30.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Daerah Terdampak Kekeringan Meluas, Pemerintah Siapkan Hujan Buatan

Kemarau tahun ini
sungguh mengkhawatirkan. Makin banyak daerah di Indonesia yang mengalami
kekeringan. Sektor pertanian terancam. Suplai air bersih pun menipis. Fenomena
alam tersebut direspons sangat serius oleh pemerintah pusat.

Bahkan, Presiden Joko
Widodo sampai memimpin sendiri rapat terbatas (ratas) untuk membahas masalah
tersebut kemarin (15/7).

Dalam ratas di istana
kepresidenan, Jakarta, itu, muncul opsi agar pemerintah menerapkan teknologi
modifikasi cuaca untuk menciptakan hujan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) telah ditunjuk untuk mempersiapkan teknis pembuatan hujan buatan
tersebut. “Sesuai arahan Bapak Presiden, BNPB akan menyiapkan segala sesuatu
yang berhubungan dengan bantuan hujan buatan,” tegas Kepala BNPB Letjen Doni
Monardo.

Doni menjelaskan,
dampak kekeringan saat ini sudah meluas. Berdasar catatan pihaknya, ada 1.963
desa di 79 kabupaten yang terdampak. Daerah sebanyak itu tersebar di sepanjang
Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, sampai Nusa Tenggara Timur. Hingga
kemarin, BNPB sudah mendapatkan beberapa permohonan dari kepala daerah untuk
pembuatan hujan buatan.

Terkait wilayah mana
yang akan segera diguyuri dengan hujan buatan, jenderal bintang tiga itu belum
bisa memastikan. Sebab, teknologi modifikasi cuaca sangat bergantung pada cuaca
dan ketersediaan awan. Jika tidak ada awan, hujan buatan sulit direalisasikan.
“Apabila awannya masih tersedia, sangat mungkin hujan buatan dilaku­kan,”
imbuhnya.

Untuk menjalankan
tugas tersebut, BNPB berkoordinasi dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), serta mabes
TNI. Jika sudah ada pemetaan, Doni menargetkan hujan buatan bisa dilaksanakan
secepatnya.

Dalam ratas itu juga
disebutkan bahwa pemerintah sudah menyiapkan program jangka panjang untuk
meminimalkan dampak kekeringan. Yakni, menyiapkan program pembibitan pohon yang
bisa menjaga ketersediaan air. Di antaranya adalah pohon sukun dan pohon aren.
“Sehingga, ketika terjadi kemarau panjang, sumber air di desa masih bisa
terjaga,” tuturnya.

Baca Juga :  Pasien Positif Covid-19 Tak Boleh Lagi Dirawat di Rumah

Joko Widodo sendiri
menekankan jajarannya untuk melakukan upaya mitigasi menghadapi dampak kekeringan.
Pasalnya, berdasar informasi yang dia terima, kondisi akan semakin
mengkhawatirkan pada dua bulan mendatang. “Saya dapat laporan dari BMKG bahwa
mu­sim kemarau tahun ini akan lebih kering dan mencapai puncaknya pada Agustus
sampai September,” katanya.

Beberapa daerah di
Indonesia, menurut Jokowi, sudah mengalami keadaan tanpa hujan de­ngan rentang
waktu yang bervariasi. Mulai 21 hari tanpa hujan atau berstatus waspada, 31
hari tanpa hujan atau berstatus siaga, hingga 61 hari tanpa hujan atau
berstatus awas. “Terjadi di beberapa provinsi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Jogja­karta, Bali, NTB, NTT,” paparnya.

Karena itu, Jokowi
meminta para menteri, kepala lembaga, dan gubernur untuk turun ke lapangan dan
segera melakukan langkah-langkah antisipasi. “Dicek suplai air, baik suplai air
bersih maupun suplai air untuk pertanian, agar pasokan air terjaga dan risiko
gagal panen bisa dihindari. Kalau perlu, kita lakukan modifikasi cuaca,
pembangunan sumur bor,” terangnya.

Menteri Desa dan PDTT
Eko Putro Sandjojo mengatakan, potensi kekeringan di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara
bisa berdampak besar ke sektor pertanian. Menurut dia, ada 3,7 juta hektare
area pertanian yang bisa terdampak. “Itu impactnya bisa sekitar Rp 3 triliun,”
ujarnya. Karena itu, dia berharap hujan buatan segera direalisasikan. “Dengan
hujan buatan, mungkin kita bisa minimize kerugiannya,” imbuhnya.

Sementara itu, Menteri
Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita memastikan jajarannya sudah melakukan
antisipasi terhadap dampak kekeringan. Yakni, dengan menyediakan bantuan air.
“Kita juga bisa membantu pengadaan air dan mengirimkan tangki-tangki atau
truk-truk air,” ujarnya. Namun, dia menyebut bahwa kondisi saat ini relatif
terkendali. Yang perlu dilakukan adalah menyiapkan upaya mitigasi jelang puncak
kemarau bulan depan. “Kalau ada bencana, ya SOP kita menangani bencana kan
sudah jelas. Yang harus dipastikan adalah ketersediaan logistik, ketersediaan
makanan,” tuturnya.

Baca Juga :  Menko Airlangga: Program Kartu Prakerja Bantu Pulihkan Ekonomi

Meski demikian, hujan
buatan tidak bisa serta-merta dilakukan. Kabid Diseminasi Informasi Iklim &
Kualitas Udara BMKG Hary Tirto Djatmiko mengungkapkan, tidak semua daerah di
Indonesia memiliki kondisi atmosfer yang ideal untuk melakukan modifikasi awan.
“Secara umum, yang kondisi atmosfernya ideal itu Sumatera dan Kali­man­tan,”
katanya.

Sedangkan wilayah
Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara memiliki sifat atmosfer yang kurang ideal untuk
hujan buatan. Hary meng­atakan, potensi curah hujan di atas Jawa, Bali, dan
Nusra sangat rendah dengan jumlah awan yang sedikit. “Syarat utama dilakukan
modifikasi cuaca harus ada awan. Di samping parameter cuaca lainnya terpenuhi
seperti suhu, kelembapan, pola tekanan udara, angin,” paparnya.

Karena itu, Hary
mengatakan bahwa di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, BMKG lebih merekomendasikan
untuk menyiapkan cadangan penampungan air, truk-truk tangki yang siap
beroperasi, posko kesiapsiagaan, serta menanam tanaman yang tahan kekeringan.

Kepala Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengakui bahwa teknologi
modifikasi cuaca cukup sulit. Sebab, wilayah Pulau Jawa, Bali, hingga Nusa
Tenggara Barat dan Timur sudah memasuki puncak musim kemarau. Praktis,
kemunculan awan memang sangat jarang. Hanya, kata Hammam, tidak ada salahnya
dicoba. “Selama musim kemarau, ada kalanya dinamika atmosfer memungkinkan
terbentuknya awan,” terangnya. Menurut dia, waktu yang tepat untuk teknologi
modifikasi cuaca adalah saat masa transisi. Antara April hingga Mei.(jpg)

 

Kemarau tahun ini
sungguh mengkhawatirkan. Makin banyak daerah di Indonesia yang mengalami
kekeringan. Sektor pertanian terancam. Suplai air bersih pun menipis. Fenomena
alam tersebut direspons sangat serius oleh pemerintah pusat.

Bahkan, Presiden Joko
Widodo sampai memimpin sendiri rapat terbatas (ratas) untuk membahas masalah
tersebut kemarin (15/7).

Dalam ratas di istana
kepresidenan, Jakarta, itu, muncul opsi agar pemerintah menerapkan teknologi
modifikasi cuaca untuk menciptakan hujan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) telah ditunjuk untuk mempersiapkan teknis pembuatan hujan buatan
tersebut. “Sesuai arahan Bapak Presiden, BNPB akan menyiapkan segala sesuatu
yang berhubungan dengan bantuan hujan buatan,” tegas Kepala BNPB Letjen Doni
Monardo.

Doni menjelaskan,
dampak kekeringan saat ini sudah meluas. Berdasar catatan pihaknya, ada 1.963
desa di 79 kabupaten yang terdampak. Daerah sebanyak itu tersebar di sepanjang
Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, sampai Nusa Tenggara Timur. Hingga
kemarin, BNPB sudah mendapatkan beberapa permohonan dari kepala daerah untuk
pembuatan hujan buatan.

Terkait wilayah mana
yang akan segera diguyuri dengan hujan buatan, jenderal bintang tiga itu belum
bisa memastikan. Sebab, teknologi modifikasi cuaca sangat bergantung pada cuaca
dan ketersediaan awan. Jika tidak ada awan, hujan buatan sulit direalisasikan.
“Apabila awannya masih tersedia, sangat mungkin hujan buatan dilaku­kan,”
imbuhnya.

Untuk menjalankan
tugas tersebut, BNPB berkoordinasi dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), serta mabes
TNI. Jika sudah ada pemetaan, Doni menargetkan hujan buatan bisa dilaksanakan
secepatnya.

Dalam ratas itu juga
disebutkan bahwa pemerintah sudah menyiapkan program jangka panjang untuk
meminimalkan dampak kekeringan. Yakni, menyiapkan program pembibitan pohon yang
bisa menjaga ketersediaan air. Di antaranya adalah pohon sukun dan pohon aren.
“Sehingga, ketika terjadi kemarau panjang, sumber air di desa masih bisa
terjaga,” tuturnya.

