33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Dukungan Hastag

Kemarin pecah rekor lagi: yang
sembuh dari virus corona mencapai 599 orang. Dalam sehari. Tapi yang meninggal
memang juga masih bertambah 89 orang.

Penambahan yang meninggal itu
semua di Propinsi Hubei, yang beribu kota di Wuhan.

Kian jelas bahwa problem
utamanya ada di Wuhan. Kalau angka-angka dari Wuhan disisihkan maka jumlah yang
meninggal dunia akibat virus corona hanya 0,2 persen.

Prosentasi itu hanya sedikit di
atas kematian akibat flu: 0,1 persen dari penderita.

Kesimpulan lain: virus corona
ini lebih mirip flu daripada mirip SARS. Atau Ebola. Atau H1N1.

Yang disebut mirip flu adalah:
orang lebih mudah terjangkit tapi tidak lebih mudah mati.

Lebih mudah terjangkit itu
dimaksudkan bahwa proses penularannya lebih mudah.

Misalnya ada orang terkena
virus corona. Lalu bersin di depan kita. Percikan bersin itu terhirup hidung
kita. Maka ada kemungkinan yang menghirup percikan tadi tertular.

Tentu percikan itu tidak
mungkin terhirup kalau yang bersin tidak lebih dekat dari satu meter.

Kalau yang bersin itu berjarak
lebih satu meter mestinya virus tersebut keburu mati di udara.

Kenapa yang di Wuhan begitu
parahnya?

Itulah yang bikin marah secara
nasional di sana. Kemarahan itu dilampiaskan lewat medsos. Saking besarnya
dampak kemarahan itu akan bisa ke politik dan ke kebijakan nasional.

Jelasnya, keparahan di Wuhan
adalah akibat telatnya penanganan. Amat telat. Penanganan baru dilakukan ketika
virusnya sudah viral. Seviral-viralnya. Mereka pun keburu parah.

Itu akibat tidak segera terungkapnya
wabah virus corona.

Yang banyak meninggal adalah
yang sudah terlanjur parah itu. Yang di Wuhan itu. Sedang yang di luar Wuhan
umumnya tertular belakangan. Setelah wabah ini diketahui secara resmi. Sehingga
banyak yang begitu terkena langsung ditangani.

Karena itu penderita yang di
luar Wuhan sangat jarang yang meninggal. Satu orang yang meninggal di Filipina
dan di Hongkong adalah juga yang datang dari Wuhan. Sudah dalam keadaan parah
pula.

Ingat: virus ini mudah menular
tapi tidak mudah bikin mati. Asal segera tertangani.

Karena itu pemerintah Singapura
sangat jengkel. Tiga hari itu. Ketika melihat terjadinya kepanikan di
masyarakat. Sampai semua bahan di supermarket ludes tidak sampai setengah hari.
Yakni saat pemerintah menaikkan bendera oranye –tanda bahaya corona sudah
lebih serius.

Baca Juga :  Harus Ada Perbaikan Kualitas Pelaksanaan Anggaran

Padahal maksud pemerintah,
bendera oranye itu untuk meningkatkan kewaspadaan. Agar bisa menambah
kedisiplinan hidup bersih, memperbanyak cuci tangan, dan seterusnya.

Bukan sebagai komando untuk
menyerbu supermarket.

Pun kalau kelak pemerintah
Indonesia menaikkan bendera oranye. Jangan panik. Jangan serbu supermarket.
Jangan ulangi yang terjadi di Singapura.

Mudah-mudahan kita tidak punya
bendera oranye.

Ingat: ini lebih mirip flu
daripada Jiwasraya.

Yang jelas kita bukan Wuhan.
Saya sendiri menyukai Kota Wuhan. Apalagi di ‘simpang tiga’ pertemuan antara
sungai Jialing dengan sungai Chang Jiang (Yangtze).

Ketika hubungan diplomatik
antara Indonesia dan Tiongkok masih putus saya sudah mendatangkan grup akrobat
dari Wuhan. Sampai panitianya diinterogasi oleh Kopkamtib (Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) di Surabaya.

Tapi kali ini saya ikut marah
dengan apa yang terjadi di Wuhan. Seraya ikut bangga pada dokter Li Wenliang.
Yang meninggal dunia Jumat lalu.

Kalau saja suara dokter itu
didengar tidak akan sampai menjadi fatal seperti ini. Khususnya di Wuhan.

Dokter Li memang tergabung
dalam anggota grup WeChat. Anggota grup WeChat itu terbatas para dokter di
rumah sakit Palang Merah Wuhan.

