humor dapat diterima dengan baik dan tulus. Maksud hati hendak
meluaskan jangkauan dakwah, memberikan kesempatan kepada mereka yang tidak
hadir. Sebab, live streaming toh tidak bisa menghadirkan utuh suasana batin
pengucap beserta ucapannya.

Siaran tunda via YouTube, yang
kini juga bermakna siaran ulang yang berulang-ulang, justru dapat menjadi
bumerang. Mengapa? Karena bisa ditonton lagi dan lagi itulah, ada saja yang
kemudian menemukan tafsir lain dari pemaknaan sebelumnya. Jangankan berkelakar,
bicara datar atau serius pun tak seleluasa dulu lagi jika terkait soal-soal
agama sejak dibawa-bawa ke ranah politik.

Bisa dibayangkan apa yang
melintas di benak saya ketika menerima undangan ke Semarang untuk menemani Mas
Prie GS berbincang tentang sebuah tema sensitif: Agama Dadi Guyonan, agama
menjadi candaan. Santrendelik, komunitas muda-mudi di ibu kota Jawa Tengah,
telah empat tahun ini konsisten bergaya kontemporer dalam menyajikan
topik-topik religiusitas.

Saya langsung teringat QS At
Taubah [9] : 65, Allah berfirman, “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka
(tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab,
‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah:
‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’”
Tak mudah menghindarkan humor dari olok-olok.

Baca Juga :  Bakal Genjot Perbaikan Infrastruktur Dalam Kota

Seingat saya, semasa kecil hingga
remaja, setiap kali menghadiri pengajian di masjid di dekat rumah, saya dan
hadirin lain bisa terpingkal-pingkal berjam-jam gara-gara penceramah membungkus
rapi pesan-pesan agamais dalam kejenakaan gaya tutur dan tuturannya itu sendiri.
Dua jam kiai tersebut berbicara, sedikitnya 1,5 jam hadirin terus-menerus
nyengir dibuatnya tertawa segar.

Kegembiraan itu melenyap sejak
ada saja yang menjadikan isu agama sebagai urusan akhirat melulu. Sebatas
perkara pahala dan dosa, surga dan neraka, halal dan haram, sunah dan bidah,
muslim dan kafir, dan lain-lain. Beragama jadi menegangkan. Harus melulu serius,
kalau perlu duarius, tigarius, dan seterusnya. Jangankan beda mazhab, beda
pemikiran pun jadi masalah.

Beruntunglah, warganet di media
sosial terus melahirkan penyegaran-penyegaran linimasa. Tak ada yang meragukan
riwayat panjang Gus Muwafiq. Beliau telah malang melintang dari kampung ke
kampung, desa ke desa, majelis ke majelis. Lantas gaungnya semakin jauh
membahana sejak kanal-kanal daring mengangkasakan ceramahnya yang lentur, namun
tetap ulet. Humor hadir.

Sebelumnya ikhtiar menjaga humor
tetap hidup telah dilakukan para admin akun-akun garis lucu. Ini menyenangkan,
sekaligus melegakan, di tengah hiruk pikuk obrolan yang dikuasai tidak hanya
oleh kebenaran (truth), tapi juga oleh pasca kebenaran (post-truth), yang tentu
keduanya itu klaim. Belum lama pula, hadir kemudian Gus Baha’, idola baru
publik, dengan kekhasan lain lagi.

Baca Juga :  KPPS Siap Laksanakan Pemungutan Suara, Penerapan Prokes Jadi Prioritas

Sebagaimana Gus Muwafiq, rekam
jejak Gus Baha’ yang bernama lengkap KH Baha’uddin Nur Salim sangat meyakinkan
sebagai guru bagi kita, khususnya dalam urusan agama. Media sosial dan daring
membantu kita mendekat kepada para ulama yang tinggi ilmu, tapi selalu rendah
hati ini. Sesekali dua gus itu melempar humor dalam perbincangan ukhrawi yang
serius.

Bahkan, Gus Baha’ menyitir Abu
Hasan As Syadzili yang menyuruh murid meninggalkan gurunya jika ia tidak pernah
tertawa ketika mengajar. Pun kisah Nabi Yahya AS yang berbalas sindir dengan
Nabi Isa AS. “Kamu sering tertawa ngakak seperti tidak akan pernah terkena
siksa,” seru Nabi Isa. “Kamu ini merengut melulu seperti tidak ada rahmat Allah
saja,” balas Nabi Yahya.

Kiai yang juga istiqamah jenaka
membawa pesan-pesan langit adalah KH Anwar Zahid dari Bojonegoro. Banyak video
pengajiannya yang diakses ribuan penonton. Tentu upaya saya dan Mas Prie GS
belum seberapa dibanding para alim yang setia menjaga marwah agama, namun tetap
suka melucu itu. Humor sufi, metamorfosis humor sahur beberapa tahun lalu,
ialah ikhtiar kecil kami. (*)

(Penulis adalah budayawan)

Terpopuler

Artikel Terbaru