Baca Juga :  Pasien Positif Covid-19 Tak Boleh Lagi Dirawat di Rumah

Joko Widodo sendiri
menekankan jajarannya untuk melakukan upaya mitigasi menghadapi dampak kekeringan.
Pasalnya, berdasar informasi yang dia terima, kondisi akan semakin
mengkhawatirkan pada dua bulan mendatang. “Saya dapat laporan dari BMKG bahwa
mu­sim kemarau tahun ini akan lebih kering dan mencapai puncaknya pada Agustus
sampai September,” katanya.

Beberapa daerah di
Indonesia, menurut Jokowi, sudah mengalami keadaan tanpa hujan de­ngan rentang
waktu yang bervariasi. Mulai 21 hari tanpa hujan atau berstatus waspada, 31
hari tanpa hujan atau berstatus siaga, hingga 61 hari tanpa hujan atau
berstatus awas. “Terjadi di beberapa provinsi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Jogja­karta, Bali, NTB, NTT,” paparnya.

Karena itu, Jokowi
meminta para menteri, kepala lembaga, dan gubernur untuk turun ke lapangan dan
segera melakukan langkah-langkah antisipasi. “Dicek suplai air, baik suplai air
bersih maupun suplai air untuk pertanian, agar pasokan air terjaga dan risiko
gagal panen bisa dihindari. Kalau perlu, kita lakukan modifikasi cuaca,
pembangunan sumur bor,” terangnya.

Menteri Desa dan PDTT
Eko Putro Sandjojo mengatakan, potensi kekeringan di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara
bisa berdampak besar ke sektor pertanian. Menurut dia, ada 3,7 juta hektare
area pertanian yang bisa terdampak. “Itu impactnya bisa sekitar Rp 3 triliun,”
ujarnya. Karena itu, dia berharap hujan buatan segera direalisasikan. “Dengan
hujan buatan, mungkin kita bisa minimize kerugiannya,” imbuhnya.

Sementara itu, Menteri
Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita memastikan jajarannya sudah melakukan
antisipasi terhadap dampak kekeringan. Yakni, dengan menyediakan bantuan air.
“Kita juga bisa membantu pengadaan air dan mengirimkan tangki-tangki atau
truk-truk air,” ujarnya. Namun, dia menyebut bahwa kondisi saat ini relatif
terkendali. Yang perlu dilakukan adalah menyiapkan upaya mitigasi jelang puncak
kemarau bulan depan. “Kalau ada bencana, ya SOP kita menangani bencana kan
sudah jelas. Yang harus dipastikan adalah ketersediaan logistik, ketersediaan
makanan,” tuturnya.

Baca Juga :  Menko Airlangga: Program Kartu Prakerja Bantu Pulihkan Ekonomi

Meski demikian, hujan
buatan tidak bisa serta-merta dilakukan. Kabid Diseminasi Informasi Iklim &
Kualitas Udara BMKG Hary Tirto Djatmiko mengungkapkan, tidak semua daerah di
Indonesia memiliki kondisi atmosfer yang ideal untuk melakukan modifikasi awan.
“Secara umum, yang kondisi atmosfernya ideal itu Sumatera dan Kali­man­tan,”
katanya.

Sedangkan wilayah
Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara memiliki sifat atmosfer yang kurang ideal untuk
hujan buatan. Hary meng­atakan, potensi curah hujan di atas Jawa, Bali, dan
Nusra sangat rendah dengan jumlah awan yang sedikit. “Syarat utama dilakukan
modifikasi cuaca harus ada awan. Di samping parameter cuaca lainnya terpenuhi
seperti suhu, kelembapan, pola tekanan udara, angin,” paparnya.

Karena itu, Hary
mengatakan bahwa di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, BMKG lebih merekomendasikan
untuk menyiapkan cadangan penampungan air, truk-truk tangki yang siap
beroperasi, posko kesiapsiagaan, serta menanam tanaman yang tahan kekeringan.

Kepala Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengakui bahwa teknologi
modifikasi cuaca cukup sulit. Sebab, wilayah Pulau Jawa, Bali, hingga Nusa
Tenggara Barat dan Timur sudah memasuki puncak musim kemarau. Praktis,
kemunculan awan memang sangat jarang. Hanya, kata Hammam, tidak ada salahnya
dicoba. “Selama musim kemarau, ada kalanya dinamika atmosfer memungkinkan
terbentuknya awan,” terangnya. Menurut dia, waktu yang tepat untuk teknologi
modifikasi cuaca adalah saat masa transisi. Antara April hingga Mei.(jpg)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru