28.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Memaknai Bencana di “Kepingan Surga”

MAMUJU dan Majene terguncang gempa susul-menyusul. Jerit tangis dan
lelehan air mata menyerta. Peristiwanya membekaskan derita panjang. Puluhan
orang meninggal, beribu-ribu mengungsi, ratusan luka-luka. Kantor gubernur
Sulawesi Barat ambruk. Rumah sakit, hotel, dan beratus-ratus rumah warga rusak.
Sungguh nestapanya tak terperikan.

Jiwa raga dan harta benda
terserak akibat gempa berkekuatan magnitudo 6,2. Kesetiakawanan sosial semakin
diuji saat kelam belum beranjak dari banjir di Kalimantan Selatan dan tanah
longsor di Sumedang. Gunung Semeru pun kemarin ’’berpartisipasi’’ meluncurkan
awan panas.

Membangun Solidaritas

Gempa 6,2 skala Richter itu
menambah deret hitung kompleksitas bencana hidrometeorologi. Sampai 16 Januari
2021, BNPB mendata 136 bencana alam. Sepanjang 2020, BNPB telah merekap bencana
sebanyak 2.939 kejadian. Berupa 16 gempa bumi, 7 erupsi gunung api, 326
karhutla, 29 kekeringan, 1.070 banjir, 575 tanah longsor, 879 puting beliung,
dan 36 gelombang pasang. Bencana ini menimbulkan korban 370 meninggal, 39
hilang, 536 luka-luka, 6.441.267 mengungsi, 42.758 rumah hancur, dan 1.542
fasum rusak.

Angka-angkanya amat
mencengangkan. Jejak gempa di Sulbar terekam destruktif sejak tahun 1967 (6,3
SR), 1969 (6,9 SR) dan 1984 (6,7 SR). ’’Kurikulum’’ gempa di Sumatera secara
historis mengungkapkan: 26 Desember 2004 Aceh terkena gempa dahsyat
bermagnitudo 9,1–9,3; 28 Maret 2005 Aceh dan Sumut terguncang gempa 8,2 SR; 18
Desember 2006 Mandailing Natal tersentak gempa 5,7 SR; 12 September 2007
Bengkulu luluh oleh gempa 7,9 SR yang melengkapi kepiluan Sumbar saat 6 Maret
2007 digoyang gempa 5,8–6,4 SR.

Lalu, pada 30 September 2009
lepas pantai Sumbar menyuguhkan gempa 7,6 SR dan 25 Oktober 2010 Mentawai
dientak gempa 7,7 SR. Lantas, Sinabung terkena gempa 7,8 SR pada 7 April 2010.
Jeda sebentar, pantai barat Sumbar dihantam gempa 8,6 SR pada 11 April 2012.
Pada 2 Juli 2013 Aceh dihampiri gempa dengan ’’sapaan’’ 6,1 SR dan di 2 Juni
2016 Sumbar mengalami gempa lagi 6,5 SR.

Baca Juga :  Masih Bermanfaatkah Terapi Plasma Konvalesen?

Data tersebut niscaya dapat
menjadi resources ilmu kegempaan dengan segala aspeknya. Gempa dipahami tidak
semata-mata berarti disaster atau catastrophe. Perang Dunia di Eropa tahun 1914
juga dimaknai sebagai bencana kemanusiaan yang hebat, persis yang ditulis oleh
Max Hastings dalam karya besarnya, Catastrophe, Europe Goes to War 1914 (2013).

Terhadap bencana, perilaku publik
amat simpatik. Rintihan menggumpal menjadi lonceng yang gemanya ternyata
mengetuk solidaritas kemanusiaan. Bencana sanggup memupuk kembali persaudaraan
anak bangsa. Fenomenanya membuka ruang optimisme menjadikan gempa sebagai
literasi pembangunan nasional. Gempa membuat negara banyak belajar dan warga
mencoba mendengar suara alam lebih khidmat. Bukankah setiap bencana mengajarkan
bagaimana menata relasi ekologis antara manusia dan lingkungan secara tepat?

Road Map Kegempaan

Tercatat 157 juta jiwa rakyat
Indonesia tinggal di daerah rawan gempa. Angka yang mendengungkan lolong
kekhawatiran yang mengerikan apabila tidak segera ditangani. Ratusan juta jiwa
yang terancam gempa merupakan nyawa yang harus diselamatkan. Negara dengan
segala alat kelengkapannya memiliki otoritas untuk menjaga warganya terhindar
dari bencana.

Gempa di Sulbar merupakan
peristiwa yang amat melelahkan fisik-psikis yang dapat mengguncang khalayak.
Bencana yang beraspek ekologis ternyata sangat merugikan dan membutuhkan solusi
mitigasi bencana. UUD 1945 memberikan mandat konstitusional kepada organ negara
untuk bertindak mengatasi bencana, bahkan sebelum bencana itu datang.

