30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Pasal Penghinaan Presiden di KUHP Baru Berpotensi Memberangus Demokras

DRAF Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah
diselesaikan. Pemerintah yang diwakili oleh Menkumham dan DPR sepakat
Undang-Undang itu akan disahkan pada rapat paripurna akhir September 2019.

Namun dari beberapa pasal yang
direvisi muncul sejumlah polemik. Salah satunya yang dianggap berbahaya adalah
Pasal 218 ayat 1. Isinya: Setiap orang di muka umum yang menyerang kehormatan
atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden bisa dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak
Kategori IV atau sebesar Rp 200 juta.

Sementara Pasal 219 menyebut,
setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau
gambar yang dianggap menyerang kehormatan dan martabat presiden dan wakil
presiden di depan publik terancam hukuman paling lama empat tahun enam bulan
atau denda paling banyak kategori IV, yakni maksimal Rp150 juta.

Baca Juga :  Penderita ISPA di Daerah Terdampak Karhutla Terus Bertambah

Menanggapi hal tersebut, pakar
hukum tata negara dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri
Amsari mengatakan, pasal penghinaan presiden pernah dihapus oleh Mahakamah
Konstitusi (MK) pada 2006 silam. Namun saat ini kenapa dihidupkan lagi.

“Harusnya pasal-pasal yang
menurut MK melanggar tidak bisa dihidupkan lagi melalui undang-undang yang
baru,” ujar Feri Amsari kepada wartawan, Kamis (19/9).

(Baca juga: Awas!
Penghina Presiden Bakal Dipenjara 3 Tahun, Penyebar Hinaan 4,5 Tahun
)

Oleh sebab itu Feri menilai
adanya, pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden ini akan rentan
‘memberangus’ kebebasan berdemokrasi. Sebab, nantinya masyarakat yang mengritik
kepala negara, maka bisa terkena ancaman hukuman pidana.

“Pasal ini sangat mungkin membuat
masyarakat dan presidennya saling berhadap-hadpaan. Jadi DPR tidak mencoba-coba
memasukkanya lagi,” tuturnya.

Baca Juga :  Bomber Perempuan Gereja Katedral Makasar Baru Didoktrin 6 Bulan

Feri juga menuturkan, pasal 218
dan 219 di KUHP hasil revisian itu dianggap karet dan berbahaya bagi kebebasan
berdemokrasi yang sudah dibangun lama di Indonesia ini.

“Media yang coba melakukan kritik
terhadap pemerintah pun bukan tidak mungkin akan menjadi korban dari pasal
kontroversial ini,” paparnya. (JPC/KPC)

DRAF Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah
diselesaikan. Pemerintah yang diwakili oleh Menkumham dan DPR sepakat
Undang-Undang itu akan disahkan pada rapat paripurna akhir September 2019.

Namun dari beberapa pasal yang
direvisi muncul sejumlah polemik. Salah satunya yang dianggap berbahaya adalah
Pasal 218 ayat 1. Isinya: Setiap orang di muka umum yang menyerang kehormatan
atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden bisa dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak
Kategori IV atau sebesar Rp 200 juta.

Sementara Pasal 219 menyebut,
setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau
gambar yang dianggap menyerang kehormatan dan martabat presiden dan wakil
presiden di depan publik terancam hukuman paling lama empat tahun enam bulan
atau denda paling banyak kategori IV, yakni maksimal Rp150 juta.

Baca Juga :  Penderita ISPA di Daerah Terdampak Karhutla Terus Bertambah

Menanggapi hal tersebut, pakar
hukum tata negara dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri
Amsari mengatakan, pasal penghinaan presiden pernah dihapus oleh Mahakamah
Konstitusi (MK) pada 2006 silam. Namun saat ini kenapa dihidupkan lagi.

“Harusnya pasal-pasal yang
menurut MK melanggar tidak bisa dihidupkan lagi melalui undang-undang yang
baru,” ujar Feri Amsari kepada wartawan, Kamis (19/9).

(Baca juga: Awas!
Penghina Presiden Bakal Dipenjara 3 Tahun, Penyebar Hinaan 4,5 Tahun
)

Oleh sebab itu Feri menilai
adanya, pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden ini akan rentan
‘memberangus’ kebebasan berdemokrasi. Sebab, nantinya masyarakat yang mengritik
kepala negara, maka bisa terkena ancaman hukuman pidana.

“Pasal ini sangat mungkin membuat
masyarakat dan presidennya saling berhadap-hadpaan. Jadi DPR tidak mencoba-coba
memasukkanya lagi,” tuturnya.

Baca Juga :  Bomber Perempuan Gereja Katedral Makasar Baru Didoktrin 6 Bulan

Feri juga menuturkan, pasal 218
dan 219 di KUHP hasil revisian itu dianggap karet dan berbahaya bagi kebebasan
berdemokrasi yang sudah dibangun lama di Indonesia ini.

“Media yang coba melakukan kritik
terhadap pemerintah pun bukan tidak mungkin akan menjadi korban dari pasal
kontroversial ini,” paparnya. (JPC/KPC)

Terpopuler

Artikel Terbaru