28.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Pernikahan Dini Bukanlah Sebuah Solusi

PADA hakikatnya manusia di dunia ini diciptakan saling
berpasang-pasangan, pada prosesnya cepat atau lambat seseorang pasti akan
melewati fase pernikahan. Fase pernikahan ini merupakan momen yang paling
ditunggu-tunggu oleh setiap insan manusia, namun sebelum pernikahan
dilangsungkan seseorang harus memenuhi berbagai kriteria atau syarat agar dapat
terciptanya pernikahan yang ideal, sebab pernikahan tidak hanya berlangsung
selama sehari dua hari tetapi berlangsung selamanya.

Pernikahan dini merupakan
pernikahan yang dilakukan kedua belah pihak atau salah satu pihak masih berada
dibawah minimal usia yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Perkawinan atau
biasa disebut masih remaja. Adapun usia minimal yang ditetapkan dalam UU Nomor
16 Tahun 2019 adalah pria dan wanita harus berumur 19 tahun, aturan ini telah
disahkan pada 16 September 2019 lalu pada saat rapat paripurna Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

Meskipun pernikahan hanya berlangsung
satu kali dalam seumur hidup, dalam praktiknya masih bnyak remaja yang menikah
tanpa persiapan yang matang. Dahulu kala, memang pernikahan harus
diberlangsungkan secepatnya karena sudah menjadi tradisi dalam kehidupan
masyarakat untuk menghindari gunjingan yang mengatakan perawan tua apabila
menikah pada usia dewasa. Maka dari itu pernikahan dini banyak terjadi karena
paksaan dari orang tua. Ekonomi sering menjadi alasan orang tua menikahkan
anaknya di usia yang masih terbilang belia dan mengesampingkan pendidikan yang
bertujuan untuk mengurangi beban yang ditanggung oleh orang tua, dan
mengakibatkan semakin rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di
Indonesia.

Namun seiring dengan
berkembangnya zaman pernikahan dini bukanlah sebuah tradisi lagi. Pada zaman
sekarang, pernikahan dini merupakan suatu hal yang sering terjadi, bukan karena
paksaan orang tua seperti dulu, namun diakibatkan dari pergaulan di era
globalisasi yang semakin tidak sehat atau semakin bebas.

Pada Pasal 7 ayat (3) UU Nomor 16
Tahun 2019 menjelaskan bahwa apabila 
kedua mempelai masih berada di bawah usia yang ditetapkan, maka orang
tua mempelai dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama maupun Pengadilan
Negeri dengan cara memberikan alasan yang kuat dan disertakan dengan bukti
pendukung yang cukup. Mayoritas remaja yang melakukan pernikahan dini cenderung
alasannya berkaitan dengan perkara hamil di luar nikah, mereka menganggap
solusi satu-satunya untuk menutupi “aib” tersebut yaitu dengan cara melakukan
pernikahan. Meskipun hal itu sebenarnya tidak memberikan solusi apapun.

Pada tahun 2018 lalu, Mahkamah
Agung setidaknya mencatat ada sekitar 193 ribu kasus pernikahan dini yang
terjadi di Indonesia, dan yang mengejutkan hanya 14 ribu yang mengajukan
dispensasi ke pengadilan. Sisanya hanya melakukan pernikahan siri yang tentunya
tidak memiliki catatan resmi dalam catatan sipil sehingga tidak memiliki akta
nikah. Pernikahan siri memang sah dalam pandangan agama, namun tidak memiliki
kekuatan hukum karena pernikahan tersebut tidak diakui oleh negara.

Baca Juga :  Nyoblos di TPS 25 Menteng, Ini Pesan Wali Kota Kepada Masyarakat

Tidak adanya akta nikah guna menunjukan
legalitas suatu pernikahan memiliki resiko yang rumit di kemudian hari, salah
satunya masalah pada status anak disamakan seperti anak di luar nikah, yang
hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya dan tidak
memiliki akta kelahiran berakibat pada anak tidak dapat mewarisi harta dari
ayahnya.

Banyak hal yang menjadi alasan
dilakukannya pernikahan dini di masyarakat. Sebagian besar alasan dari
pelaksanaan pernikahan dini adalah untuk mengatasi masalah ekonomi dan
kehamilan di luar nikah. Kurangnya pemahaman tentang norma-norma agama dan
rendahnya pendidikan yang menyebabkan perilaku menyimpang di kalangan remaja.
Perkembangan teknologi dan informasi juga memberikan pengaruh karena dengan
mudahnya mengakses video maupun situs yang memuat konten-konten dewasa. Budaya
juga turut menyumbang semakin maraknya pernikahan dini terjadi, misalnya
perjodohan yang dilakukan oleh orang tua.

Pernikahan dini sangat tidak
disarankan karena memiliki dampak yang cukup besar antara lain seperti pada
kesehatan, hubungan seksual yang dilakukan oleh remaja di bawah usia 19 tahun
sangat rentan terkena penyakit atau infeksi menular seksual salah satunya
seperti infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus). Selain itu secara
biologis alat reproduksi wanita yang masih di bawah umur masih belum siap untuk
melakukan hubungan seksual dan belum matang untuk melahirkan, sehingga ketika
kehamilan terjadi, besar kemungkinan hal itu akan membahayakan nyawa ibu dan
janinnya. Bahkan setelah melahirkan, besar kemungkinan ibu muda tersebut akan
terkena kanker payudara atau kanker serviks yang dapat berujung pada kematian.

Secara psikologis remaja yang
melakukan pernikahan dini cenderung mengalami depresi dikarenakan banyaknya
tekanan dan kurangnya kesiapan mental dalam menjalani kehidupan berumah tangga
dan tanggung jawab yang harus dipikulnya. Apabila anak tidak bisa mengontrol
emosinya maka tidak jarang terjadi perselingkuhan yang bahkan kekerasan dalam
rumah tangga sehingga berujung pada perceraian. Bahkan tidak sedikit
menimbulkan kematian, seperti yang terjadi di Indramayu, Jawa Barat. Seorang
remaja berinisial Y berumur 15 tahun tewas di aniaya oleh suami beinisial D
pada tahun 2018 lalu.

Begitu juga dengan mempelai
lelaki yang masih belum siap untuk menafkahi serta bertanggung jawab terhadap
keluarga kecilnya, karena kebanyakan remaja yang menikah di bawah umur itu
cenderung putus sekolah maka akan menambah jumlah kemiskinan yang ada di
Indonesia. Tentu pernikahan dini merampas masa-masa remaja yang seharusnya
dihabiskan bersama teman sebayanya dan berjuang untuk meraih cita-citanya agar
kehidupan finalsial yang lebih baik.

Baca Juga :  Pemko Berupaya Meningkatkan Taraf Kesejahteraan Masyarakat

Terlepas dari dampak negatif,
pernikahan dini juga memiliki dampak yang positif, dalam pandangan agama
pernikahan dini tidak apa dilakukan guna menghindari perzinahan mengingat tidak
terkontrolnya perilaku generasi melinial sekarang. Remaja yang melakukan
pernikahan dini akan dipaksa belajar arti tanggung jawab baik terhadap dirinya
sendiri maupun keluarga kecilnya.

Upaya yang dapat dilakukan untuk
mencegah semakin maraknya pernikahan dini terjadi ialah dengan cara melakukan
bimbingan maupun sosialisasi terhadap generasi milenial tentang pendidikan seks
(Sex Education) yang berisikan tentang kesehatan reproduksi agar anak
memahami apa fungsi dari alat reproduksinya, bagaimana cara merawatnya, hingga
mengajarkan batasan-batasan norma yang sudah di atur dalam agama agar anak
tidak terjerumus dalam penyimpangan seksual maupun sosial serta menghindari
pelecehan seksual yang mengacam anak. Namun sangat disayangkan masyarakat
menganggap seks masih sebagai hal yang tabu dan vulgar yang akan mendorong anak
melakukannya karena penasaran.

Orang tua sangat berperan penting
dalam pencegahan pernikahan dini, orang tua harus lebih sering meluangkan waktu
untuk anak dan berbagi cerita. Maka anak akan merasa nyaman di rumah. Selain
itu orang tua juga harus memberitahu 
anaknya apa resiko yang akan menimpanya apabila dia melakukan
penyimpangan sosial. Pendidikan formal dan pemahaman agama juga tidak kalah
penting dalam mengatur
pergaulan anak, karena anak membutuhkan arahan agar dapat menjalani hidup yang
berkualitas.

Dilihat dari dampak yang
disebabkan oleh pernikahan dini lebih dominan dampak negatif daripada dampak
positifnya. Pernikahan dini bukanlah sebuah solusi dalam suatu masalah, tidak
sedikit pernikahan dini malah menimbulkan masalah-masalah baru. Pernikahan
bukanlah hal sederhana, sebaiknya sebelum melakukan pernikahan akan lebih baik
jika menyiapkan mental, kedewasaan diri sangat diperlukan untuk melangsungkan
kehidupan yang berkualitas. Selain itu pendidikan juga sangat diperlukan agar
apabila menikah sudah memiliki kehidupan finansial yang mencukupi, pendidikan
juga akan mengurangi jumlah penggangguran yang ada di Indonesia dan
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia***

(Penulis Merupakan Mahasiswa
Semester II Prodi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah, IAIN Palangka Raya)

PADA hakikatnya manusia di dunia ini diciptakan saling
berpasang-pasangan, pada prosesnya cepat atau lambat seseorang pasti akan
melewati fase pernikahan. Fase pernikahan ini merupakan momen yang paling
ditunggu-tunggu oleh setiap insan manusia, namun sebelum pernikahan
dilangsungkan seseorang harus memenuhi berbagai kriteria atau syarat agar dapat
terciptanya pernikahan yang ideal, sebab pernikahan tidak hanya berlangsung
selama sehari dua hari tetapi berlangsung selamanya.

Pernikahan dini merupakan
pernikahan yang dilakukan kedua belah pihak atau salah satu pihak masih berada
dibawah minimal usia yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Perkawinan atau
biasa disebut masih remaja. Adapun usia minimal yang ditetapkan dalam UU Nomor
16 Tahun 2019 adalah pria dan wanita harus berumur 19 tahun, aturan ini telah
disahkan pada 16 September 2019 lalu pada saat rapat paripurna Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

Meskipun pernikahan hanya berlangsung
satu kali dalam seumur hidup, dalam praktiknya masih bnyak remaja yang menikah
tanpa persiapan yang matang. Dahulu kala, memang pernikahan harus
diberlangsungkan secepatnya karena sudah menjadi tradisi dalam kehidupan
masyarakat untuk menghindari gunjingan yang mengatakan perawan tua apabila
menikah pada usia dewasa. Maka dari itu pernikahan dini banyak terjadi karena
paksaan dari orang tua. Ekonomi sering menjadi alasan orang tua menikahkan
anaknya di usia yang masih terbilang belia dan mengesampingkan pendidikan yang
bertujuan untuk mengurangi beban yang ditanggung oleh orang tua, dan
mengakibatkan semakin rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di
Indonesia.

Namun seiring dengan
berkembangnya zaman pernikahan dini bukanlah sebuah tradisi lagi. Pada zaman
sekarang, pernikahan dini merupakan suatu hal yang sering terjadi, bukan karena
paksaan orang tua seperti dulu, namun diakibatkan dari pergaulan di era
globalisasi yang semakin tidak sehat atau semakin bebas.

Pada Pasal 7 ayat (3) UU Nomor 16
Tahun 2019 menjelaskan bahwa apabila 
kedua mempelai masih berada di bawah usia yang ditetapkan, maka orang
tua mempelai dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama maupun Pengadilan
Negeri dengan cara memberikan alasan yang kuat dan disertakan dengan bukti
pendukung yang cukup. Mayoritas remaja yang melakukan pernikahan dini cenderung
alasannya berkaitan dengan perkara hamil di luar nikah, mereka menganggap
solusi satu-satunya untuk menutupi “aib” tersebut yaitu dengan cara melakukan
pernikahan. Meskipun hal itu sebenarnya tidak memberikan solusi apapun.

Pada tahun 2018 lalu, Mahkamah
Agung setidaknya mencatat ada sekitar 193 ribu kasus pernikahan dini yang
terjadi di Indonesia, dan yang mengejutkan hanya 14 ribu yang mengajukan
dispensasi ke pengadilan. Sisanya hanya melakukan pernikahan siri yang tentunya
tidak memiliki catatan resmi dalam catatan sipil sehingga tidak memiliki akta
nikah. Pernikahan siri memang sah dalam pandangan agama, namun tidak memiliki
kekuatan hukum karena pernikahan tersebut tidak diakui oleh negara.

Baca Juga :  Nyoblos di TPS 25 Menteng, Ini Pesan Wali Kota Kepada Masyarakat

Tidak adanya akta nikah guna menunjukan
legalitas suatu pernikahan memiliki resiko yang rumit di kemudian hari, salah
satunya masalah pada status anak disamakan seperti anak di luar nikah, yang
hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya dan tidak
memiliki akta kelahiran berakibat pada anak tidak dapat mewarisi harta dari
ayahnya.

Banyak hal yang menjadi alasan
dilakukannya pernikahan dini di masyarakat. Sebagian besar alasan dari
pelaksanaan pernikahan dini adalah untuk mengatasi masalah ekonomi dan
kehamilan di luar nikah. Kurangnya pemahaman tentang norma-norma agama dan
rendahnya pendidikan yang menyebabkan perilaku menyimpang di kalangan remaja.
Perkembangan teknologi dan informasi juga memberikan pengaruh karena dengan
mudahnya mengakses video maupun situs yang memuat konten-konten dewasa. Budaya
juga turut menyumbang semakin maraknya pernikahan dini terjadi, misalnya
perjodohan yang dilakukan oleh orang tua.

Pernikahan dini sangat tidak
disarankan karena memiliki dampak yang cukup besar antara lain seperti pada
kesehatan, hubungan seksual yang dilakukan oleh remaja di bawah usia 19 tahun
sangat rentan terkena penyakit atau infeksi menular seksual salah satunya
seperti infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus). Selain itu secara
biologis alat reproduksi wanita yang masih di bawah umur masih belum siap untuk
melakukan hubungan seksual dan belum matang untuk melahirkan, sehingga ketika
kehamilan terjadi, besar kemungkinan hal itu akan membahayakan nyawa ibu dan
janinnya. Bahkan setelah melahirkan, besar kemungkinan ibu muda tersebut akan
terkena kanker payudara atau kanker serviks yang dapat berujung pada kematian.

Secara psikologis remaja yang
melakukan pernikahan dini cenderung mengalami depresi dikarenakan banyaknya
tekanan dan kurangnya kesiapan mental dalam menjalani kehidupan berumah tangga
dan tanggung jawab yang harus dipikulnya. Apabila anak tidak bisa mengontrol
emosinya maka tidak jarang terjadi perselingkuhan yang bahkan kekerasan dalam
rumah tangga sehingga berujung pada perceraian. Bahkan tidak sedikit
menimbulkan kematian, seperti yang terjadi di Indramayu, Jawa Barat. Seorang
remaja berinisial Y berumur 15 tahun tewas di aniaya oleh suami beinisial D
pada tahun 2018 lalu.

Begitu juga dengan mempelai
lelaki yang masih belum siap untuk menafkahi serta bertanggung jawab terhadap
keluarga kecilnya, karena kebanyakan remaja yang menikah di bawah umur itu
cenderung putus sekolah maka akan menambah jumlah kemiskinan yang ada di
Indonesia. Tentu pernikahan dini merampas masa-masa remaja yang seharusnya
dihabiskan bersama teman sebayanya dan berjuang untuk meraih cita-citanya agar
kehidupan finalsial yang lebih baik.

Baca Juga :  Pemko Berupaya Meningkatkan Taraf Kesejahteraan Masyarakat

Terlepas dari dampak negatif,
pernikahan dini juga memiliki dampak yang positif, dalam pandangan agama
pernikahan dini tidak apa dilakukan guna menghindari perzinahan mengingat tidak
terkontrolnya perilaku generasi melinial sekarang. Remaja yang melakukan
pernikahan dini akan dipaksa belajar arti tanggung jawab baik terhadap dirinya
sendiri maupun keluarga kecilnya.

Upaya yang dapat dilakukan untuk
mencegah semakin maraknya pernikahan dini terjadi ialah dengan cara melakukan
bimbingan maupun sosialisasi terhadap generasi milenial tentang pendidikan seks
(Sex Education) yang berisikan tentang kesehatan reproduksi agar anak
memahami apa fungsi dari alat reproduksinya, bagaimana cara merawatnya, hingga
mengajarkan batasan-batasan norma yang sudah di atur dalam agama agar anak
tidak terjerumus dalam penyimpangan seksual maupun sosial serta menghindari
pelecehan seksual yang mengacam anak. Namun sangat disayangkan masyarakat
menganggap seks masih sebagai hal yang tabu dan vulgar yang akan mendorong anak
melakukannya karena penasaran.

Orang tua sangat berperan penting
dalam pencegahan pernikahan dini, orang tua harus lebih sering meluangkan waktu
untuk anak dan berbagi cerita. Maka anak akan merasa nyaman di rumah. Selain
itu orang tua juga harus memberitahu 
anaknya apa resiko yang akan menimpanya apabila dia melakukan
penyimpangan sosial. Pendidikan formal dan pemahaman agama juga tidak kalah
penting dalam mengatur
pergaulan anak, karena anak membutuhkan arahan agar dapat menjalani hidup yang
berkualitas.

Dilihat dari dampak yang
disebabkan oleh pernikahan dini lebih dominan dampak negatif daripada dampak
positifnya. Pernikahan dini bukanlah sebuah solusi dalam suatu masalah, tidak
sedikit pernikahan dini malah menimbulkan masalah-masalah baru. Pernikahan
bukanlah hal sederhana, sebaiknya sebelum melakukan pernikahan akan lebih baik
jika menyiapkan mental, kedewasaan diri sangat diperlukan untuk melangsungkan
kehidupan yang berkualitas. Selain itu pendidikan juga sangat diperlukan agar
apabila menikah sudah memiliki kehidupan finansial yang mencukupi, pendidikan
juga akan mengurangi jumlah penggangguran yang ada di Indonesia dan
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia***

(Penulis Merupakan Mahasiswa
Semester II Prodi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah, IAIN Palangka Raya)

Terpopuler

Artikel Terbaru