Pemerintah wajib mengoptimalkan
instrumen seperti yang diamanatkan hukum penanggulangan bencana. Pemanfaatan
teknologi sistem peringatan dini dan menumbuhkembangkan respons masyarakat agar
terus meningkat. Dalam literasi pengelolaan bencana ada pesan kultural dalam
ajaran ’’tanggap ing sasmito’’. Negara wajib meredesain kawasan permukiman
dengan membuat road map kegempaan dan mengonstruksi infrastruktur yang sesuai
dengan kondisi alamnya.

Baca Juga :  Kebingungan Pajak Indonesia

Penduduk diajari kembali mau
menyapa alam. Mereka yang berada dalam zona rawan bencana akan sigap melakukan
mitigasi karena telah lama mengakrabi alam. Desa tangguh bencana diperkuat dan
skema beradaptasi dengan realitas lingkungan selalu dipetakan.

Road map kebencanaan dengan
seruan mitigasi ini secara tematik terinspirasi oleh ’’narasi sosok energik’’
di kisah dalam epos La Galigo. Menurut Sirtjo Koolhof, inilah epos terpanjang
dalam sastra dunia dengan jumlah baris 225.000. Sebagai ’’jalan cahaya’’ dalam
menyikapi bencana, saya kutipkan La Galigo sesuai bait naskah NBG 188 Jilid I
yang mengandung arti: Biarlah kita berjalan terus, We Datu Sengngeng/Apakah
kita akan mati atau hidup dalam perjalanan/Berjalanlah lagi anak-anak dua kakak
beradik/Mereka menuruni lembah/Mendaki perbukitan.

Belajar dari naskah La Galigo
terpaut pula pada referensi tua Desa Warnnana alias Nagara Krtagama karya Empu
Prapanca (1365) dan Kakawin Sutasoma kreasi Empu Tantular (1389). Pustaka
klasik itu mengajarkan bahwa mengatasi bencana harus diawali dari tingkat
wilayah negara terkecil, yaitu desa. Setiap kampong di Aceh, desa di Jawa, dan
nagari di Sumatera diformulasi memiliki peta kegempaan. Artinya, pada jengkal
teritori negara, terdapat papan informasi manajemen bencana sedasar dengan
status alamnya.

Dalam batas ini, resolusi
kebencanaan adalah opsi tunggal membangun wilayah berkeselamatan di desa
tangguh bencana. Tetaplah bersyukur hidup di negeri ini. Buku Mark Heyward
Crazy Little Heaven (2018) dapat menghibur duka lara bencana karena Indonesia
adalah pesona kepingan surga. (*)

(SUPARTO WIJOYO, Akademisi hukum
lingkungan dan wakil direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga)

MAMUJU dan Majene terguncang gempa susul-menyusul. Jerit tangis dan
lelehan air mata menyerta. Peristiwanya membekaskan derita panjang. Puluhan
orang meninggal, beribu-ribu mengungsi, ratusan luka-luka. Kantor gubernur
Sulawesi Barat ambruk. Rumah sakit, hotel, dan beratus-ratus rumah warga rusak.
Sungguh nestapanya tak terperikan.

Jiwa raga dan harta benda
terserak akibat gempa berkekuatan magnitudo 6,2. Kesetiakawanan sosial semakin
diuji saat kelam belum beranjak dari banjir di Kalimantan Selatan dan tanah
longsor di Sumedang. Gunung Semeru pun kemarin ’’berpartisipasi’’ meluncurkan
awan panas.

Membangun Solidaritas

Gempa 6,2 skala Richter itu
menambah deret hitung kompleksitas bencana hidrometeorologi. Sampai 16 Januari
2021, BNPB mendata 136 bencana alam. Sepanjang 2020, BNPB telah merekap bencana
sebanyak 2.939 kejadian. Berupa 16 gempa bumi, 7 erupsi gunung api, 326
karhutla, 29 kekeringan, 1.070 banjir, 575 tanah longsor, 879 puting beliung,
dan 36 gelombang pasang. Bencana ini menimbulkan korban 370 meninggal, 39
hilang, 536 luka-luka, 6.441.267 mengungsi, 42.758 rumah hancur, dan 1.542
fasum rusak.

Angka-angkanya amat
mencengangkan. Jejak gempa di Sulbar terekam destruktif sejak tahun 1967 (6,3
SR), 1969 (6,9 SR) dan 1984 (6,7 SR). ’’Kurikulum’’ gempa di Sumatera secara
historis mengungkapkan: 26 Desember 2004 Aceh terkena gempa dahsyat
bermagnitudo 9,1–9,3; 28 Maret 2005 Aceh dan Sumut terguncang gempa 8,2 SR; 18
Desember 2006 Mandailing Natal tersentak gempa 5,7 SR; 12 September 2007
Bengkulu luluh oleh gempa 7,9 SR yang melengkapi kepiluan Sumbar saat 6 Maret
2007 digoyang gempa 5,8–6,4 SR.

