30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Pengakuan Jaksa Agung M. Prasetyo, Bantah Jadi Alat Politik

Jaksa Agung M.
Prasetyo merasa tidak pernah ditegur presiden atau wakil presiden dalam
menjalankan tugas penegakan hukum. Karena itu, dia merasa heran jabatannya dipersoalkan
partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja (KIK).

“Saya merasa heran
saja. Mengapa saat ini baru dipersoalkan,” kata M. Prasetyo saat ditemui seusai
pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo di Ruang Paripurna I DPR, Senayan,
Jakarta, kemarin (16/8).

KIK adalah koalisi
yang mendukung pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin dalam Pemilihan
Presiden 2019. Nasdem, partai tempat Prasetyo bernaung sebelum menduduki
jabatan jaksa agung, termasuk di dalamnya.

Jaksa Agung, kata Prasetyo,
adalah jabatan politis. Dalam sejarahnya, papar dia, tidak ada seorang Jaksa
Agung pun yang tidak didukung partai politik. Termasuk dirinya.

“Namun, sebelum saya
dilantik sebagai jaksa agung, Nasdem langsung memberhentikan saya. Lalu,
masalahnya apa?” kata mantan jaksa agung muda pidana umum (Jampidum) itu.

Prasetyo mengeklaim,
selama memimpin Kejaksaan Agung, dirinya selalu menindak pelaku kejahatan tanpa
pandang bulu. “Bahkan, kader Nasdem pun saya penjarakan,” kata dia tanpa
menyebutkan siapa nama kader Nasdem yang dimaksud tersebut.

Prasetyo menyebutkan
beberapa contoh kasus kader Nasdem yang diproses kejaksaan. Di antaranya kasus
korupsi dan tindak pidana pencucian uang mantan Gubernur Sulawesi Tengah
(Sulteng) HB Paliudju. Yang bersangkutan adalah mantan ketua Dewan Pembina DPW
Partai Nasdem Sulteng.

Baca Juga :  Ini Daftar 16 Hari Libur Nasional Tahun 2022 Mendatang

Ada juga kasus caleg
terpilih Nasdem di Kabupaten Gresik, Jawa Timur (Jatim). Caleg Nasdem bernama
Mahmud itu ditahan kejaksaan atas kasus penipuan dan penggelapan penjualan
tanah di Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik.

Jokowi telah
menegaskan bahwa jaksa agung di kabinet periode 2019-2024 dipilih dari unsur
nonparpol. Dan, rencana itu didukung banyak pihak.

Salah satunya dari
Komisioner Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak. Menurut dia, keinginan presiden
tersebut sangat tepat. Namun, perlu ada masukan yang bisa membuat keputusan itu
menjadi lebih baik.

Salah satunya, perlu
dipertimbangkan calon jaksa agung dari internal kejaksaan. “Karena
karakteristik kejaksaan itu memerlukan orang yang berpengalaman dalam tugas
teknis dan memahami kewenangannya,” paparnya.

Politikus PDIP Effendi
Simbolon juga menyebut Kejaksaan Agung memang sebaiknya lepas dari kepentingan
semua partai. Harus murni independen. Tidak boleh terafiliasi dengan parpol.
“Jaksa agung harus dari profesional. Jangan ada embel-embel kader partai. Harus
waspadai juga titipan partai,” kata Effendi.

Baca Juga :  Ini Bocoran tentang Evaluasi UN dari Menteri Nadiem

Selama ini, papar dia,
semua partai di KIK -termasuk PDIP- meminta Nasdem tidak mengincar kursi
tersebut. “Semua partai meminta itu. Tujuannya, penegakan hukum bagus,” tutur
Effendi.

Terkait penilaian
bahwa jaksa agung selama masa kepemimpinannya cenderung dijadikan alat politik
Nasdem untuk menekan kepala daerah, Prasetyo langsung menampik. Dia
mengungkapkan, penilaian tersebut sangat keliru. Jauh dari kebenaran. Dia balik
menuding pihak tersebut memiliki agenda tertentu terkait posisinya sebagai
Jakgung di pemerintahan Jokowi-JK.

Prasetyo juga mengaku
telah mendengar pernyataan Jokowi yang menginginkan jaksa agung dari luar
parpol. Namun, dia memilih tidak menanggapi. “Saya tidak punya respons apa-apa.
Tidak masalah,” ujarnya, lalu tertawa.

Kepala Staf
Kepresidenan Jenderal (pur) Moeldoko hanya menjawab diplomatis saat didesak
apakah jaksa dari partai membuat integritas penegakan hukum terganggu. “Ah,
kayaknya udah bisa jawab sendiri,” tuturnya, lantas tertawa.

Sementara itu, Ketua
Umum Nasdem Surya Paloh mengaku sama sekali tidak punya kepentingan dengan
sosok jaksa agung yang nanti ditunjuk presiden. Dari mana pun sosok tersebut,
ujar dia, asalkan sesuai dengan keinginan Jokowi. “Saya tidak pernah
menyodorkan nama. Tidak ada yang salah,” katanya.(jpg)

 

Jaksa Agung M.
Prasetyo merasa tidak pernah ditegur presiden atau wakil presiden dalam
menjalankan tugas penegakan hukum. Karena itu, dia merasa heran jabatannya dipersoalkan
partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja (KIK).

