33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Pemilu Borongan 2024 Penuh Risiko

PROKALTENG.CO-Problem
penyelenggaraan diprediksi akan banyak terjadi pada 2024 jika pemilihan umum
(pemilu) nasional dan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tetap digelar
beririsan. Pasalnya, jarak pelaksanaan pemilu nasional dan pilkada serentak
yang terlampau dekat berpotensi mengakibatkan kerja penyelenggara tidak
maksimal.

Komisioner KPU RI Pramono Ubaid Tanthowi menyatakan,
pemilu nasional yang digelar April 2024 membutuhkan persiapan 22 bulan.
Artinya, tahapan akan dimulai sekitar Juni 2022. Sementara pilkada serentak
yang dijadwalkan November 2024 membutuhkan persiapan satu tahun. Sehingga
tahapan akan dimulai sekitar November 2023.

Jadwal tersebut, lanjut Pramono, dipastikan akan menimbulkan
bentrokan antara tahapan pemilu dan pilkada. Terutama di akhir 2023 hingga
akhir tahun 2024. Sebab, saat tahapan pilkada dimulai, di sisi lain tahapan
pemilu tengah berjalan menuju momen puncak. ”Irisannya akan lebih tebal karena
jarak hanya tujuh bulan,” ujarnya dalam sebuah diskusi kemarin (7/2). Persoalan
akan makin kompleks jika pemilu presiden berlangsung
dua putaran dan berlanjut di Mahkamah Konstitusi. Penyelesaiannya bisa mepet
dengan tahapan puncak pilkada.

Baca Juga :  Tim Satgas TMMD Genjot Pembangunan Embung

Imbasnya, kata Pram (sapaan Pramono), penyelenggara berpotensi
menggelar dua pekerjaan besar yang berbeda di waktu yang sama. ”Hari ini
misalnya pleno penetapan dukungan paslon perseorangan pilkada. Besok lagi pleno
DPT pemilu nasional,” ujarnya mencontohkan.

Apalagi,
lanjut Pram, jika desain pemilu lima kotak suara tetap dipertahankan. Ada
kekhawatiran muncul kembali korban jiwa. Pengalaman Pemilu 2019 menjadi bukti.
Proses penghitungan dan pencatatan suara di TPS kala itu membutuhkan waktu
lebih dari 24 jam. ”Jadi, kemarin (saat Pemilu 2019, Red) banyak petugas yang
tidak tidur,” katanya.

Pengadaan dan distribusi logistik juga mendapat tantangan tidak
mudah. Berbagai catatan tersebut, ungkap Pram, harus menjadi pertimbangan
pemerintah dan DPR dalam menyusun kebijakan. Dia pribadi berharap konsep pemilu
borongan tidak lagi digunakan. ”Saya harap pemilu dengan desain 2019 jadi
penyelenggaraan yang pertama dan terakhir,” tuturnya.

Baca Juga :  Gemar Makan Ikan Hidup Jadi Sehat, Anak-Anak Jadi Cerdas

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti
Zuhro menilai pelaksanaan pilkada pada 2024
tidak realistis. Keputusan tersebut seakan menutup fakta bahwa Pemilu 2019
telah meninggalkan banyak persoalan. ”Selain tidak realistis, terkesan uji coba
yang tak mempertimbangkan dampak negatif 2019,” cetusnya.

Siti berharap pemerintah dan DPR mengkaji ulang rencana
tersebut. Dia menilai harga yang harus dibayar terlalu mahal jika dua pesta
demokrasi dipaksakan digelar pada tahun yang sama. Bukan hanya mahal secara
materi, tapi juga fisik dan mental seluruh elemen bangsa.

Terpisah, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh turun tangan
memberikan arahan bagi anggota legislatif di DPR. Dia menegaskan bahwa Fraksi
Partai Nasdem harus tetap mengambil sikap untuk tidak melanjutkan pembahasan
RUU Pemilu.

”Cita-cita dan tugas Nasdem adalah sama dengan presiden, yakni
untuk kemajuan dan masa depan bangsa yang lebih baik,” tegasnya kemarin.

PROKALTENG.CO-Problem
penyelenggaraan diprediksi akan banyak terjadi pada 2024 jika pemilihan umum
(pemilu) nasional dan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tetap digelar
beririsan. Pasalnya, jarak pelaksanaan pemilu nasional dan pilkada serentak
yang terlampau dekat berpotensi mengakibatkan kerja penyelenggara tidak
maksimal.

Komisioner KPU RI Pramono Ubaid Tanthowi menyatakan,
pemilu nasional yang digelar April 2024 membutuhkan persiapan 22 bulan.
Artinya, tahapan akan dimulai sekitar Juni 2022. Sementara pilkada serentak
yang dijadwalkan November 2024 membutuhkan persiapan satu tahun. Sehingga
tahapan akan dimulai sekitar November 2023.

Jadwal tersebut, lanjut Pramono, dipastikan akan menimbulkan
bentrokan antara tahapan pemilu dan pilkada. Terutama di akhir 2023 hingga
akhir tahun 2024. Sebab, saat tahapan pilkada dimulai, di sisi lain tahapan
pemilu tengah berjalan menuju momen puncak. ”Irisannya akan lebih tebal karena
jarak hanya tujuh bulan,” ujarnya dalam sebuah diskusi kemarin (7/2). Persoalan
akan makin kompleks jika pemilu presiden berlangsung
dua putaran dan berlanjut di Mahkamah Konstitusi. Penyelesaiannya bisa mepet
dengan tahapan puncak pilkada.

Baca Juga :  Tim Satgas TMMD Genjot Pembangunan Embung

Imbasnya, kata Pram (sapaan Pramono), penyelenggara berpotensi
menggelar dua pekerjaan besar yang berbeda di waktu yang sama. ”Hari ini
misalnya pleno penetapan dukungan paslon perseorangan pilkada. Besok lagi pleno
DPT pemilu nasional,” ujarnya mencontohkan.

Apalagi,
lanjut Pram, jika desain pemilu lima kotak suara tetap dipertahankan. Ada
kekhawatiran muncul kembali korban jiwa. Pengalaman Pemilu 2019 menjadi bukti.
Proses penghitungan dan pencatatan suara di TPS kala itu membutuhkan waktu
lebih dari 24 jam. ”Jadi, kemarin (saat Pemilu 2019, Red) banyak petugas yang
tidak tidur,” katanya.

Pengadaan dan distribusi logistik juga mendapat tantangan tidak
mudah. Berbagai catatan tersebut, ungkap Pram, harus menjadi pertimbangan
pemerintah dan DPR dalam menyusun kebijakan. Dia pribadi berharap konsep pemilu
borongan tidak lagi digunakan. ”Saya harap pemilu dengan desain 2019 jadi
penyelenggaraan yang pertama dan terakhir,” tuturnya.

Baca Juga :  Gemar Makan Ikan Hidup Jadi Sehat, Anak-Anak Jadi Cerdas

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti
Zuhro menilai pelaksanaan pilkada pada 2024
tidak realistis. Keputusan tersebut seakan menutup fakta bahwa Pemilu 2019
telah meninggalkan banyak persoalan. ”Selain tidak realistis, terkesan uji coba
yang tak mempertimbangkan dampak negatif 2019,” cetusnya.

Siti berharap pemerintah dan DPR mengkaji ulang rencana
tersebut. Dia menilai harga yang harus dibayar terlalu mahal jika dua pesta
demokrasi dipaksakan digelar pada tahun yang sama. Bukan hanya mahal secara
materi, tapi juga fisik dan mental seluruh elemen bangsa.

Terpisah, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh turun tangan
memberikan arahan bagi anggota legislatif di DPR. Dia menegaskan bahwa Fraksi
Partai Nasdem harus tetap mengambil sikap untuk tidak melanjutkan pembahasan
RUU Pemilu.

”Cita-cita dan tugas Nasdem adalah sama dengan presiden, yakni
untuk kemajuan dan masa depan bangsa yang lebih baik,” tegasnya kemarin.

Terpopuler

Artikel Terbaru