27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Edukasi dan Literasi Untuk Membendung Penyebaran Hoax

KALIMANTAN Tengah saat ini merupakan salah satu dari ratusan daerah
di Indonesia yang akan melaksanakan pesta demokrasi pemilihan kepala daerah. Meskipun
saat ini masih masa pandemi virus corona, namun diharapkan pelaksanaan pilkada
tetap berjalan lancar dan sukses.

Pemilihan kepala daerah (Pilkada
atau Pemilukada) dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif
setempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket
bersama dengan wakil kepala daerah.

Saat ini, di Pilkada Kalimantan
Tengah hanya memiliki dua kandidat atau dua pasangan terbaik yang akan memperebutkan
kursi orang nomor 1 di Bumi Tambun Bungai. Sementara di Kabupaten Kotawaringin
Timur (Kotim), empat pasangan calon bupati/wakil bupati pun akan bersaing
merebut suara rakyat pada 9 Desember mendatang.

Selain intaian pandemi Covid-19,
pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 tentu juga menghadapi banyak tantangan lain. Salah
satu yang paling rawan terjadi adalah maraknya beredar isu, informasi atau
kabar-kabar bohong. Atau biasa disebut dengan hoax.

Meskipun sesungguhnya hoax tidak
hanya muncul menjelang pemilu. Tetapi diakui bahwa hoax semakin masif muncul
menjelang setiap pesta demokrasi.

Hoax adalah kabar, informasi,
berita palsu atau bohong yang yang direkayasa sedemikian rupa untuk menutupi
informasi sebenarnya. Dengan kata lain, arti hoax juga bisa didefinisikan
sebagai upaya pemutarbalikan fakta menggunakan informasi yang seolah-olah
meyakinkan tetapi tidak dapat diverifikasi kebenarannya.

Baca Juga :  Sampaikan Gagasan untuk Memajukan Kalteng

Contoh kasus hoax mejelang pemilu
adalah kasus Ratna Sarumpaet pada tahun 2019. Dimana bangsa Indonesia akan menggelar
pemilihan presiden. Aksinya tersebut terbukti bersalah terkait tindakanya yang
merekayasa dirinya telah menjadi korban penganiayaan sehingga menimbulkan
gejolak besar di masyarakat guna menggiring opini buruk bagi salah satu
pasangan calon presiden.

Hoax semakin mudah tersebar seiring
pertumbuhan pengguna smartphone dan media sosial di masyakarat. Namun sayang,
tingginya pertumbuhan pengguna sarana komunikasi itu belum diimbangi dengan literasi
digital yang memadai. Sehingga berita palsu alias hoax pun mudah merajalela. Modus
penyebarannya pun beragam.

Meskipun di sisi lain, tidak
sedikit pelaku pembuat dan penyebar hoax berhasil ditangkap dan diadili. Namun hal
itu seakan masih belum cukup membuat efek jera bagi pelaku-pelaku lainnya.

Pemerintah dan petugas penegak
hukum terus berupaya memberikan edukasi sebagai upaya preventif mencegah hoax
ini. Dan juga melakukan penegakan hukum secara tegas terhadap paa pelakunya.

Salah satu instrumen yang
digunkan untuk menjerat para pembuat da penyebar hoax ini adalah Undang-undang
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Baca Juga :  387 ASN Pemprov Mendapat Satya Lencana Satya

Ancaman hukuman berat seperti
termaktub dalam Pasal 28 ayat 1 UU ITE yang menyatakan “Setiap orang dengan
sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik yang Dapat diancam
pidana berdasarkan Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016, yaitu dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

Namun demikian, keberadaan
instrumen hukum yang siap menjerat pelaku pembuat dan penyebar hoax dengan
ancaman sanksi berat tentu bukanlah solusi yang terbaik. Karena sejatinya yang
terpenting adalah tumbuhnya kesadaran pribadi masyarakat untuk tidak membuat dan
atau menyebarkan informasi bohong atau palsu.

Pemberian edukasi dan literasi
yang memadai untuk masyarakat sesungguhnya merupakan hal yang paling efektif. Jika
sikap “Saring Sebelum Sharing” telah tumbuh dan menjadi kesadaran general di
masyarakat, maka setidaknya penyebaran hoax akan mampu ditekan seminimal
mungkin. Edukasi dan literasi untuk memfilter atau menyaring informasi yang
diterima, sangatlah penting. Sehingga masyarakat mampu membedakan mana
informasi yang benar, dan mana informasi yang hoax. (*)

(Penulis adalah mahasiswa Pasca
Sarjana Universitas Palangka Raya)

KALIMANTAN Tengah saat ini merupakan salah satu dari ratusan daerah
di Indonesia yang akan melaksanakan pesta demokrasi pemilihan kepala daerah. Meskipun
saat ini masih masa pandemi virus corona, namun diharapkan pelaksanaan pilkada
tetap berjalan lancar dan sukses.

Pemilihan kepala daerah (Pilkada
atau Pemilukada) dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif
setempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket
bersama dengan wakil kepala daerah.

Saat ini, di Pilkada Kalimantan
Tengah hanya memiliki dua kandidat atau dua pasangan terbaik yang akan memperebutkan
kursi orang nomor 1 di Bumi Tambun Bungai. Sementara di Kabupaten Kotawaringin
Timur (Kotim), empat pasangan calon bupati/wakil bupati pun akan bersaing
merebut suara rakyat pada 9 Desember mendatang.

Selain intaian pandemi Covid-19,
pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 tentu juga menghadapi banyak tantangan lain. Salah
satu yang paling rawan terjadi adalah maraknya beredar isu, informasi atau
kabar-kabar bohong. Atau biasa disebut dengan hoax.

Meskipun sesungguhnya hoax tidak
hanya muncul menjelang pemilu. Tetapi diakui bahwa hoax semakin masif muncul
menjelang setiap pesta demokrasi.

Hoax adalah kabar, informasi,
berita palsu atau bohong yang yang direkayasa sedemikian rupa untuk menutupi
informasi sebenarnya. Dengan kata lain, arti hoax juga bisa didefinisikan
sebagai upaya pemutarbalikan fakta menggunakan informasi yang seolah-olah
meyakinkan tetapi tidak dapat diverifikasi kebenarannya.

Baca Juga :  Sampaikan Gagasan untuk Memajukan Kalteng

Contoh kasus hoax mejelang pemilu
adalah kasus Ratna Sarumpaet pada tahun 2019. Dimana bangsa Indonesia akan menggelar
pemilihan presiden. Aksinya tersebut terbukti bersalah terkait tindakanya yang
merekayasa dirinya telah menjadi korban penganiayaan sehingga menimbulkan
gejolak besar di masyarakat guna menggiring opini buruk bagi salah satu
pasangan calon presiden.

Hoax semakin mudah tersebar seiring
pertumbuhan pengguna smartphone dan media sosial di masyakarat. Namun sayang,
tingginya pertumbuhan pengguna sarana komunikasi itu belum diimbangi dengan literasi
digital yang memadai. Sehingga berita palsu alias hoax pun mudah merajalela. Modus
penyebarannya pun beragam.

Meskipun di sisi lain, tidak
sedikit pelaku pembuat dan penyebar hoax berhasil ditangkap dan diadili. Namun hal
itu seakan masih belum cukup membuat efek jera bagi pelaku-pelaku lainnya.

Pemerintah dan petugas penegak
hukum terus berupaya memberikan edukasi sebagai upaya preventif mencegah hoax
ini. Dan juga melakukan penegakan hukum secara tegas terhadap paa pelakunya.

Salah satu instrumen yang
digunkan untuk menjerat para pembuat da penyebar hoax ini adalah Undang-undang
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Baca Juga :  387 ASN Pemprov Mendapat Satya Lencana Satya

Ancaman hukuman berat seperti
termaktub dalam Pasal 28 ayat 1 UU ITE yang menyatakan “Setiap orang dengan
sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik yang Dapat diancam
pidana berdasarkan Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016, yaitu dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

Namun demikian, keberadaan
instrumen hukum yang siap menjerat pelaku pembuat dan penyebar hoax dengan
ancaman sanksi berat tentu bukanlah solusi yang terbaik. Karena sejatinya yang
terpenting adalah tumbuhnya kesadaran pribadi masyarakat untuk tidak membuat dan
atau menyebarkan informasi bohong atau palsu.

Pemberian edukasi dan literasi
yang memadai untuk masyarakat sesungguhnya merupakan hal yang paling efektif. Jika
sikap “Saring Sebelum Sharing” telah tumbuh dan menjadi kesadaran general di
masyarakat, maka setidaknya penyebaran hoax akan mampu ditekan seminimal
mungkin. Edukasi dan literasi untuk memfilter atau menyaring informasi yang
diterima, sangatlah penting. Sehingga masyarakat mampu membedakan mana
informasi yang benar, dan mana informasi yang hoax. (*)

(Penulis adalah mahasiswa Pasca
Sarjana Universitas Palangka Raya)

Terpopuler

Artikel Terbaru