“Saya merasa heran
saja. Mengapa saat ini baru dipersoalkan,” kata M. Prasetyo saat ditemui seusai
pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo di Ruang Paripurna I DPR, Senayan,
Jakarta, kemarin (16/8).

KIK adalah koalisi
yang mendukung pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin dalam Pemilihan
Presiden 2019. Nasdem, partai tempat Prasetyo bernaung sebelum menduduki
jabatan jaksa agung, termasuk di dalamnya.

Jaksa Agung, kata Prasetyo,
adalah jabatan politis. Dalam sejarahnya, papar dia, tidak ada seorang Jaksa
Agung pun yang tidak didukung partai politik. Termasuk dirinya.

“Namun, sebelum saya
dilantik sebagai jaksa agung, Nasdem langsung memberhentikan saya. Lalu,
masalahnya apa?” kata mantan jaksa agung muda pidana umum (Jampidum) itu.

Prasetyo mengeklaim,
selama memimpin Kejaksaan Agung, dirinya selalu menindak pelaku kejahatan tanpa
pandang bulu. “Bahkan, kader Nasdem pun saya penjarakan,” kata dia tanpa
menyebutkan siapa nama kader Nasdem yang dimaksud tersebut.

Prasetyo menyebutkan
beberapa contoh kasus kader Nasdem yang diproses kejaksaan. Di antaranya kasus
korupsi dan tindak pidana pencucian uang mantan Gubernur Sulawesi Tengah
(Sulteng) HB Paliudju. Yang bersangkutan adalah mantan ketua Dewan Pembina DPW
Partai Nasdem Sulteng.

Baca Juga :  Ini Daftar 16 Hari Libur Nasional Tahun 2022 Mendatang

Ada juga kasus caleg
terpilih Nasdem di Kabupaten Gresik, Jawa Timur (Jatim). Caleg Nasdem bernama
Mahmud itu ditahan kejaksaan atas kasus penipuan dan penggelapan penjualan
tanah di Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik.

Jokowi telah
menegaskan bahwa jaksa agung di kabinet periode 2019-2024 dipilih dari unsur
nonparpol. Dan, rencana itu didukung banyak pihak.

Salah satunya dari
Komisioner Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak. Menurut dia, keinginan presiden
tersebut sangat tepat. Namun, perlu ada masukan yang bisa membuat keputusan itu
menjadi lebih baik.

Salah satunya, perlu
dipertimbangkan calon jaksa agung dari internal kejaksaan. “Karena
karakteristik kejaksaan itu memerlukan orang yang berpengalaman dalam tugas
teknis dan memahami kewenangannya,” paparnya.

Politikus PDIP Effendi
Simbolon juga menyebut Kejaksaan Agung memang sebaiknya lepas dari kepentingan
semua partai. Harus murni independen. Tidak boleh terafiliasi dengan parpol.
“Jaksa agung harus dari profesional. Jangan ada embel-embel kader partai. Harus
waspadai juga titipan partai,” kata Effendi.

Baca Juga :  Ini Bocoran tentang Evaluasi UN dari Menteri Nadiem

Selama ini, papar dia,
semua partai di KIK -termasuk PDIP- meminta Nasdem tidak mengincar kursi
tersebut. “Semua partai meminta itu. Tujuannya, penegakan hukum bagus,” tutur
Effendi.

Terkait penilaian
bahwa jaksa agung selama masa kepemimpinannya cenderung dijadikan alat politik
Nasdem untuk menekan kepala daerah, Prasetyo langsung menampik. Dia
mengungkapkan, penilaian tersebut sangat keliru. Jauh dari kebenaran. Dia balik
menuding pihak tersebut memiliki agenda tertentu terkait posisinya sebagai
Jakgung di pemerintahan Jokowi-JK.

Prasetyo juga mengaku
telah mendengar pernyataan Jokowi yang menginginkan jaksa agung dari luar
parpol. Namun, dia memilih tidak menanggapi. “Saya tidak punya respons apa-apa.
Tidak masalah,” ujarnya, lalu tertawa.

Kepala Staf
Kepresidenan Jenderal (pur) Moeldoko hanya menjawab diplomatis saat didesak
apakah jaksa dari partai membuat integritas penegakan hukum terganggu. “Ah,
kayaknya udah bisa jawab sendiri,” tuturnya, lantas tertawa.

Sementara itu, Ketua
Umum Nasdem Surya Paloh mengaku sama sekali tidak punya kepentingan dengan
sosok jaksa agung yang nanti ditunjuk presiden. Dari mana pun sosok tersebut,
ujar dia, asalkan sesuai dengan keinginan Jokowi. “Saya tidak pernah
menyodorkan nama. Tidak ada yang salah,” katanya.(jpg)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru