33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Akhlak Kepemimpinan

PANDEMI Covid-19 tidak hanya mengancam kesehatan dan keselamatan
jiwa manusia. Lebih dari itu, musim pandemi juga berdampak pada kehidupan
sosial, ekonomi, bahkan politik. Karena itulah, banyak pihak yang mengingatkan
agar pemerintah lebih fokus menangani masalah pandemi.

Jika pemerintah gagal fokus
menentukan prioritas, musim pandemi dapat mengakibatkan dampak sosial ekonomi
yang lebih besar. Salah satunya adalah terjadinya ontran-ontran (huru-hara atau
keonaran).

Peristiwa ontran-ontran akan
menjadi kenyataan jika kondisi ekonomi rakyat terus memburuk. Kondisi itu pasti
berakibat pada peningkatan jumlah angka pengangguran dan kemiskinan. Dalam
kondisi kelaparan, orang akan mudah terbakar emosi karena tidak memiliki banyak
pilihan. Yang dikhawatirkan banyak kalangan tentu jika dampak sosial ekonomi
musim pandemi merembet ke panggung politik. Dampak yang paling mengerikan
adalah jika terjadi pandemi politik.

Persoalan pandemi politik itulah
yang harus diantisipasi sejak dini. Agar dampak musim pandemi tidak semakin
luas, dibutuhkan kepemimpinan yang kuat (powerful).
Kepemimpinan yang kuat meniscayakan kemampuan untuk mengoordinasikan kebijakan
pemerintah pusat dan daerah. Hal itu penting karena selama musim pandemi
persoalan koordinasi kepemimpinan masih menjadi titik lemah. Setiap level
kepemimpinan seperti berjalan sendiri-sendiri.

Dampaknya, muncul banyak
kebijakan yang tumpang-tindih, bahkan saling bertabrakan, antarlevel
kepemimpinan di pemerintahan. Selain persoalan koordinasi, kepemimpinan yang
kuat mensyaratkan kemampuan untuk mengelola konflik yang terjadi antarelite.

Harus diakui, ketegangan
antarelite akhir-akhir ini terus meningkat. Jika ketegangan antarelite terus
terjadi, akibatnya dapat meluas hingga ke basis massa. Apalagi, ruang dialog
antarelite untuk saling mendengar kini terasa tertutup rapat.

Suara elite agama yang terhimpun
di berbagai ormas keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama juga
nyaris tidak didengar. Usul penundaan pemilihan umum kepala daerah (pilkada)
serentak hingga kondisi pandemi melandai seperti angin lalu.

Masukan berbagai kalangan
terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja juga tidak
terakomodasi dengan baik. Dengan pendekatan demokrasi kuantitas DPR seperti
kejar tayang untuk mengesahkan UU omnibus law. Padahal, secara prosedur dan
substansi RUU tersebut masih memantik perdebatan.

Baca Juga :  Nangis Tes

Pertanyaannya, jika suara pilar
civil society yang nir kepentingan politik-kekuasaan diabaikan, kepada siapa
lagi elite negeri ini mau mendengar? Pada konteks itulah Ketua Umum Pimpinan
Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengilustrasikan bahwa elite negeri sedang
mengalami lockdown nurani politik. Elite politik nyaris kehilangan nurani
sehingga mengakibatkan bebal kuasa. Mereka dininabobokan pesona dunia. Tuhan
pun mengunci hati mereka yang nir kebenaran. Dalam kondisi itu, jangankan suara
rakyat, suara Tuhan pun tidak akan didengar.

Pemerintah juga tidak seharusnya
mereaksi kritik secara berlebihan. Apalagi dengan menghabiskan dana besar untuk
membiayai buzzer atau influencer. Targetnya, para pendengung suara profesional
itu membuat narasi positif terhadap kebijakan pemerintah. Pemanfaatan jasa
pendengung suara justru kontraproduktif karena masyarakat semakin melek
informasi sehingga dapat memilah berita yang benar dan yang pesanan. Pemerintah
cukup menjawab kritik dengan perbaikan kinerja. Tetapi, harus diakui, tidak
mudah menunjukkan kinerja terbaik di tengah pandemi.

