27.8 C
Jakarta
Thursday, May 2, 2024

313 Darwish

Azan tetap berkumandang lima kali
sehari. Termasuk sekarang ini. Di saat Islam merasa menjadi minoritas yang
sulit di India.

Azan itu terdengar dari jauh.
Dari masjid aliran Ahmadiyah di Qadian. Yang menaranya sangat tinggi itu.

Pun azan di situ tetap
dikumandangkan di masa tersulit Islam di India.

Itu tahun 1947. Ketika umat Islam
di Punjab Timur harus tergopoh-gopoh lari ke Punjab Barat.

Dan umat Hindu di Punjab Barat
tergopoh harus pindah ke Punjab Timur.

Hari itu India merdeka dengan
amat rusuhnya. Merdeka dalam bentuk dua negara. Hindu di Timur. Islam di Barat.
India dan Pakistan.

Masjid-masjid di Punjab Timur
ditinggalkan. Pun madrasah. Pura di Barat ditinggalkan. Perang agama terjadi.
Jutaan orang tewas.

Di tengah suasana kalut itu
terjadi diskusi di Desa Qadian. Apakah masjid besar di situ juga harus
ditinggalkan. Padahal ada makam Mirza Ghulam Ahmad di dekatnya. Ada juga masjid
kecil yang bersejarah. Masjid pertama. Yang didirikan junjungan mereka.
Termasuk ada pula rumah tempat kelahiran Mirza.

Mereka pun sepakat untuk
mempertahankan Masjid Qadian. Apa pun yang terjadi. Sampai pun kalau nyawa
harus melayang.

Kesepakatan itu lantas menjadi
putusan khalifah mereka.

Tapi semua wanita harus
mengungsi. Demikian juga anak di bawah 18 tahun. Dan laki-laki di atas 55
tahun.

Hanya para pemuda yang ditugaskan
tetap tinggal di Qadian.

Jumlah mereka pun ditentukan: 313
orang. Sesuai dengan yang ikut perang Badr –di zaman Nabi Muhammad.

Baca Juga :  Merdeka Belajar

Semangat Perang Badr memang
mewarnai jiwa 313 orang itu.

Tapi mereka bertekad hanya
bertahan untuk menjaga masjid.

Seperti juga di Perang Badr
mereka tidak punya niat perang.

Semua yang bertugas di Qadian
diberi surat tugas langsung oleh khalifah mereka. Termasuk seorang pemuda yang
terlanjur berangkat mengungsi.

Surat khalifah itu ia terima di
perjalanan. Saat mengantar ibunya ke perbatasan.

Begitu menerima surat itu justru
sang ibu yang berkeras. Agar anaknya kembali ke Qadian.

Sang ibu mengatakan bahwa dia
bisa mengungsi bersama pengungsi lainnya.

Itulah salah satu dokumen yang
sempat saya baca. Yakni kesaksian mereka yang termasuk 313 itu.

Air mata saya berlinang beberapa
kali membaca dokumen itu.

Dari 313 orang tersebut kini
masih dua orang yang hidup. Saya tidak sempat menemui keduanya.

Sebenarnya mereka masih tinggal
di Qadian. Tapi sudah amat tua.

Selama mempertahankan Qadian itu
mereka menjalani kehidupan sufi: sedikit makan sedikit bicara dan sedikit
tidur.

Mereka berjaga 24 jam dalam
kelompok-kelompok kecil.

Semua sudut jalan masuk desa
Qadian diblokade. Massa tidak bisa masuk ke kampung Ahmadiyah itu.

Desa ini lantas menjadi tempat
persembunyian yang aman. Orang yang tidak bisa mengungsi ke Pakistan mencari
perlindungan di sini.

Pemuda yang 313 orang itu lantas
disebut para Darwish. Yakni orang yang dengan tulus menjalani hidup sengsara.
Mereka rela meninggalkan keinginan hidup normal.

Baca Juga :  Puncak Milad MIN 2 Palangka Raya Meriah

Di tengah suasana perang itu para
Darwish tetap teguh: mereka tetap mengumandangkan azan lewat menara. Lima kali
sehari.
Qadian berhasil utuh. Sampai sekarang.

Pusat aliran Islam Ahmadiyah
memang ikut pindah ke Lahore, Pakistan. Lalu pindah lagi ke London (DI’s Way:313 Ahmadiyah).

Tapi Qadian masih menjadi salah
satu basis Ahmadiyah.

Di samping tetap berani azan
apakah juga berani menyembelih sapi untuk kurban?

“Ini bukan soal berani atau
tidak,” ujar Saifullah Mubarak, yang menemani saya di Qadian. “Kami
ini selalu patuh pada pemerintah,” tambahnya.

Menyembelih sapi dilarang di
Punjab. Ada UU-nya. Untuk menghormati keyakinan orang Hindu. 

“Kami kan masih bisa memotong
kambing dan domba. Tidak ada masalah,” ujar Saifullah yang asal Solok,
Sumbar, yang sudah kawin dengan wanita Punjab itu.

Banyak sekali pertanyaan ke saya:
mengapa Ahmadiyah dimusuhi oleh mainstream Islam? Sampai mengungsi ke London?

Semua ajaran Ahmadiyah sama
dengan Islam pada umumnya. Terutama mazhab Hanafi. Syahadatnya sama. Qurannya
sama. Haditsnya sama. Rukun Islamnya sama. Rukun Imannya sama.

Yang tidak sama hanya satu:
Mereka yakin Mirza Ghulam Ahmad adalah manusia seperti yang dijanjikan di ajaran
Islam maupun Kristen.

Yang diturunkan ke bumi sebagai
ratu adil di akhir zaman.

Dan begitu banyak orang yang
mengaku mendapat tugas seperti itu. Di Islam. Di Kristen. Dulu, kini dan masih
akan ada lagi.(Dahlan Iskan)

 

Azan tetap berkumandang lima kali
sehari. Termasuk sekarang ini. Di saat Islam merasa menjadi minoritas yang
sulit di India.

Azan itu terdengar dari jauh.
Dari masjid aliran Ahmadiyah di Qadian. Yang menaranya sangat tinggi itu.

Pun azan di situ tetap
dikumandangkan di masa tersulit Islam di India.

Itu tahun 1947. Ketika umat Islam
di Punjab Timur harus tergopoh-gopoh lari ke Punjab Barat.

Dan umat Hindu di Punjab Barat
tergopoh harus pindah ke Punjab Timur.

Hari itu India merdeka dengan
amat rusuhnya. Merdeka dalam bentuk dua negara. Hindu di Timur. Islam di Barat.
India dan Pakistan.

Masjid-masjid di Punjab Timur
ditinggalkan. Pun madrasah. Pura di Barat ditinggalkan. Perang agama terjadi.
Jutaan orang tewas.

Di tengah suasana kalut itu
terjadi diskusi di Desa Qadian. Apakah masjid besar di situ juga harus
ditinggalkan. Padahal ada makam Mirza Ghulam Ahmad di dekatnya. Ada juga masjid
kecil yang bersejarah. Masjid pertama. Yang didirikan junjungan mereka.
Termasuk ada pula rumah tempat kelahiran Mirza.

Mereka pun sepakat untuk
mempertahankan Masjid Qadian. Apa pun yang terjadi. Sampai pun kalau nyawa
harus melayang.

Kesepakatan itu lantas menjadi
putusan khalifah mereka.

Tapi semua wanita harus
mengungsi. Demikian juga anak di bawah 18 tahun. Dan laki-laki di atas 55
tahun.

Hanya para pemuda yang ditugaskan
tetap tinggal di Qadian.

Jumlah mereka pun ditentukan: 313
orang. Sesuai dengan yang ikut perang Badr –di zaman Nabi Muhammad.

Baca Juga :  Merdeka Belajar

Semangat Perang Badr memang
mewarnai jiwa 313 orang itu.

Tapi mereka bertekad hanya
bertahan untuk menjaga masjid.

Seperti juga di Perang Badr
mereka tidak punya niat perang.

Semua yang bertugas di Qadian
diberi surat tugas langsung oleh khalifah mereka. Termasuk seorang pemuda yang
terlanjur berangkat mengungsi.

Surat khalifah itu ia terima di
perjalanan. Saat mengantar ibunya ke perbatasan.

Begitu menerima surat itu justru
sang ibu yang berkeras. Agar anaknya kembali ke Qadian.

Sang ibu mengatakan bahwa dia
bisa mengungsi bersama pengungsi lainnya.

Itulah salah satu dokumen yang
sempat saya baca. Yakni kesaksian mereka yang termasuk 313 itu.

Air mata saya berlinang beberapa
kali membaca dokumen itu.

Dari 313 orang tersebut kini
masih dua orang yang hidup. Saya tidak sempat menemui keduanya.

Sebenarnya mereka masih tinggal
di Qadian. Tapi sudah amat tua.

Selama mempertahankan Qadian itu
mereka menjalani kehidupan sufi: sedikit makan sedikit bicara dan sedikit
tidur.

Mereka berjaga 24 jam dalam
kelompok-kelompok kecil.

Semua sudut jalan masuk desa
Qadian diblokade. Massa tidak bisa masuk ke kampung Ahmadiyah itu.

Desa ini lantas menjadi tempat
persembunyian yang aman. Orang yang tidak bisa mengungsi ke Pakistan mencari
perlindungan di sini.

Pemuda yang 313 orang itu lantas
disebut para Darwish. Yakni orang yang dengan tulus menjalani hidup sengsara.
Mereka rela meninggalkan keinginan hidup normal.

Baca Juga :  Puncak Milad MIN 2 Palangka Raya Meriah

Di tengah suasana perang itu para
Darwish tetap teguh: mereka tetap mengumandangkan azan lewat menara. Lima kali
sehari.
Qadian berhasil utuh. Sampai sekarang.

Pusat aliran Islam Ahmadiyah
memang ikut pindah ke Lahore, Pakistan. Lalu pindah lagi ke London (DI’s Way:313 Ahmadiyah).

Tapi Qadian masih menjadi salah
satu basis Ahmadiyah.

Di samping tetap berani azan
apakah juga berani menyembelih sapi untuk kurban?

“Ini bukan soal berani atau
tidak,” ujar Saifullah Mubarak, yang menemani saya di Qadian. “Kami
ini selalu patuh pada pemerintah,” tambahnya.

Menyembelih sapi dilarang di
Punjab. Ada UU-nya. Untuk menghormati keyakinan orang Hindu. 

“Kami kan masih bisa memotong
kambing dan domba. Tidak ada masalah,” ujar Saifullah yang asal Solok,
Sumbar, yang sudah kawin dengan wanita Punjab itu.

Banyak sekali pertanyaan ke saya:
mengapa Ahmadiyah dimusuhi oleh mainstream Islam? Sampai mengungsi ke London?

Semua ajaran Ahmadiyah sama
dengan Islam pada umumnya. Terutama mazhab Hanafi. Syahadatnya sama. Qurannya
sama. Haditsnya sama. Rukun Islamnya sama. Rukun Imannya sama.

Yang tidak sama hanya satu:
Mereka yakin Mirza Ghulam Ahmad adalah manusia seperti yang dijanjikan di ajaran
Islam maupun Kristen.

Yang diturunkan ke bumi sebagai
ratu adil di akhir zaman.

Dan begitu banyak orang yang
mengaku mendapat tugas seperti itu. Di Islam. Di Kristen. Dulu, kini dan masih
akan ada lagi.(Dahlan Iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru