28.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

7 Kali Menangkap, 7 Kali Melepaskan

BEBERAPA hari lalu secara tidak sengaja saya melihat lukisan Zhuge
Liang di Facebook. Hal ini mengingatkan saya kembali pada sejarah tahun 220-280
di zaman Tiga Negara (Samkok).

Saya juga jadi teringat hubungan
sosok Zhuge Liang dan Jesus.

Zhuge Liang (181-234) adalah
seorang penganut Khonghucu salah satu ahli strategi terbaik dari Tiongkok pada
jaman Samkok, Ia juga merupakan seorang Perdana Menteri, insinyur, ilmuwan, dan
penemu yang handal.

Di zaman Samkok pernah terjadi
pemberontakan besar-besaran di daerah selatan Tiongkok. Perdana Menteri negara
Shu Han pada saat itu, Zhuge Liang meminta izin kepada kaisarnya, Liu Bei untuk
menumpas pemberontakan oleh Suku Selatan, terkenal dengan sebutan ‘The Southern
Campaign’.

Suku Selatan itu disebut juga
Nanman atau orang dari Selatan (sekarang Burma/Myanmar).

Pemimpin di daerah Selatan yang
memberontak itu bernama Meng Huo. Zhuge Liang karena kepandaiaannya sudah
mengalahkan Meng Huo tujuh kali dan membebaskannya sampai tujuh kali juga, di
mana saat pembebasan ketujuhnya Meng Huo akhirnya menyerah dan berjanji tidak
akan memberontak lagi kepada negara Shu Han.

Saat itu belum ada sebutan
Tiongkok karena Tiongkok masih terpecah menjadi tiga negara: Shu, Wu dan Wei.

Sewaktu membebaskan Meng Huo,
Zhuge Liang selalu ditentang oleh jendral-jendralnya: Kenapa dia dibebaskan
lagi? Bagaimana jika dia memberontak lagi?, Zhuge Liang dengan tenang menjawab:
Aku dengan mudah dapat menangkapnya kembali semudah membalikan tanganku. Kini
aku sedang mengalahkan hatinya.

Zhuge Liang tahu persis kalau
Meng Huo ditangkap lalu dibunuh, akan ada pengganti Meng Huo lainnya yang akan
memimpin pemberontakan ke Shu. Karena itu ia pikir lebih baik membuat pemimpin
daerah Selatan yang berpengaruh ini berpihak kepadanya supaya Meng Huo bisa
memimpin daerah Selatan untuk setia kepada negara Shu.

Baca Juga :  Komisi IV Dorong Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Dua Wilayah I

Pada pertempuran yang terakhir,
yang ketujuh kalinya; Zhuge Liang membuat Meng Huo masuk ke lembah yang
dikelilingi pegunungan. Di lembah itu Zhuge Liang membuat jebakan dengan
menaruh banyak kereta pengangkut makanan.

Ketika melihat kereta itu, Meng
Huo langsung tertarik dan memimpin pasukannya masuk ke lembah itu.

Setelah pasukan Meng Huo
mendekati kereta pengangkut makanan itu, ternyata kereta itu tidak berisi
makanan melainkan bubuk mesiu!

Langsung saja pasukan Shu yang
sudah menunggu di kaki gunung memanah kereta-kereta yang penuh bubuk mesiu itu
dengan panah api.

Terjadi ledakan besar-besaran di
lembah itu, dan dalam sekejap lembah itu menjadi lautan api yang menewaskan
hampir semua pasukan Meng Huo.

Kemenangan ini tidak membuat
Zhuge Liang senang begitu saja, ia hanya agak menyesali dan berkata: Jasaku
memang besar kepada negara, namun dosaku juga sangat besar kepada Thian (Tuhan
YME); semoga Thian berkenan mengampuniku karena aku hanya menjalankan kewajiban
menjaga keamanan negara.

Setelah kejadian ini, Meng Huo
kembali ditangkap pasukan Zhuge Liang. Ketika Zhuge Liang menemui Meng Huo, ia
langsung melepaskan ikatan tali Meng Huo dan berkata: Silahkan anda pergi lagi
dan mempersiapkan pasukan baru anda untuk bertarung kembali, mendengar itu Meng
Huo terharu dan berkata: Tujuh kali tertangkap, tujuh kali juga dibebaskan!

Kejadian seperti ini seharusnya
tidak pernah dan tidak akan terjadi! Meskipun aku orang yang kurang beradab,
namun aku masih punya prinsip moral yang masih menjunjung etika.

Tidak, aku tidak sehina itu kata
Meng Huo! Setelah kejadian ini, suku Selatan menakluk tidak pernah memberontak
lagi kepada negara Shu.

Baca Juga :  Pemko Ingin Wujudkan Palangka Raya Smart City Ramah Lingkungan

Dalam buku Tan Pei Ying, The
Building of The Burma Road terbitan New York, McGraw-Hill, 1945. Ketika sebelum
pecah perang antara Jepang dan Tiongkok tahun 1937, semua akses ke lautan
negara Tiongkok telah diblokade oleh Jepang. Untuk mengatasi hal tersebut maka
Tiongkok membuat jalan akses baru di daerah Burma/Myanmar sekarang.

Pekerjaan ini dipimpin oleh
seorang insinyur yg bernama Tan Pei Ying. Di Burma Tan Pei Ying menemukan
fenomena tidak biasa yang menjadi sebuah akulturasi budaya. Di mana ia melihat
pemujaan Altar pada Zhuge Liang, namun ada di sebelahnya Patung Bunda Maria.

Usut punya usut ternyata pengaruh
Zhuge Liang di Burma masih sangat terasa di sana. Kenyataannya ketika Tan Pai
Ing memulai pekerjaannya, ia mendapatkan banyak bantuan dari orang-orang Burma.

Di dalam rumah orang Burma di
wilayah zamannya Meng Huo itu banyak terdapat pemujaan dan altar bagi patung-patung
Zhuge Liang.

Sehingga ketika misionaris
Katolik datang ke Burma untuk menyebarkan agamanya mula-mula mereka menghadapi
penolakan yang sangat berarti, maka akhirnya mereka memiliki ide dengan
mengatakan bahwa ”Jesus Kristus adalah merupakan saudara muda dari Zhuge Liang”

Barulah setelah meyakini hal itu
orang-orang Burma lambat laun akhirnya mau menjadi penganut Katolik, dengan
catatan mereka tetap menyandingkan patung Maria dengan Patung Kong Ming pada
altar yang sama.

Ternyata pada saat tahun 1930-an.
Jesus beserta Bunda Maria sudah berjumpa dengan Zhuge Liang di Burma/Myanmar
sana.

Seperti kata Sunzi : “Filosofi
seni tertinggi dari berperang ialah menaklukan musuh tanpa melakukan
pertempuran”. (rmol/kpc)

(Penulis adalah Intelektual muda Khonghucu)

BEBERAPA hari lalu secara tidak sengaja saya melihat lukisan Zhuge
Liang di Facebook. Hal ini mengingatkan saya kembali pada sejarah tahun 220-280
di zaman Tiga Negara (Samkok).

Saya juga jadi teringat hubungan
sosok Zhuge Liang dan Jesus.

Zhuge Liang (181-234) adalah
seorang penganut Khonghucu salah satu ahli strategi terbaik dari Tiongkok pada
jaman Samkok, Ia juga merupakan seorang Perdana Menteri, insinyur, ilmuwan, dan
penemu yang handal.

Di zaman Samkok pernah terjadi
pemberontakan besar-besaran di daerah selatan Tiongkok. Perdana Menteri negara
Shu Han pada saat itu, Zhuge Liang meminta izin kepada kaisarnya, Liu Bei untuk
menumpas pemberontakan oleh Suku Selatan, terkenal dengan sebutan ‘The Southern
Campaign’.

Suku Selatan itu disebut juga
Nanman atau orang dari Selatan (sekarang Burma/Myanmar).

Pemimpin di daerah Selatan yang
memberontak itu bernama Meng Huo. Zhuge Liang karena kepandaiaannya sudah
mengalahkan Meng Huo tujuh kali dan membebaskannya sampai tujuh kali juga, di
mana saat pembebasan ketujuhnya Meng Huo akhirnya menyerah dan berjanji tidak
akan memberontak lagi kepada negara Shu Han.

Saat itu belum ada sebutan
Tiongkok karena Tiongkok masih terpecah menjadi tiga negara: Shu, Wu dan Wei.

Sewaktu membebaskan Meng Huo,
Zhuge Liang selalu ditentang oleh jendral-jendralnya: Kenapa dia dibebaskan
lagi? Bagaimana jika dia memberontak lagi?, Zhuge Liang dengan tenang menjawab:
Aku dengan mudah dapat menangkapnya kembali semudah membalikan tanganku. Kini
aku sedang mengalahkan hatinya.

Zhuge Liang tahu persis kalau
Meng Huo ditangkap lalu dibunuh, akan ada pengganti Meng Huo lainnya yang akan
memimpin pemberontakan ke Shu. Karena itu ia pikir lebih baik membuat pemimpin
daerah Selatan yang berpengaruh ini berpihak kepadanya supaya Meng Huo bisa
memimpin daerah Selatan untuk setia kepada negara Shu.

