33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Intimidasi Psikis Anak di Hari Raya

Hari raya biasanya
adalah hari yang paling ditunggu-tunggu dan membahagiakan bagi banyak anak.
Hari yang hanya datang setahun sekali dimana banyak kue-kue dan makanan enak
yang disajikan di rumah. Berkumpul bersama keluarga yang sudah lama tidak
berjumpa dan bercengkrama bersama saudara dan teman sebaya.

Ironisnya kadang
segelintir orang tua malah melakukan “salah dan khilaf” terhadap anaknya. Dosa
ini berbentuk intimidasi secara psikis oleh orang tua terhadap anaknya.

Intimidasi psikis
pertama yang sering dilakukan orang tua memberikan cap berupa julukan buruk
pada anaknya. Secara tidak sadar orang tua seringkali mengucapkan kata-kata
yang merendahkan anaknya di depan keluarga besar. Misalnya dengan perkataan “Si
pemalas”, “Si lambat”, “Si gendut”, “Si kurus”, “Si Tonggos” dan kata-kata
lain. Biasanya ditujukan sebagai ejekan bagi ketidaksempurnaan fisik terhadap
sifat seseorang. Walaupun terkadang bermaksud candaan orang tua secara tidak
sadar telah memberikan cap anaknya yang sangat buruk terhadap anaknya sendiri.

Hal itu bertambah
buruk jika diucapkan ketika anak sedang berada di tengah-tengah keluarga besar
maupun saudara-saudara sebayanya. Ucapan semacam ini  dapat sangat mengecewakan dan memukul mental
anak.

“Ucapan Orang tua
adalah Doa”.  Selaras dengan perumpamaan
ini Edwin Lemert dalam Teori Labelling yang digunakan dalam ilmu Psikologi
Kriminal, yang dimaksudkan tentang teori labelling adalah penyimpangan yang
disebabkan oleh pemberian cap atau label dari masyarakat kepada seseorang yang
kemudian cenderung akan melanjutkan penyimpangan tersebut. Secara sederhana
diartikan bahwa labelling adalah penjulukan atau pemberian cap.

Jika anak sering
mendengar kata-kata yang merendahkan dirinya dari lingkungan sekitar. Apalagi yang
diucapkan oleh orangtuanya sendiri, ia akan bertumbuh kembang dengan rasa malu
dan rendah diri. Misalnya jika seringkali diberi cap pemalas, seiring
berjalannya waktu dia akan percaya bahwa dirinya memang malas. Jika diberi cap
dengan kekurangan-kekurangan fisik (jelek, gendut, kurus dan lain-lain) dia
akan mengganggap dirinya memang buruk rupa dan tidak seperti anak-anak lain.

Dapat dibayangkan
kondisi mental anak yang tumbuh kembangnya dipengaruhi oleh pikiran negatif
yang ironisnya ditanamkan oleh orangtuanya sendiri. Cap negatif diri seperti
ini dapat terbawa sampai pada masa remaja hingga dewasa anak.

Baca Juga :  Pasien Covid-19 Jangan Dikucilkan

Padahal orang tua
seharusnya merupakan supporter pertama dan terutama bagi seorang anak yang
dibutuhkan seorang anak. Dalam tumbuh kembangnya anak-anak memerlukan dukungan
dalam pembetukan karakter menumbuhkan kepercayaan dirinya dalam persiapan
menghadapi dunia. Anak seyogyanya disadarkan dan dioptimalkan sisi positif
dalam dirinya, bukan sisi negatifnya. Bukankah memang tak ada manusia yang
sempurna. Orangtuapun tidak.

Cap seperti ini jika
terlambat orang tua sadari dan dilakukan secara terus menerusdapat
melahirkan  rasa marah dan kebencian
dalam diri anak terhadap ini  orangtuanya
sendiri yang dikemudian hari membuat anak menjadi emosional, pembangkang dan
kehilangan rasa simpati terhadap orang tuanya.  Ini yang akan merusak
hubungan anak dan orang tua membuat anak menjadi acuh dan tertutup dengan orang
tuanya sendiri.

Hal selanjutnya yang
merupakan intimidasi psikis anak yang banyak terjadi di hari raya biasanya
adalah orangtua sering membandingkan anak dengan saudara yang lebih baik di
mata orang tua atau anak tetangga yang lebih berprestasi menurut versi orang
tua. Terkadang orang tua mengatakan “Duh cantiknya si A, sedangkan kamu urakan
coba kamu itu kayak dia”, “Coba liat si sepupumu B rajin sekali lah kamu tidur
melulu” dan lain-lain.

Mari kita bayangkan
anak yang selalu dibandingkan dengan saudara seumuran dan teman-temannya yang
menurut orang tuanya lebih baik tentu akan merasa malu dan kecewa. Ia akan
menginterpretasikan bahwa dirinya “kalah’dan tidak diterima oleh orang tuanya
sendiri. Walaupun maksud sebenarnya orang tua ingin memacu semangat anaknya
agar mencontoh figur yang lebih baik.

Jika seorang anak
sampai pada titik merasa tidak diterima oleh orangtuanya sendiri, iya akan
frustasi. Seorang anak yang merasa tidak bahagia di tengah keluarganya sendiri,
maka dia akan sulit untuk merasakan bahagia ketika berinteraksi dalam
lingkungan sosial.

Dari sinilah
bibit-bibit munculnya pergaulan yang salah yang dipilih anak ketika dia telah
bertumbuh remaja, lingkungan-lingkungan yang diharapkannya dapat mengapresiasi
dirinya dan menerimanya. Padahal tidak tentu itu baik baginya. Sebab anak tidak
memperolehnya apresiasi dari orangtuanya sendiri. Perbandingan diri tidak
selamanya menjadikan seorang anak lebih baik.

Baca Juga :  Keputusan Penggunaan e-Rekap Pilkada 2020 Diumumkan Februari

Anak yang selalu
dibanding-bandingkan dengan anak orang lain akan memiliki karakter rendah diri.
Anak menjadi mudah ragu dengan kemampuannya, tidak percaya diri dan bisa
berimbas terhadap cara dia berelasi dengan orang-orang lain di kemudian
hari. Bakat dan potensi yang sebenarnya dia miliki akan terpendam dan
tidak berkembang.

Intimidasi psikis
memang sulit tidak terlihat. Orang tua terkadang tidak menyadari bahwa dirinya
telah menjadi seorang pelaku kejahatan dan korbannya adalah anaknya sendiri.

Secara umum
intimidasi psikis memiiki ciri: ada pernyataan yang dilakukan dengan umpatan,
amarah, penghinaan, pelabelan negative, atau sikap dan gaya tubuh yang
merendahkan; tindakan tersebut menekan, mencemooh/menghina, merendahkan,
membatasi, atau mengontrol korban agar memenuhi tuntutan pelaku; dan tindakan
tersebut menimbulkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya.

 Dalam dimensi Hukum Pidana, Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak menyebutkan: Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.

Kekerasan dalam hal
ini tidak hanya mencakup kekerasan terhadap fisik anak namun juga perlindungan
terhadap psikis anak dalam masa tumbuh kembangnya. Anak yang membenci
orangtuanya  akan menyimpan dendam dalam
jangka waktu  lama sampai dia tumbuh
dewasa.

Sudah selayaknya kita
sebagai orang tua  baik sebagai orang tua
jasmani mapun orang tua akademik memberikan perlindungan terhadap psikis anak
di momen-momen dan masa penting pertumbuhannya.

 Jika ingin mengarahkan anak ke arah yang lebih
baik, pilihlah kalimat-kalimat yang dapat merasuk di hatinya bukan
kalimat-kalimat pedas yang dapat merusak mentalnya. Seperti ada pepatah asing
mengatakan It is rain that grows flowers, not thunder. Sudah sepatutnya
orangtua menanamkan kasih sayang bagi anak-anaknya dalam bentuk apresiasi dan
pujian sesuai dengan bakat yang dia miliki untuk membentuk karakter positif
anak dikemudian hari.