Lalu, pada 30 September 2009
lepas pantai Sumbar menyuguhkan gempa 7,6 SR dan 25 Oktober 2010 Mentawai
dientak gempa 7,7 SR. Lantas, Sinabung terkena gempa 7,8 SR pada 7 April 2010.
Jeda sebentar, pantai barat Sumbar dihantam gempa 8,6 SR pada 11 April 2012.
Pada 2 Juli 2013 Aceh dihampiri gempa dengan ’’sapaan’’ 6,1 SR dan di 2 Juni
2016 Sumbar mengalami gempa lagi 6,5 SR.

Baca Juga :  Masih Bermanfaatkah Terapi Plasma Konvalesen?

Data tersebut niscaya dapat
menjadi resources ilmu kegempaan dengan segala aspeknya. Gempa dipahami tidak
semata-mata berarti disaster atau catastrophe. Perang Dunia di Eropa tahun 1914
juga dimaknai sebagai bencana kemanusiaan yang hebat, persis yang ditulis oleh
Max Hastings dalam karya besarnya, Catastrophe, Europe Goes to War 1914 (2013).

Terhadap bencana, perilaku publik
amat simpatik. Rintihan menggumpal menjadi lonceng yang gemanya ternyata
mengetuk solidaritas kemanusiaan. Bencana sanggup memupuk kembali persaudaraan
anak bangsa. Fenomenanya membuka ruang optimisme menjadikan gempa sebagai
literasi pembangunan nasional. Gempa membuat negara banyak belajar dan warga
mencoba mendengar suara alam lebih khidmat. Bukankah setiap bencana mengajarkan
bagaimana menata relasi ekologis antara manusia dan lingkungan secara tepat?

Road Map Kegempaan

Tercatat 157 juta jiwa rakyat
Indonesia tinggal di daerah rawan gempa. Angka yang mendengungkan lolong
kekhawatiran yang mengerikan apabila tidak segera ditangani. Ratusan juta jiwa
yang terancam gempa merupakan nyawa yang harus diselamatkan. Negara dengan
segala alat kelengkapannya memiliki otoritas untuk menjaga warganya terhindar
dari bencana.

Gempa di Sulbar merupakan
peristiwa yang amat melelahkan fisik-psikis yang dapat mengguncang khalayak.
Bencana yang beraspek ekologis ternyata sangat merugikan dan membutuhkan solusi
mitigasi bencana. UUD 1945 memberikan mandat konstitusional kepada organ negara
untuk bertindak mengatasi bencana, bahkan sebelum bencana itu datang.

Pemerintah wajib mengoptimalkan
instrumen seperti yang diamanatkan hukum penanggulangan bencana. Pemanfaatan
teknologi sistem peringatan dini dan menumbuhkembangkan respons masyarakat agar
terus meningkat. Dalam literasi pengelolaan bencana ada pesan kultural dalam
ajaran ’’tanggap ing sasmito’’. Negara wajib meredesain kawasan permukiman
dengan membuat road map kegempaan dan mengonstruksi infrastruktur yang sesuai
dengan kondisi alamnya.

Baca Juga :  Kebingungan Pajak Indonesia

Penduduk diajari kembali mau
menyapa alam. Mereka yang berada dalam zona rawan bencana akan sigap melakukan
mitigasi karena telah lama mengakrabi alam. Desa tangguh bencana diperkuat dan
skema beradaptasi dengan realitas lingkungan selalu dipetakan.

Road map kebencanaan dengan
seruan mitigasi ini secara tematik terinspirasi oleh ’’narasi sosok energik’’
di kisah dalam epos La Galigo. Menurut Sirtjo Koolhof, inilah epos terpanjang
dalam sastra dunia dengan jumlah baris 225.000. Sebagai ’’jalan cahaya’’ dalam
menyikapi bencana, saya kutipkan La Galigo sesuai bait naskah NBG 188 Jilid I
yang mengandung arti: Biarlah kita berjalan terus, We Datu Sengngeng/Apakah
kita akan mati atau hidup dalam perjalanan/Berjalanlah lagi anak-anak dua kakak
beradik/Mereka menuruni lembah/Mendaki perbukitan.

Belajar dari naskah La Galigo
terpaut pula pada referensi tua Desa Warnnana alias Nagara Krtagama karya Empu
Prapanca (1365) dan Kakawin Sutasoma kreasi Empu Tantular (1389). Pustaka
klasik itu mengajarkan bahwa mengatasi bencana harus diawali dari tingkat
wilayah negara terkecil, yaitu desa. Setiap kampong di Aceh, desa di Jawa, dan
nagari di Sumatera diformulasi memiliki peta kegempaan. Artinya, pada jengkal
teritori negara, terdapat papan informasi manajemen bencana sedasar dengan
status alamnya.

Dalam batas ini, resolusi
kebencanaan adalah opsi tunggal membangun wilayah berkeselamatan di desa
tangguh bencana. Tetaplah bersyukur hidup di negeri ini. Buku Mark Heyward
Crazy Little Heaven (2018) dapat menghibur duka lara bencana karena Indonesia
adalah pesona kepingan surga. (*)

(SUPARTO WIJOYO, Akademisi hukum
lingkungan dan wakil direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga)

Terpopuler

Artikel Terbaru