28.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

DPR dan Demokrasi Pascaelektoral

PELANTIKAN anggota DPR yang baru didahului dan diiringi serangkaian
demonstrasi besar-besaran yang dilakukan para mahasiswa di sejumlah kota besar.
Titik tolak demonstrasi itu adalah DPR yang dianggap enggan mendengar suara
rakyat dalam membuat keputusan-keputusan penting yang menyangkut hajat hidup
orang banyak.

Adanya anggapan bahwa DPR enggan
mendengar suara rakyat tersebut tidak terlepas dari pandangan bahwa demokrasi
itu berhenti pada proses elektoral. Demokrasi semata-mata dipandang dari
dimensi kontestasi publik (public contestation) dalam pemilihan pejabat-pejabat
publik, termasuk anggota DPR. Ketika para anggota DPR(D) sudah terpilih,
misalnya, demokrasi yang melibatkan rakyat dianggap sudah selesai. Demokrasi
lalu berpindah ke ranah elitis, yang hanya melibatkan para wakil yang telah
dipilih tersebut.

Demokrasi tentu tidak sesederhana
itu. Di samping dimensi keikutsertaan publik, ada dua dimensi lain dari
demokrasi itu. Yang pertama adalah adanya partisipasi dalam proses-proses politik,
terutama sekali terkait dengan proses pembuatan kebijakan-kebijakan publik.
Yang kedua adalah adanya hak-hak sipil dan hak-hak politik yang dimiliki semua
warga negara. Dimensi yang terakhir itu penting agar public contestation dan
partisipasi tersebut terjamin pelaksanaannya.

Apakah pelantikan anggota DPR
yang baru ini memungkinkan demokrasi tidak berhenti sampai pada proses
elektoral saja? Bagi para penganut cara pandang yang sinis, jawabannya
sederhana: ”Tidak!” Tidak akan ada banyak perubahan dari apa yang dilakukan
para wakil rakyat itu. Yang ada hanyalah status baru yang melekat, yaitu
anggota DPR periode 2019–2024.

Adalah Robert Michels orang yang
sinis terhadap demokrasi. Setelah lama mencermati praktik demokrasi yang
melibatkan partai-partai politik, dia menemukan apa yang disebut sebagai ”hukum
besi oligarki”. Para elite yang awalnya berbondong-bondong dekat dengan rakyat,
ingin memperoleh dukungan dari rakyat, pada akhirnya terjebak pada situasi di
mana mereka akhirnya masuk ke dalam ”oligarki-oligarki”.

Tetapi, bagi yang lebih
optimistis, seperti Albert Hirschman, proses demokrasi itu memungkinkan apa
yang disebut sebagai ”voice” dan ”exit”. Mengingat di dalam demokrasi itu
terjamin adanya hak-hak sipil dan hak-hak politik, warga negara dimungkinkan
melakukan penyuaraan-penyuaraan tentang apa yang menjadi aspirasinya. Para
elite, termasuk para anggota DPR itu, mau tidak mau harus mendengar apa yang
disuarakan para konstituennya. Mengapa demikian?

Baca Juga :  Anggaran Pilkada Dimungkinkan Berkurang, Ini Penjelasan Sekda

Kalau tidak, rakyat yang telah
memilihnya bisa melakukan apa yang disebut sebagai exit. Rakyat yang menjumpai
anggota DPR yang tidak mau mendengar suara mereka, juga DPR yang tetap jalan
dengan keputusannya sendiri atau apa yang disebut sebagai disconnect electoral,
akan menghukumnya berupa tidak bersedia memilihnya kembali pada pemilu
berikutnya.

Apa yang terjadi belakangan ini
tidak sama persis dengan apa yang dikatakan Hirschman itu. Setelah memandang
DPR benar-benar tidak mau mendengar apa yang disuarakan rakyat, para mahasiswa
tersebut melakukan gelombang voice besar-besaran, berupa tekanan-tekanan fisik
sekaligus gagasan.

Tekanan itu pada akhirnya membuat
DPR bersedia ”mendengar”. Sejumlah RUU yang awalnya akan diputuskan di akhir
masa jabatan DPR periode 2014–2019 ditunda penetapannya. Bahkan, DPR juga sudah
mulai ”membuka hati” untuk kemungkinan dilakukannya perubahan terhadap apa yang
telah diputus seperti UU tentang KPK –meski sampai sekarang belum diputuskan.

Berbeda dengan pelantikan anggota
DPR sebelumnya yang didorong semangat untuk membangun pemerintahan yang lebih
baik, pelantikan DPR periode 2019–2024 sejak awal telah ditandai suara kritis
dari publik. Sebelum mereka bermetamorfosis ke dalam jaringan
oligarki-oligarki, para mahasiswa telah memberikan peringatan berupa voice yang
cukup besar.

Memang sebagian tuntutan
mahasiswa itu telah dikabulkan. Tetapi, mahasiswa sepertinya belum puas. Isu
utama yang mendorong gerakan mahasiswa belakangan adalah masalah korupsi.
Selama ini pandangan yang terbangun di publik adalah korupsi telah menjadi
problem besar dalam pengelolaan negara dan KPK sudah dipersepsi sebagai
institusi tepercaya untuk mengatasi masalah korupsi.

Baca Juga :  PSBB Berhenti, Pos Libas Tetap Lanjut Bahkan Diperketat

Karena itu, ketika terdapat isu
tentang pelemahan KPK melalui revisi UU yang mengaturnya, para mahasiswa
melakukan konter wacana dan aksi perlawanan. Karena itu pula, aksi perlawanan,
bisa saja, akan terus berlanjut. DPR baru dalam konteks semacam itu menghadapi
tantangan: berproses menuju terjadinya disconnect electoral sebagaimana
sebelumnya ataukah menjadi bagian dari bangunan baru tentang adanya koneksi
berkelanjutan di dalam berdemokrasi.

Tekanan dari mahasiswa yang
terjadi belakangan memang mau tidak mau harus membuat DPR berpikir lebih
panjang tentang proses yang akan dilalui. Mengikuti hukum besi oligarki bisa
jadi merupakan pilihan alamiah yang dapat mereka ambil. Pilihan demikian bisa
saja terjadi, tidak terlepas dari pengalaman-pengalaman sebelumnya bahwa
”hukuman” berupa ”exit” yang dilakukan para pemilih tidak sepenuhnya terjadi.
Tidak sedikit para wakil rakyat yang tidak bagus kerjanya terpilih kembali.
Pengalaman adanya NPWP (nomer piro wani piro) di sebagian pemilih membuat para
wakil itu tetap percaya diri akan terpilih lagi sekiranya mereka mampu memenuhi
kebutuhan pemilih pragmatis seperti itu.

Tetapi, gerakan yang dilakukan
para mahasiswa belakangan ini tidak bisa dipandang enteng. Sebagian besar di
antara mereka adalah pemilih pemula dan merupakan pemilih besar di masa-masa
yang akan datang. Ketika suara mereka tidak didengar, itu akan menjadi
pengalaman dan catatan tersendiri dalam memberikan pilihannya di pemilu-pemilu
yang akan datang. Para pemilih itu, bisa jadi, akan benar-benar melakukan
”exit” ketika mendapati wakilnya tidak mau mendengar suaranya.

DPR bisa menjadikan peristiwa
belakangan ini sebagai pelajaran. Bahwa sudah menjadi keharusan bagi para wakil
rakyat mendengarkan voice rakyat, betatapun kecil voice itu. DPR tidak harus
menunggu adanya voice besar-besaran seperti gelombang demonstrasi yang
dilakukan mahasiswa belakangan. Semoga. (*)

(Penulis adalah guru besar Unair dan Wakil Rektor Unusa)

PELANTIKAN anggota DPR yang baru didahului dan diiringi serangkaian
demonstrasi besar-besaran yang dilakukan para mahasiswa di sejumlah kota besar.
Titik tolak demonstrasi itu adalah DPR yang dianggap enggan mendengar suara
rakyat dalam membuat keputusan-keputusan penting yang menyangkut hajat hidup
orang banyak.

Adanya anggapan bahwa DPR enggan
mendengar suara rakyat tersebut tidak terlepas dari pandangan bahwa demokrasi
itu berhenti pada proses elektoral. Demokrasi semata-mata dipandang dari
dimensi kontestasi publik (public contestation) dalam pemilihan pejabat-pejabat
publik, termasuk anggota DPR. Ketika para anggota DPR(D) sudah terpilih,
misalnya, demokrasi yang melibatkan rakyat dianggap sudah selesai. Demokrasi
lalu berpindah ke ranah elitis, yang hanya melibatkan para wakil yang telah
dipilih tersebut.

Demokrasi tentu tidak sesederhana
itu. Di samping dimensi keikutsertaan publik, ada dua dimensi lain dari
demokrasi itu. Yang pertama adalah adanya partisipasi dalam proses-proses politik,
terutama sekali terkait dengan proses pembuatan kebijakan-kebijakan publik.
Yang kedua adalah adanya hak-hak sipil dan hak-hak politik yang dimiliki semua
warga negara. Dimensi yang terakhir itu penting agar public contestation dan
partisipasi tersebut terjamin pelaksanaannya.

Apakah pelantikan anggota DPR
yang baru ini memungkinkan demokrasi tidak berhenti sampai pada proses
elektoral saja? Bagi para penganut cara pandang yang sinis, jawabannya
sederhana: ”Tidak!” Tidak akan ada banyak perubahan dari apa yang dilakukan
para wakil rakyat itu. Yang ada hanyalah status baru yang melekat, yaitu
anggota DPR periode 2019–2024.

Adalah Robert Michels orang yang
sinis terhadap demokrasi. Setelah lama mencermati praktik demokrasi yang
melibatkan partai-partai politik, dia menemukan apa yang disebut sebagai ”hukum
besi oligarki”. Para elite yang awalnya berbondong-bondong dekat dengan rakyat,
ingin memperoleh dukungan dari rakyat, pada akhirnya terjebak pada situasi di
mana mereka akhirnya masuk ke dalam ”oligarki-oligarki”.

Tetapi, bagi yang lebih
optimistis, seperti Albert Hirschman, proses demokrasi itu memungkinkan apa
yang disebut sebagai ”voice” dan ”exit”. Mengingat di dalam demokrasi itu
terjamin adanya hak-hak sipil dan hak-hak politik, warga negara dimungkinkan
melakukan penyuaraan-penyuaraan tentang apa yang menjadi aspirasinya. Para
elite, termasuk para anggota DPR itu, mau tidak mau harus mendengar apa yang
disuarakan para konstituennya. Mengapa demikian?

Baca Juga :  Anggaran Pilkada Dimungkinkan Berkurang, Ini Penjelasan Sekda

Kalau tidak, rakyat yang telah
memilihnya bisa melakukan apa yang disebut sebagai exit. Rakyat yang menjumpai
anggota DPR yang tidak mau mendengar suara mereka, juga DPR yang tetap jalan
dengan keputusannya sendiri atau apa yang disebut sebagai disconnect electoral,
akan menghukumnya berupa tidak bersedia memilihnya kembali pada pemilu
berikutnya.

Apa yang terjadi belakangan ini
tidak sama persis dengan apa yang dikatakan Hirschman itu. Setelah memandang
DPR benar-benar tidak mau mendengar apa yang disuarakan rakyat, para mahasiswa
tersebut melakukan gelombang voice besar-besaran, berupa tekanan-tekanan fisik
sekaligus gagasan.

Tekanan itu pada akhirnya membuat
DPR bersedia ”mendengar”. Sejumlah RUU yang awalnya akan diputuskan di akhir
masa jabatan DPR periode 2014–2019 ditunda penetapannya. Bahkan, DPR juga sudah
mulai ”membuka hati” untuk kemungkinan dilakukannya perubahan terhadap apa yang
telah diputus seperti UU tentang KPK –meski sampai sekarang belum diputuskan.

Berbeda dengan pelantikan anggota
DPR sebelumnya yang didorong semangat untuk membangun pemerintahan yang lebih
baik, pelantikan DPR periode 2019–2024 sejak awal telah ditandai suara kritis
dari publik. Sebelum mereka bermetamorfosis ke dalam jaringan
oligarki-oligarki, para mahasiswa telah memberikan peringatan berupa voice yang
cukup besar.

Memang sebagian tuntutan
mahasiswa itu telah dikabulkan. Tetapi, mahasiswa sepertinya belum puas. Isu
utama yang mendorong gerakan mahasiswa belakangan adalah masalah korupsi.
Selama ini pandangan yang terbangun di publik adalah korupsi telah menjadi
problem besar dalam pengelolaan negara dan KPK sudah dipersepsi sebagai
institusi tepercaya untuk mengatasi masalah korupsi.

Baca Juga :  PSBB Berhenti, Pos Libas Tetap Lanjut Bahkan Diperketat

Karena itu, ketika terdapat isu
tentang pelemahan KPK melalui revisi UU yang mengaturnya, para mahasiswa
melakukan konter wacana dan aksi perlawanan. Karena itu pula, aksi perlawanan,
bisa saja, akan terus berlanjut. DPR baru dalam konteks semacam itu menghadapi
tantangan: berproses menuju terjadinya disconnect electoral sebagaimana
sebelumnya ataukah menjadi bagian dari bangunan baru tentang adanya koneksi
berkelanjutan di dalam berdemokrasi.

Tekanan dari mahasiswa yang
terjadi belakangan memang mau tidak mau harus membuat DPR berpikir lebih
panjang tentang proses yang akan dilalui. Mengikuti hukum besi oligarki bisa
jadi merupakan pilihan alamiah yang dapat mereka ambil. Pilihan demikian bisa
saja terjadi, tidak terlepas dari pengalaman-pengalaman sebelumnya bahwa
”hukuman” berupa ”exit” yang dilakukan para pemilih tidak sepenuhnya terjadi.
Tidak sedikit para wakil rakyat yang tidak bagus kerjanya terpilih kembali.
Pengalaman adanya NPWP (nomer piro wani piro) di sebagian pemilih membuat para
wakil itu tetap percaya diri akan terpilih lagi sekiranya mereka mampu memenuhi
kebutuhan pemilih pragmatis seperti itu.

Tetapi, gerakan yang dilakukan
para mahasiswa belakangan ini tidak bisa dipandang enteng. Sebagian besar di
antara mereka adalah pemilih pemula dan merupakan pemilih besar di masa-masa
yang akan datang. Ketika suara mereka tidak didengar, itu akan menjadi
pengalaman dan catatan tersendiri dalam memberikan pilihannya di pemilu-pemilu
yang akan datang. Para pemilih itu, bisa jadi, akan benar-benar melakukan
”exit” ketika mendapati wakilnya tidak mau mendengar suaranya.

DPR bisa menjadikan peristiwa
belakangan ini sebagai pelajaran. Bahwa sudah menjadi keharusan bagi para wakil
rakyat mendengarkan voice rakyat, betatapun kecil voice itu. DPR tidak harus
menunggu adanya voice besar-besaran seperti gelombang demonstrasi yang
dilakukan mahasiswa belakangan. Semoga. (*)

(Penulis adalah guru besar Unair dan Wakil Rektor Unusa)

Terpopuler

Artikel Terbaru