*Dosen
Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya

Hari raya biasanya
adalah hari yang paling ditunggu-tunggu dan membahagiakan bagi banyak anak.
Hari yang hanya datang setahun sekali dimana banyak kue-kue dan makanan enak
yang disajikan di rumah. Berkumpul bersama keluarga yang sudah lama tidak
berjumpa dan bercengkrama bersama saudara dan teman sebaya.

Ironisnya kadang
segelintir orang tua malah melakukan “salah dan khilaf” terhadap anaknya. Dosa
ini berbentuk intimidasi secara psikis oleh orang tua terhadap anaknya.

Intimidasi psikis
pertama yang sering dilakukan orang tua memberikan cap berupa julukan buruk
pada anaknya. Secara tidak sadar orang tua seringkali mengucapkan kata-kata
yang merendahkan anaknya di depan keluarga besar. Misalnya dengan perkataan “Si
pemalas”, “Si lambat”, “Si gendut”, “Si kurus”, “Si Tonggos” dan kata-kata
lain. Biasanya ditujukan sebagai ejekan bagi ketidaksempurnaan fisik terhadap
sifat seseorang. Walaupun terkadang bermaksud candaan orang tua secara tidak
sadar telah memberikan cap anaknya yang sangat buruk terhadap anaknya sendiri.

Hal itu bertambah
buruk jika diucapkan ketika anak sedang berada di tengah-tengah keluarga besar
maupun saudara-saudara sebayanya. Ucapan semacam ini  dapat sangat mengecewakan dan memukul mental
anak.

“Ucapan Orang tua
adalah Doa”.  Selaras dengan perumpamaan
ini Edwin Lemert dalam Teori Labelling yang digunakan dalam ilmu Psikologi
Kriminal, yang dimaksudkan tentang teori labelling adalah penyimpangan yang
disebabkan oleh pemberian cap atau label dari masyarakat kepada seseorang yang
kemudian cenderung akan melanjutkan penyimpangan tersebut. Secara sederhana
diartikan bahwa labelling adalah penjulukan atau pemberian cap.

Jika anak sering
mendengar kata-kata yang merendahkan dirinya dari lingkungan sekitar. Apalagi yang
diucapkan oleh orangtuanya sendiri, ia akan bertumbuh kembang dengan rasa malu
dan rendah diri. Misalnya jika seringkali diberi cap pemalas, seiring
berjalannya waktu dia akan percaya bahwa dirinya memang malas. Jika diberi cap
dengan kekurangan-kekurangan fisik (jelek, gendut, kurus dan lain-lain) dia
akan mengganggap dirinya memang buruk rupa dan tidak seperti anak-anak lain.

Dapat dibayangkan
kondisi mental anak yang tumbuh kembangnya dipengaruhi oleh pikiran negatif
yang ironisnya ditanamkan oleh orangtuanya sendiri. Cap negatif diri seperti
ini dapat terbawa sampai pada masa remaja hingga dewasa anak.

Baca Juga :  Pasien Covid-19 Jangan Dikucilkan

Padahal orang tua
seharusnya merupakan supporter pertama dan terutama bagi seorang anak yang
dibutuhkan seorang anak. Dalam tumbuh kembangnya anak-anak memerlukan dukungan
dalam pembetukan karakter menumbuhkan kepercayaan dirinya dalam persiapan
menghadapi dunia. Anak seyogyanya disadarkan dan dioptimalkan sisi positif
dalam dirinya, bukan sisi negatifnya. Bukankah memang tak ada manusia yang
sempurna. Orangtuapun tidak.

Cap seperti ini jika
terlambat orang tua sadari dan dilakukan secara terus menerusdapat
melahirkan  rasa marah dan kebencian
dalam diri anak terhadap ini  orangtuanya
sendiri yang dikemudian hari membuat anak menjadi emosional, pembangkang dan
kehilangan rasa simpati terhadap orang tuanya.  Ini yang akan merusak
hubungan anak dan orang tua membuat anak menjadi acuh dan tertutup dengan orang
tuanya sendiri.

Hal selanjutnya yang
merupakan intimidasi psikis anak yang banyak terjadi di hari raya biasanya
adalah orangtua sering membandingkan anak dengan saudara yang lebih baik di
mata orang tua atau anak tetangga yang lebih berprestasi menurut versi orang
tua. Terkadang orang tua mengatakan “Duh cantiknya si A, sedangkan kamu urakan
coba kamu itu kayak dia”, “Coba liat si sepupumu B rajin sekali lah kamu tidur
melulu” dan lain-lain.

Mari kita bayangkan
anak yang selalu dibandingkan dengan saudara seumuran dan teman-temannya yang
menurut orang tuanya lebih baik tentu akan merasa malu dan kecewa. Ia akan
menginterpretasikan bahwa dirinya “kalah’dan tidak diterima oleh orang tuanya
sendiri. Walaupun maksud sebenarnya orang tua ingin memacu semangat anaknya
agar mencontoh figur yang lebih baik.

Jika seorang anak
sampai pada titik merasa tidak diterima oleh orangtuanya sendiri, iya akan
frustasi. Seorang anak yang merasa tidak bahagia di tengah keluarganya sendiri,
maka dia akan sulit untuk merasakan bahagia ketika berinteraksi dalam
lingkungan sosial.

Dari sinilah
bibit-bibit munculnya pergaulan yang salah yang dipilih anak ketika dia telah
bertumbuh remaja, lingkungan-lingkungan yang diharapkannya dapat mengapresiasi
dirinya dan menerimanya. Padahal tidak tentu itu baik baginya. Sebab anak tidak
memperolehnya apresiasi dari orangtuanya sendiri. Perbandingan diri tidak
selamanya menjadikan seorang anak lebih baik.

Baca Juga :  Keputusan Penggunaan e-Rekap Pilkada 2020 Diumumkan Februari

Anak yang selalu
dibanding-bandingkan dengan anak orang lain akan memiliki karakter rendah diri.
Anak menjadi mudah ragu dengan kemampuannya, tidak percaya diri dan bisa
berimbas terhadap cara dia berelasi dengan orang-orang lain di kemudian
hari. Bakat dan potensi yang sebenarnya dia miliki akan terpendam dan
tidak berkembang.

Intimidasi psikis
memang sulit tidak terlihat. Orang tua terkadang tidak menyadari bahwa dirinya
telah menjadi seorang pelaku kejahatan dan korbannya adalah anaknya sendiri.

Secara umum
intimidasi psikis memiiki ciri: ada pernyataan yang dilakukan dengan umpatan,
amarah, penghinaan, pelabelan negative, atau sikap dan gaya tubuh yang
merendahkan; tindakan tersebut menekan, mencemooh/menghina, merendahkan,
membatasi, atau mengontrol korban agar memenuhi tuntutan pelaku; dan tindakan
tersebut menimbulkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya.

 Dalam dimensi Hukum Pidana, Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak menyebutkan: Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.

Kekerasan dalam hal
ini tidak hanya mencakup kekerasan terhadap fisik anak namun juga perlindungan
terhadap psikis anak dalam masa tumbuh kembangnya. Anak yang membenci
orangtuanya  akan menyimpan dendam dalam
jangka waktu  lama sampai dia tumbuh
dewasa.

Sudah selayaknya kita
sebagai orang tua  baik sebagai orang tua
jasmani mapun orang tua akademik memberikan perlindungan terhadap psikis anak
di momen-momen dan masa penting pertumbuhannya.

 Jika ingin mengarahkan anak ke arah yang lebih
baik, pilihlah kalimat-kalimat yang dapat merasuk di hatinya bukan
kalimat-kalimat pedas yang dapat merusak mentalnya. Seperti ada pepatah asing
mengatakan It is rain that grows flowers, not thunder. Sudah sepatutnya
orangtua menanamkan kasih sayang bagi anak-anaknya dalam bentuk apresiasi dan
pujian sesuai dengan bakat yang dia miliki untuk membentuk karakter positif
anak dikemudian hari.

*Dosen
Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya

Terpopuler

Artikel Terbaru