Di tengah pandemi inilah komitmen
elite untuk merajut kebersamaan penting diwujudkan. Spirit kebersamaan juga
harus dibangun antara pemimpin dan rakyatnya. Jika belajar dari kepemimpinan
Nabi Muhammad SAW, persoalan kebersamaan pemimpin dan yang dipimpin sangat
penting. Muhammad Husain Haekal dalam Hayatu Muhammad (1999) mengisahkan bahwa
pada bulan Ramadan tahun kedua Hijriah, Nabi Muhammad memimpin pasukan Perang
Badar. Pasukan nabi berkekuatan 305 orang dengan 70 kendaraan unta.

Dengan transportasi yang
terbatas, nabi dan pasukannya bergerak meninggalkan Madinah menuju Badar. Jarak
perjalanan Madinah–Badar diperkirakan 150 kilometer. Mengingat sulitnya medan
dan terbatasnya sarana transportasi, setiap ekor unta harus dinaiki tiga atau
empat orang secara bergantian. Nabi juga mendapatkan perlakuan yang sama dengan
sahabat lain.

Selama perjalanan, para sahabat
beberapa kali menawari nabi dengan kendaraan khusus satu ekor unta. Tawaran itu
ditolak nabi dengan alasan bahwa pada masa sulit yang dibutuhkan adalah
kebersamaan.

Baca Juga :  Ben-Ujang Disebut Mampu Membawa Kalteng Lebih Maju

Teladan nabi penting menjadi
spirit pejabat dan elite negeri. Nabi jelas menunjukkan teladan bahwa tidak
sepantasnya pemimpin meminta fasilitas lebih saat rakyat menghadapi kesulitan
hidup akibat pandemi Covid-19. Tuntutan fasilitas berlebih justru mengakibatkan
tergerusnya kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya (low trust society).
Karena itulah, para pemimpin negeri penting menunjukkan keteladanan. Ketegangan
antarelite juga harus diminimalkan melalui dialog yang dilakukan secara tulus
dan nirprasangka.

Peristiwa Perang Badar juga
menunjukkan pentingnya dukungan rakyat kepada pemimpin. Tatkala pasukan nabi
telah berhadap-hadapan dengan pasukan Quraisy yang berkekuatan hampir 1.000
orang dengan fasilitas transportasi dan senjata yang berlimpah, nabi meminta
pendapat para sahabat. Nabi berseru dengan suara bergetar: ’’Wahai para
sahabat, berikanlah kepadaku saran dan pertimbangan. Apakah kita terus maju
melawan pasukan Quraisy atau sebaliknya?’’

Dalam situasi menegangkan itu,
seorang sahabat dari golongan Muhajirin bernama Miqdad bin Amr maju seraya
berkata: ’’Rasulullah, teruskan apa yang diperintahkan Allah. Kami akan
berjuang bersama tuan. Kami tidak akan bersikap seperti Bani Israil kepada Nabi
Musa yang mengatakan ’Pergilah kamu sendiri bersama Tuhanmu dan
berperanglah’.’’ Komitmen serupa juga ditegaskan Sa’ad bin Mu’adz dari golongan
Anshar. Dukungan sahabat utama terhadap nabi dapat menjadi teladan bagi elite
negeri tercinta.

Komitmen sahabat utama itu
mengajarkan bahwa semua elemen seharusnya memberikan dukungan kepada pemimpin,
siapa pun orangnya dan dari partai mana pun. Tetapi, penting diingatkan,
pemimpin yang didukung harus benar-benar berjuang untuk kepentingan rakyat.
Sebaliknya, rakyat harus mengingatkan pemimpin yang hanya berjuang untuk
keluarga, kelompok, dan partai pendukungnya.

Jika pemimpin dan kelompok elite
gagal mewujudkan kebersamaan untuk mengatasi persoalan yang muncul di tengah
pandemi, bangsa ini berpotensi menjadi negara gagal (failed state). Karena
itulah, seluruh elemen bangsa, terutama kelompok elite dan pilar civil society,
harus bersinergi untuk menyelamatkan negeri tercinta. (*)

(Guru besar Filsafat UIN Sunan
Ampel dan wakil sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur)

PANDEMI Covid-19 tidak hanya mengancam kesehatan dan keselamatan
jiwa manusia. Lebih dari itu, musim pandemi juga berdampak pada kehidupan
sosial, ekonomi, bahkan politik. Karena itulah, banyak pihak yang mengingatkan
agar pemerintah lebih fokus menangani masalah pandemi.

Jika pemerintah gagal fokus
menentukan prioritas, musim pandemi dapat mengakibatkan dampak sosial ekonomi
yang lebih besar. Salah satunya adalah terjadinya ontran-ontran (huru-hara atau
keonaran).

Peristiwa ontran-ontran akan
menjadi kenyataan jika kondisi ekonomi rakyat terus memburuk. Kondisi itu pasti
berakibat pada peningkatan jumlah angka pengangguran dan kemiskinan. Dalam
kondisi kelaparan, orang akan mudah terbakar emosi karena tidak memiliki banyak
pilihan. Yang dikhawatirkan banyak kalangan tentu jika dampak sosial ekonomi
musim pandemi merembet ke panggung politik. Dampak yang paling mengerikan
adalah jika terjadi pandemi politik.

Persoalan pandemi politik itulah
yang harus diantisipasi sejak dini. Agar dampak musim pandemi tidak semakin
luas, dibutuhkan kepemimpinan yang kuat (powerful).
Kepemimpinan yang kuat meniscayakan kemampuan untuk mengoordinasikan kebijakan
pemerintah pusat dan daerah. Hal itu penting karena selama musim pandemi
persoalan koordinasi kepemimpinan masih menjadi titik lemah. Setiap level
kepemimpinan seperti berjalan sendiri-sendiri.

Dampaknya, muncul banyak
kebijakan yang tumpang-tindih, bahkan saling bertabrakan, antarlevel
kepemimpinan di pemerintahan. Selain persoalan koordinasi, kepemimpinan yang
kuat mensyaratkan kemampuan untuk mengelola konflik yang terjadi antarelite.

Harus diakui, ketegangan
antarelite akhir-akhir ini terus meningkat. Jika ketegangan antarelite terus
terjadi, akibatnya dapat meluas hingga ke basis massa. Apalagi, ruang dialog
antarelite untuk saling mendengar kini terasa tertutup rapat.

Suara elite agama yang terhimpun
di berbagai ormas keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama juga
nyaris tidak didengar. Usul penundaan pemilihan umum kepala daerah (pilkada)
serentak hingga kondisi pandemi melandai seperti angin lalu.

Masukan berbagai kalangan
terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja juga tidak
terakomodasi dengan baik. Dengan pendekatan demokrasi kuantitas DPR seperti
kejar tayang untuk mengesahkan UU omnibus law. Padahal, secara prosedur dan
substansi RUU tersebut masih memantik perdebatan.

Baca Juga :  Nangis Tes

Pertanyaannya, jika suara pilar
civil society yang nir kepentingan politik-kekuasaan diabaikan, kepada siapa
lagi elite negeri ini mau mendengar? Pada konteks itulah Ketua Umum Pimpinan
Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengilustrasikan bahwa elite negeri sedang
mengalami lockdown nurani politik. Elite politik nyaris kehilangan nurani
sehingga mengakibatkan bebal kuasa. Mereka dininabobokan pesona dunia. Tuhan
pun mengunci hati mereka yang nir kebenaran. Dalam kondisi itu, jangankan suara
rakyat, suara Tuhan pun tidak akan didengar.

Pemerintah juga tidak seharusnya
mereaksi kritik secara berlebihan. Apalagi dengan menghabiskan dana besar untuk
membiayai buzzer atau influencer. Targetnya, para pendengung suara profesional
itu membuat narasi positif terhadap kebijakan pemerintah. Pemanfaatan jasa
pendengung suara justru kontraproduktif karena masyarakat semakin melek
informasi sehingga dapat memilah berita yang benar dan yang pesanan. Pemerintah
cukup menjawab kritik dengan perbaikan kinerja. Tetapi, harus diakui, tidak
mudah menunjukkan kinerja terbaik di tengah pandemi.

Di tengah pandemi inilah komitmen
elite untuk merajut kebersamaan penting diwujudkan. Spirit kebersamaan juga
harus dibangun antara pemimpin dan rakyatnya. Jika belajar dari kepemimpinan
Nabi Muhammad SAW, persoalan kebersamaan pemimpin dan yang dipimpin sangat
penting. Muhammad Husain Haekal dalam Hayatu Muhammad (1999) mengisahkan bahwa
pada bulan Ramadan tahun kedua Hijriah, Nabi Muhammad memimpin pasukan Perang
Badar. Pasukan nabi berkekuatan 305 orang dengan 70 kendaraan unta.

Dengan transportasi yang
terbatas, nabi dan pasukannya bergerak meninggalkan Madinah menuju Badar. Jarak
perjalanan Madinah–Badar diperkirakan 150 kilometer. Mengingat sulitnya medan
dan terbatasnya sarana transportasi, setiap ekor unta harus dinaiki tiga atau
empat orang secara bergantian. Nabi juga mendapatkan perlakuan yang sama dengan
sahabat lain.

Selama perjalanan, para sahabat
beberapa kali menawari nabi dengan kendaraan khusus satu ekor unta. Tawaran itu
ditolak nabi dengan alasan bahwa pada masa sulit yang dibutuhkan adalah
kebersamaan.

Baca Juga :  Ben-Ujang Disebut Mampu Membawa Kalteng Lebih Maju

Teladan nabi penting menjadi
spirit pejabat dan elite negeri. Nabi jelas menunjukkan teladan bahwa tidak
sepantasnya pemimpin meminta fasilitas lebih saat rakyat menghadapi kesulitan
hidup akibat pandemi Covid-19. Tuntutan fasilitas berlebih justru mengakibatkan
tergerusnya kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya (low trust society).
Karena itulah, para pemimpin negeri penting menunjukkan keteladanan. Ketegangan
antarelite juga harus diminimalkan melalui dialog yang dilakukan secara tulus
dan nirprasangka.

Peristiwa Perang Badar juga
menunjukkan pentingnya dukungan rakyat kepada pemimpin. Tatkala pasukan nabi
telah berhadap-hadapan dengan pasukan Quraisy yang berkekuatan hampir 1.000
orang dengan fasilitas transportasi dan senjata yang berlimpah, nabi meminta
pendapat para sahabat. Nabi berseru dengan suara bergetar: ’’Wahai para
sahabat, berikanlah kepadaku saran dan pertimbangan. Apakah kita terus maju
melawan pasukan Quraisy atau sebaliknya?’’

Dalam situasi menegangkan itu,
seorang sahabat dari golongan Muhajirin bernama Miqdad bin Amr maju seraya
berkata: ’’Rasulullah, teruskan apa yang diperintahkan Allah. Kami akan
berjuang bersama tuan. Kami tidak akan bersikap seperti Bani Israil kepada Nabi
Musa yang mengatakan ’Pergilah kamu sendiri bersama Tuhanmu dan
berperanglah’.’’ Komitmen serupa juga ditegaskan Sa’ad bin Mu’adz dari golongan
Anshar. Dukungan sahabat utama terhadap nabi dapat menjadi teladan bagi elite
negeri tercinta.

Komitmen sahabat utama itu
mengajarkan bahwa semua elemen seharusnya memberikan dukungan kepada pemimpin,
siapa pun orangnya dan dari partai mana pun. Tetapi, penting diingatkan,
pemimpin yang didukung harus benar-benar berjuang untuk kepentingan rakyat.
Sebaliknya, rakyat harus mengingatkan pemimpin yang hanya berjuang untuk
keluarga, kelompok, dan partai pendukungnya.

Jika pemimpin dan kelompok elite
gagal mewujudkan kebersamaan untuk mengatasi persoalan yang muncul di tengah
pandemi, bangsa ini berpotensi menjadi negara gagal (failed state). Karena
itulah, seluruh elemen bangsa, terutama kelompok elite dan pilar civil society,
harus bersinergi untuk menyelamatkan negeri tercinta. (*)

(Guru besar Filsafat UIN Sunan
Ampel dan wakil sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur)

Terpopuler

Artikel Terbaru