30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Membawa Rotan Batara Menyeberang ke Tiga Benua

Usianya masih muda. Putra asli Dayak. Mendapat gelar S-2 di
Univeristy of Melbourne. Punya jiwa sosial. Founder dan CEO Handep ini membuka
usaha sosial yang bertujuan untuk memberdayakan pengrajin dan petani di
perdesaan Kalteng, melalui produk fashion yang ramah lingkungan.

AGUS PRAMONO, Palangka Raya

DI sebuah kafe, RANDI -sapaan
akrab Randi Julian Miranda- tampak serius memberi wejangan kepada anak-anak
muda soal memulai bisnis dan mencari modal. Sekitar 11 sampai 12 orang peserta
hadir saat itu. Mereka menyimak setiap tip yang disampaikan secara langsung
oleh Randi maupun lewat infografis pada slide layar putih berukuran 2×2 meter.
Kurang lebih 3 jam wejangan itu diberikan.

Randi merupakan pemuda yang lahir dan tumbuh besar di Puruk Cahu,
Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng). Setelah lulus sekolah
menengah atas, ia melanjutkan kuliah S-1 di Universitas Palangka Raya.
Mengambil jurusan Bahasa Inggris. Kemudian berlanjut mengambil S-2 jurusan
Studi Lingkungan (Spesialisasi Bidang Pembangunan Perdesaan) di Univeristy of
Melbourne, dan menyelesaikan pendidikannya pada 2018 lalu.

Awal 2019, Randi mantap mendirikan Handep Heruei. Usaha sosial
yang dibangun bermodal patungan. Mengandalkan modal awal sebesar Rp195 juta.
Bergerak dengan menjual aneka motif tas, dompet, dan topi berbahan dasar rotan.
Anyaman bukan sembarang anyaman. Handep mengedepankan kualitas. Baik soal bahan
maupun penganyamannya. Jika dilihat dari list katalog penjualan, baik di brosur
maupun akun media sosial @handepharuei, harga jual lebih mahal dibandingkan
hasil kerajinan rotan serupa yang ada di pasaran. Tak heran bahwa sebagian para
pelanggannya berprofesi sebagai artis.

Pemasarannya tak hanya di Indonesia. Selain beberapa negara di
Asia Tenggara yang sudah kepincut dengan produk ini, hasil kerajinan rotan asal
Kabupaten Barito Utara (Batara) itu juga menyasar pembeli dari negara-negara di
Benua Amerika dan Eropa.

Baca Juga :  Dukung Pemindahan Ibukota RI ke Kalimantan Tengah

Handep bermitra dengan sekitar 108 pengrajin wanita dan petani
rotan di empat desa yang ada di Kecamatan Gunung Purei, Kabupaten Batara.
Handep menghadirkan produk-produk anyaman yang mengintegrasikan mode dan
tradisi dengan cara haute couture.

“Produk kami dirancang agar fungsional dan memenuhi gaya hidup
modern sehingga dapat dipasarkan di tingkat lokal maupun internasional,” ujar
Randi.

Bisnis Handep mengedepankan keadilan terhadap para pengrajin dan
petani, dengan memberikan harga yang adil untuk hasil kerajinan rotan mereka,
yang umumnya dibeli oleh tengkulak dengan harga rendah. Handep bisa membeli
harga 40-100 persen lebih tinggi dari tengkulak.

“Misalnya, jika tengkulak biasa beli Rp20 ribu, kami berani
membayar Rp40 ribu. Kami membagikan 20 persen dari laba bersih kami ke mitra
penganyam dan petani dalam bentuk uang tunai, program pelatihan, dan
pembangunan infrastruktur desa,” ungkap anak sulung dari lima bersaudara ini.

Handep sendiri mewujudkan tujuan inti pembangunan berkelanjutan.
Menciptakan pembangunan ekonomi yang menumbuhkan dampak positif pada masyarakat
dan lingkungan hidup.

Misi lain yang diemban adalah melestarikan budaya menganyam pada
suku Dayak, memberikan peningkatan kapasitas untuk komunitas lokal di dunia
kewiraswastaan, pertanian berkelanjutan, dan pendidikan.

“Dan alhamdulillah, semuanya berjalan sangat baik. Penghasilan
pengrajin atau petani yang dahulu berkisar Rp500ribu, sekarang bisa Rp1 juta,”
ujar pria yang gemar membaca buku dan menulis ini.

Dalam sebulan Handep bisa membeli minimal 200-300 lembar anyaman
rotan. Belum berbentuk barang siap jual. Di tangan kreatif desainer lokal Yoan
Taway, anyaman itu dimodifikasi sedemikian rupa agar terlihat menarik di mata
para calon pembeli. Motif bukan sembarang motif. Semua motif ada artinya. Semua
berbau kearifan lokal suku Dayak.

Baca Juga :  DPRD Tanah Datar Kunker ke Pemko Palangka Raya

“Pada label di setiap produk, kami juga melampirkan foto dan
profil orang yang menenun,” sebut pemuda yang lahir dari keluarga berlatar belakang
penambang emas tradisional dan peladang ini.

Perjalanan Handep setahun terakhir bukan tanpa halangan. Sempat
vakum dua bulan. Februari dan Maret 2019. Alasannya adalah modal dan pemasaran.
Untuk diketahui, modal patungan dari teman dan keluarga untuk memulai bisnis
hanyalah Rp195 juta.

Sebelum merangkul penenun dan petani di empat desa di Kecamatan
Gunung Purei, Randi menggandeng penenun rotan di Kabupaten Pulang Pisau. Kala
itu pihaknya mendapat pesanan 300 produk kerajinan tas. Namun, hasil anyaman
tak sesuai ekspektasi.

“Karena kualitasnya jelek, tidak saya berikan kepada pemesan, tapi
barang itu tetap saya ambil. Barang yang sudah dibeli itu, kami jual murah ke
penjual di pasar,” ungkap pemuda yang selama enam tahun bekerja di lembaga
asing HOB (Heart of Borneo Project), ILO (International Labour Organization),
The Forest Trust , Australian Embassy Jakarta, dan pernah juga menjadi tenaga
pengajar Bahasa Indonesia di Australia tahun 2014.

Peristiwa itu pun menjadi titik balik kemajuan Handep. Randi berpetualang
mencari pengrajin yang bisa diajak maju. Sampai akhirnya tibalah ia di Desa
Muara Mea, Kecamatan Gunung Purei. Sebulan Randi melakukan riset di desa itu.
Menyampaikan visi dan misinya. Alhasil, ratusan pengrajin dan petani bisa
diajak kerja sama hingga saat ini.

“Syukur Alhamdulillah, produk Handep sudah dikenal banyak orang.
Kami mengukur kesuksesan tidak hanya dari uang, tapi juga peningkatan
perekonomian warga, peningkatan skill pengrajin, dan kesejahteraan keluarga
mereka” ungkap pemuda yang dahulu pernah bercita-cita menjadi dokter
itu. (*/ce/CTK)

Usianya masih muda. Putra asli Dayak. Mendapat gelar S-2 di
Univeristy of Melbourne. Punya jiwa sosial. Founder dan CEO Handep ini membuka
usaha sosial yang bertujuan untuk memberdayakan pengrajin dan petani di
perdesaan Kalteng, melalui produk fashion yang ramah lingkungan.

AGUS PRAMONO, Palangka Raya

DI sebuah kafe, RANDI -sapaan
akrab Randi Julian Miranda- tampak serius memberi wejangan kepada anak-anak
muda soal memulai bisnis dan mencari modal. Sekitar 11 sampai 12 orang peserta
hadir saat itu. Mereka menyimak setiap tip yang disampaikan secara langsung
oleh Randi maupun lewat infografis pada slide layar putih berukuran 2×2 meter.
Kurang lebih 3 jam wejangan itu diberikan.

Randi merupakan pemuda yang lahir dan tumbuh besar di Puruk Cahu,
Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng). Setelah lulus sekolah
menengah atas, ia melanjutkan kuliah S-1 di Universitas Palangka Raya.
Mengambil jurusan Bahasa Inggris. Kemudian berlanjut mengambil S-2 jurusan
Studi Lingkungan (Spesialisasi Bidang Pembangunan Perdesaan) di Univeristy of
Melbourne, dan menyelesaikan pendidikannya pada 2018 lalu.

Awal 2019, Randi mantap mendirikan Handep Heruei. Usaha sosial
yang dibangun bermodal patungan. Mengandalkan modal awal sebesar Rp195 juta.
Bergerak dengan menjual aneka motif tas, dompet, dan topi berbahan dasar rotan.
Anyaman bukan sembarang anyaman. Handep mengedepankan kualitas. Baik soal bahan
maupun penganyamannya. Jika dilihat dari list katalog penjualan, baik di brosur
maupun akun media sosial @handepharuei, harga jual lebih mahal dibandingkan
hasil kerajinan rotan serupa yang ada di pasaran. Tak heran bahwa sebagian para
pelanggannya berprofesi sebagai artis.

Pemasarannya tak hanya di Indonesia. Selain beberapa negara di
Asia Tenggara yang sudah kepincut dengan produk ini, hasil kerajinan rotan asal
Kabupaten Barito Utara (Batara) itu juga menyasar pembeli dari negara-negara di
Benua Amerika dan Eropa.

Baca Juga :  Dukung Pemindahan Ibukota RI ke Kalimantan Tengah

Handep bermitra dengan sekitar 108 pengrajin wanita dan petani
rotan di empat desa yang ada di Kecamatan Gunung Purei, Kabupaten Batara.
Handep menghadirkan produk-produk anyaman yang mengintegrasikan mode dan
tradisi dengan cara haute couture.

“Produk kami dirancang agar fungsional dan memenuhi gaya hidup
modern sehingga dapat dipasarkan di tingkat lokal maupun internasional,” ujar
Randi.

Bisnis Handep mengedepankan keadilan terhadap para pengrajin dan
petani, dengan memberikan harga yang adil untuk hasil kerajinan rotan mereka,
yang umumnya dibeli oleh tengkulak dengan harga rendah. Handep bisa membeli
harga 40-100 persen lebih tinggi dari tengkulak.

“Misalnya, jika tengkulak biasa beli Rp20 ribu, kami berani
membayar Rp40 ribu. Kami membagikan 20 persen dari laba bersih kami ke mitra
penganyam dan petani dalam bentuk uang tunai, program pelatihan, dan
pembangunan infrastruktur desa,” ungkap anak sulung dari lima bersaudara ini.

Handep sendiri mewujudkan tujuan inti pembangunan berkelanjutan.
Menciptakan pembangunan ekonomi yang menumbuhkan dampak positif pada masyarakat
dan lingkungan hidup.

Misi lain yang diemban adalah melestarikan budaya menganyam pada
suku Dayak, memberikan peningkatan kapasitas untuk komunitas lokal di dunia
kewiraswastaan, pertanian berkelanjutan, dan pendidikan.

“Dan alhamdulillah, semuanya berjalan sangat baik. Penghasilan
pengrajin atau petani yang dahulu berkisar Rp500ribu, sekarang bisa Rp1 juta,”
ujar pria yang gemar membaca buku dan menulis ini.

Dalam sebulan Handep bisa membeli minimal 200-300 lembar anyaman
rotan. Belum berbentuk barang siap jual. Di tangan kreatif desainer lokal Yoan
Taway, anyaman itu dimodifikasi sedemikian rupa agar terlihat menarik di mata
para calon pembeli. Motif bukan sembarang motif. Semua motif ada artinya. Semua
berbau kearifan lokal suku Dayak.

Baca Juga :  DPRD Tanah Datar Kunker ke Pemko Palangka Raya

“Pada label di setiap produk, kami juga melampirkan foto dan
profil orang yang menenun,” sebut pemuda yang lahir dari keluarga berlatar belakang
penambang emas tradisional dan peladang ini.

Perjalanan Handep setahun terakhir bukan tanpa halangan. Sempat
vakum dua bulan. Februari dan Maret 2019. Alasannya adalah modal dan pemasaran.
Untuk diketahui, modal patungan dari teman dan keluarga untuk memulai bisnis
hanyalah Rp195 juta.

Sebelum merangkul penenun dan petani di empat desa di Kecamatan
Gunung Purei, Randi menggandeng penenun rotan di Kabupaten Pulang Pisau. Kala
itu pihaknya mendapat pesanan 300 produk kerajinan tas. Namun, hasil anyaman
tak sesuai ekspektasi.

“Karena kualitasnya jelek, tidak saya berikan kepada pemesan, tapi
barang itu tetap saya ambil. Barang yang sudah dibeli itu, kami jual murah ke
penjual di pasar,” ungkap pemuda yang selama enam tahun bekerja di lembaga
asing HOB (Heart of Borneo Project), ILO (International Labour Organization),
The Forest Trust , Australian Embassy Jakarta, dan pernah juga menjadi tenaga
pengajar Bahasa Indonesia di Australia tahun 2014.

Peristiwa itu pun menjadi titik balik kemajuan Handep. Randi berpetualang
mencari pengrajin yang bisa diajak maju. Sampai akhirnya tibalah ia di Desa
Muara Mea, Kecamatan Gunung Purei. Sebulan Randi melakukan riset di desa itu.
Menyampaikan visi dan misinya. Alhasil, ratusan pengrajin dan petani bisa
diajak kerja sama hingga saat ini.

“Syukur Alhamdulillah, produk Handep sudah dikenal banyak orang.
Kami mengukur kesuksesan tidak hanya dari uang, tapi juga peningkatan
perekonomian warga, peningkatan skill pengrajin, dan kesejahteraan keluarga
mereka” ungkap pemuda yang dahulu pernah bercita-cita menjadi dokter
itu. (*/ce/CTK)

Terpopuler

Artikel Terbaru