Baca Juga :  Komisi IV Dorong Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Dua Wilayah I

Pada pertempuran yang terakhir,
yang ketujuh kalinya; Zhuge Liang membuat Meng Huo masuk ke lembah yang
dikelilingi pegunungan. Di lembah itu Zhuge Liang membuat jebakan dengan
menaruh banyak kereta pengangkut makanan.

Ketika melihat kereta itu, Meng
Huo langsung tertarik dan memimpin pasukannya masuk ke lembah itu.

Setelah pasukan Meng Huo
mendekati kereta pengangkut makanan itu, ternyata kereta itu tidak berisi
makanan melainkan bubuk mesiu!

Langsung saja pasukan Shu yang
sudah menunggu di kaki gunung memanah kereta-kereta yang penuh bubuk mesiu itu
dengan panah api.

Terjadi ledakan besar-besaran di
lembah itu, dan dalam sekejap lembah itu menjadi lautan api yang menewaskan
hampir semua pasukan Meng Huo.

Kemenangan ini tidak membuat
Zhuge Liang senang begitu saja, ia hanya agak menyesali dan berkata: Jasaku
memang besar kepada negara, namun dosaku juga sangat besar kepada Thian (Tuhan
YME); semoga Thian berkenan mengampuniku karena aku hanya menjalankan kewajiban
menjaga keamanan negara.

Setelah kejadian ini, Meng Huo
kembali ditangkap pasukan Zhuge Liang. Ketika Zhuge Liang menemui Meng Huo, ia
langsung melepaskan ikatan tali Meng Huo dan berkata: Silahkan anda pergi lagi
dan mempersiapkan pasukan baru anda untuk bertarung kembali, mendengar itu Meng
Huo terharu dan berkata: Tujuh kali tertangkap, tujuh kali juga dibebaskan!

Kejadian seperti ini seharusnya
tidak pernah dan tidak akan terjadi! Meskipun aku orang yang kurang beradab,
namun aku masih punya prinsip moral yang masih menjunjung etika.

Tidak, aku tidak sehina itu kata
Meng Huo! Setelah kejadian ini, suku Selatan menakluk tidak pernah memberontak
lagi kepada negara Shu.

Baca Juga :  Pemko Ingin Wujudkan Palangka Raya Smart City Ramah Lingkungan

Dalam buku Tan Pei Ying, The
Building of The Burma Road terbitan New York, McGraw-Hill, 1945. Ketika sebelum
pecah perang antara Jepang dan Tiongkok tahun 1937, semua akses ke lautan
negara Tiongkok telah diblokade oleh Jepang. Untuk mengatasi hal tersebut maka
Tiongkok membuat jalan akses baru di daerah Burma/Myanmar sekarang.

Pekerjaan ini dipimpin oleh
seorang insinyur yg bernama Tan Pei Ying. Di Burma Tan Pei Ying menemukan
fenomena tidak biasa yang menjadi sebuah akulturasi budaya. Di mana ia melihat
pemujaan Altar pada Zhuge Liang, namun ada di sebelahnya Patung Bunda Maria.

Usut punya usut ternyata pengaruh
Zhuge Liang di Burma masih sangat terasa di sana. Kenyataannya ketika Tan Pai
Ing memulai pekerjaannya, ia mendapatkan banyak bantuan dari orang-orang Burma.

Di dalam rumah orang Burma di
wilayah zamannya Meng Huo itu banyak terdapat pemujaan dan altar bagi patung-patung
Zhuge Liang.

Sehingga ketika misionaris
Katolik datang ke Burma untuk menyebarkan agamanya mula-mula mereka menghadapi
penolakan yang sangat berarti, maka akhirnya mereka memiliki ide dengan
mengatakan bahwa ”Jesus Kristus adalah merupakan saudara muda dari Zhuge Liang”

Barulah setelah meyakini hal itu
orang-orang Burma lambat laun akhirnya mau menjadi penganut Katolik, dengan
catatan mereka tetap menyandingkan patung Maria dengan Patung Kong Ming pada
altar yang sama.

Ternyata pada saat tahun 1930-an.
Jesus beserta Bunda Maria sudah berjumpa dengan Zhuge Liang di Burma/Myanmar
sana.

Seperti kata Sunzi : “Filosofi
seni tertinggi dari berperang ialah menaklukan musuh tanpa melakukan
pertempuran”. (rmol/kpc)

(Penulis adalah Intelektual muda Khonghucu)

Terpopuler

Artikel Terbaru