Tanggal 30 Desember 2019 lalu
dokter Li memposting informasi di grup itu. Tujuannya: agar rekan-rekan sesama
dokter menaruh perhatian akan adanya virus yang sangat bahaya itu.

Rupanya ada yang meng-capture postingan
dokter Li. Lalu hasil capture itu beredar
di online.
Menyebar luas. Heboh.

Keesokan harinya kepala rumah
sakit memanggilnya. Dokter Li dianggap menjadi sumber keresahan umum.

Dua hari kemudian dokter Li
dipanggil polisi. Diinterogasi. Lalu diberi surat peringatan.

Dokter Li sendiri sebenarnya
sudah mencabut postingannya itu. Tapi capture-nya sudah beredar
luas. Dipanggil polisi adalah menakutkan.

Dokter-dokter lain pun menjadi
ragu-ragu untuk bekerja. Apalagi mengambil tindakan. Sebagian marah karena
merasa solider pada sejawat.

Suasana menakutkan itulah yang
membuat penanganan awal wabah ini tidak maksimal. Pemda setempat pun merasa
sudah cukup ketika sudah menutup pasar ikan yang bercampur pasar binatang liar
itu.

Bunyi postingan dokter Li
memang menakutkan –untuk ukuran saat itu. Isinya: “Ditemukan tujuh orang
terkena virus SARS dari pasar induk Huanan,” tulis dokter Li.

Baca Juga :  Bupati Instruksikan Penambahan Posko Covid-19

Mungkin kata SARS itulah yang
menakutkan. Masak ada SARS lagi. Dan dokter Li pun dianggap menyebarkan
ketakutan umum.

“Dari mana Anda tahu kalau
itu virus SARS,” tegur kepala rumah sakit tersebut.

Dari pemakaian istilah SARS
itulah bisa saja dokter Li dianggap ceroboh. Tapi bisa juga dianggap penuh
kewaspadaan.

Yang ditemukan di tujuh orang
tersebut sama dengan tanda-tanda wabah SARS 18 tahun lalu. Ketika dokter Li
baru berumur 16 tahun.

Padahal –mungkin beginilah
jalan pikiran kepala rumah sakit– wabah SARS sudah dinyatakan padam.
Kewaspadaan dokter Li justru mendapat respons represif dari atasan. Lebih
represif lagi oleh polisi.

Memang akhirnya dipastikan itu
bukan SARS. Tapi sungguh setara dengan SARS. Kalau pun hampir sama dengan flu
tapi lebih berat dari flu.

Dokter Li baru berumur 34 tahun
saat meninggal. Anaknya satu, laki-laki, berumur lima tahun. Istri dokter Li
lagi menginginkan anak kedua. Yang sekarang memang sudah diijinkan di Tiongkok.

Sehari-hari dokter Li bertugas
sebagai ophthalmologist di Wuhan Central Hospital.

Ia perlu memposting bahaya
virus tersebut bukan untuk membuat heboh. Ia ingin teman-teman sejawatnya
waspada. Itu lantaran rumah sakit tempat teman-teman satu grup WeChat itu
berdekatan dengan pasar Huanan.

Saat dokter Li dipanggil polisi
itu yang terjangkit virus sudah bertambah. Sudah 27 orang. Bertambah 20 orang.
Hanya dalam dua hari.

Pasar Huanan sendiri baru
ditutup 24 hari kemudian. Yakni tanggal 22 Januari. Berarti 24 hari setelah
dokter Li memposting peringatan untuk teman-teman sejawatnya itu.

Berarti pula saat pasar itu
ditutup sudah ribuan orang yang sebenarnya sudah tertular.

Mereka lantas menyebar ke
mana-mana. Terutama karena tiga hari kemudian datanglah tahun baru Imlek.

Dari Wuhan saja terjadi lima
juta perjalanan manusia di tahun baru itu.

Dukungan medsos pada dokter Li
luar biasa. Hastag ‘Dr Li Wenliang meninggal dunia’ diikuti sampai 650 juta viewer.

Rasanya belum ada dukungan pada
suatu isu lebih besar dari itu. Berbagai petisi juga beredar. Termasuk petisi
untuk mendukung kebebasan berbicara.

Keterlambatan penanganan virus
Wuhan adalah contoh sisi buruk dari sebuah sistem totaliter.

Di sistem itu orang takut
menyuarakan kebenaran. Apalagi membentuk pansus. (Dahlan Iskan) 

 

Kemarin pecah rekor lagi: yang
sembuh dari virus corona mencapai 599 orang. Dalam sehari. Tapi yang meninggal
memang juga masih bertambah 89 orang.

Penambahan yang meninggal itu
semua di Propinsi Hubei, yang beribu kota di Wuhan.

Kian jelas bahwa problem
utamanya ada di Wuhan. Kalau angka-angka dari Wuhan disisihkan maka jumlah yang
meninggal dunia akibat virus corona hanya 0,2 persen.

Prosentasi itu hanya sedikit di
atas kematian akibat flu: 0,1 persen dari penderita.

Kesimpulan lain: virus corona
ini lebih mirip flu daripada mirip SARS. Atau Ebola. Atau H1N1.

Yang disebut mirip flu adalah:
orang lebih mudah terjangkit tapi tidak lebih mudah mati.

Lebih mudah terjangkit itu
dimaksudkan bahwa proses penularannya lebih mudah.

Misalnya ada orang terkena
virus corona. Lalu bersin di depan kita. Percikan bersin itu terhirup hidung
kita. Maka ada kemungkinan yang menghirup percikan tadi tertular.

Tentu percikan itu tidak
mungkin terhirup kalau yang bersin tidak lebih dekat dari satu meter.

Kalau yang bersin itu berjarak
lebih satu meter mestinya virus tersebut keburu mati di udara.

Kenapa yang di Wuhan begitu
parahnya?

Itulah yang bikin marah secara
nasional di sana. Kemarahan itu dilampiaskan lewat medsos. Saking besarnya
dampak kemarahan itu akan bisa ke politik dan ke kebijakan nasional.

Jelasnya, keparahan di Wuhan
adalah akibat telatnya penanganan. Amat telat. Penanganan baru dilakukan ketika
virusnya sudah viral. Seviral-viralnya. Mereka pun keburu parah.

Itu akibat tidak segera terungkapnya
wabah virus corona.

Yang banyak meninggal adalah
yang sudah terlanjur parah itu. Yang di Wuhan itu. Sedang yang di luar Wuhan
umumnya tertular belakangan. Setelah wabah ini diketahui secara resmi. Sehingga
banyak yang begitu terkena langsung ditangani.

Karena itu penderita yang di
luar Wuhan sangat jarang yang meninggal. Satu orang yang meninggal di Filipina
dan di Hongkong adalah juga yang datang dari Wuhan. Sudah dalam keadaan parah
pula.

Ingat: virus ini mudah menular
tapi tidak mudah bikin mati. Asal segera tertangani.

Karena itu pemerintah Singapura
sangat jengkel. Tiga hari itu. Ketika melihat terjadinya kepanikan di
masyarakat. Sampai semua bahan di supermarket ludes tidak sampai setengah hari.
Yakni saat pemerintah menaikkan bendera oranye –tanda bahaya corona sudah
lebih serius.

Baca Juga :  Harus Ada Perbaikan Kualitas Pelaksanaan Anggaran

Padahal maksud pemerintah,
bendera oranye itu untuk meningkatkan kewaspadaan. Agar bisa menambah
kedisiplinan hidup bersih, memperbanyak cuci tangan, dan seterusnya.

Bukan sebagai komando untuk
menyerbu supermarket.

Pun kalau kelak pemerintah
Indonesia menaikkan bendera oranye. Jangan panik. Jangan serbu supermarket.
Jangan ulangi yang terjadi di Singapura.

Mudah-mudahan kita tidak punya
bendera oranye.

Ingat: ini lebih mirip flu
daripada Jiwasraya.

Yang jelas kita bukan Wuhan.
Saya sendiri menyukai Kota Wuhan. Apalagi di ‘simpang tiga’ pertemuan antara
sungai Jialing dengan sungai Chang Jiang (Yangtze).

Ketika hubungan diplomatik
antara Indonesia dan Tiongkok masih putus saya sudah mendatangkan grup akrobat
dari Wuhan. Sampai panitianya diinterogasi oleh Kopkamtib (Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) di Surabaya.

Tapi kali ini saya ikut marah
dengan apa yang terjadi di Wuhan. Seraya ikut bangga pada dokter Li Wenliang.
Yang meninggal dunia Jumat lalu.

Kalau saja suara dokter itu
didengar tidak akan sampai menjadi fatal seperti ini. Khususnya di Wuhan.

Dokter Li memang tergabung
dalam anggota grup WeChat. Anggota grup WeChat itu terbatas para dokter di
rumah sakit Palang Merah Wuhan.

Tanggal 30 Desember 2019 lalu
dokter Li memposting informasi di grup itu. Tujuannya: agar rekan-rekan sesama
dokter menaruh perhatian akan adanya virus yang sangat bahaya itu.

Rupanya ada yang meng-capture postingan
dokter Li. Lalu hasil capture itu beredar
di online.
Menyebar luas. Heboh.

Keesokan harinya kepala rumah
sakit memanggilnya. Dokter Li dianggap menjadi sumber keresahan umum.

Dua hari kemudian dokter Li
dipanggil polisi. Diinterogasi. Lalu diberi surat peringatan.

Dokter Li sendiri sebenarnya
sudah mencabut postingannya itu. Tapi capture-nya sudah beredar
luas. Dipanggil polisi adalah menakutkan.

Dokter-dokter lain pun menjadi
ragu-ragu untuk bekerja. Apalagi mengambil tindakan. Sebagian marah karena
merasa solider pada sejawat.

Suasana menakutkan itulah yang
membuat penanganan awal wabah ini tidak maksimal. Pemda setempat pun merasa
sudah cukup ketika sudah menutup pasar ikan yang bercampur pasar binatang liar
itu.

Bunyi postingan dokter Li
memang menakutkan –untuk ukuran saat itu. Isinya: “Ditemukan tujuh orang
terkena virus SARS dari pasar induk Huanan,” tulis dokter Li.

Baca Juga :  Bupati Instruksikan Penambahan Posko Covid-19

Mungkin kata SARS itulah yang
menakutkan. Masak ada SARS lagi. Dan dokter Li pun dianggap menyebarkan
ketakutan umum.

“Dari mana Anda tahu kalau
itu virus SARS,” tegur kepala rumah sakit tersebut.

Dari pemakaian istilah SARS
itulah bisa saja dokter Li dianggap ceroboh. Tapi bisa juga dianggap penuh
kewaspadaan.

Yang ditemukan di tujuh orang
tersebut sama dengan tanda-tanda wabah SARS 18 tahun lalu. Ketika dokter Li
baru berumur 16 tahun.

Padahal –mungkin beginilah
jalan pikiran kepala rumah sakit– wabah SARS sudah dinyatakan padam.
Kewaspadaan dokter Li justru mendapat respons represif dari atasan. Lebih
represif lagi oleh polisi.

Memang akhirnya dipastikan itu
bukan SARS. Tapi sungguh setara dengan SARS. Kalau pun hampir sama dengan flu
tapi lebih berat dari flu.

Dokter Li baru berumur 34 tahun
saat meninggal. Anaknya satu, laki-laki, berumur lima tahun. Istri dokter Li
lagi menginginkan anak kedua. Yang sekarang memang sudah diijinkan di Tiongkok.

Sehari-hari dokter Li bertugas
sebagai ophthalmologist di Wuhan Central Hospital.

Ia perlu memposting bahaya
virus tersebut bukan untuk membuat heboh. Ia ingin teman-teman sejawatnya
waspada. Itu lantaran rumah sakit tempat teman-teman satu grup WeChat itu
berdekatan dengan pasar Huanan.

Saat dokter Li dipanggil polisi
itu yang terjangkit virus sudah bertambah. Sudah 27 orang. Bertambah 20 orang.
Hanya dalam dua hari.

Pasar Huanan sendiri baru
ditutup 24 hari kemudian. Yakni tanggal 22 Januari. Berarti 24 hari setelah
dokter Li memposting peringatan untuk teman-teman sejawatnya itu.

Berarti pula saat pasar itu
ditutup sudah ribuan orang yang sebenarnya sudah tertular.

Mereka lantas menyebar ke
mana-mana. Terutama karena tiga hari kemudian datanglah tahun baru Imlek.

Dari Wuhan saja terjadi lima
juta perjalanan manusia di tahun baru itu.

Dukungan medsos pada dokter Li
luar biasa. Hastag ‘Dr Li Wenliang meninggal dunia’ diikuti sampai 650 juta viewer.

Rasanya belum ada dukungan pada
suatu isu lebih besar dari itu. Berbagai petisi juga beredar. Termasuk petisi
untuk mendukung kebebasan berbicara.

Keterlambatan penanganan virus
Wuhan adalah contoh sisi buruk dari sebuah sistem totaliter.

Di sistem itu orang takut
menyuarakan kebenaran. Apalagi membentuk pansus. (Dahlan Iskan) 

 

Terpopuler

Artikel Terbaru