Permohonan uji materi atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UUCK) yang diajukan Partai Buruh dan pemohon lainnya dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sebenarnya, ketika masih disahkan lewat UU Nomor 11 Tahun 2020, MK pernah menguji substansi UUCK dan memerintahkan agar pemerintah memperbaiki sebagian substansinya (25/11/2021).
Namun, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 untuk memberlakukan UUCK walau tak ada situasi darurat ketenagakerjaan waktu itu. Lalu, pada 2023 DPR mengesahkannya menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023. Kini substansi UUCK kembali dikoreksi MK. Ada 21 poin penting yang dikoreksi sebagai bukti kecacatan dalam UUCK.
Isu besar dalam putusan MK terkait dengan penggunaan tenaga kerja asing (TKA) yang tidak lagi berdasar izin, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), serta penggunaan alih daya (outsourcing). MK juga mengoreksi hak cuti, upah, ketentuan pesangon, serta pemutusan hubungan kerja (PHK).
Menurut MK, sebagian norma dalam UUCK disharmonis dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Tenaker) sehingga berpotensi merugikan buruh.
Pelanggaran Asas
Norma UUCK bisa melanggar pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Karena itu, MK meminta legislatif (pemerintah dan DPR) segera membentuk norma ketenagakerjaan baru dan mengeluarkannya dari UUCK. Banyaknya cacat norma dalam UUCK itu membuktikan bahwa badan legislatif pada masa lalu telah melanggar asas-asas dalam pembuatan undang-undang.
Pertama, asas kejelasan tujuan. Legislatif masa lalu lebih menekankan tujuan norma untuk meningkatkan investasi dan faktor situasi ekonomi global ketimbang faktor perlindungan bagi buruh. Negara seolah lupa bahwa ekonomi kita menganut mix economy yang salah satu cirinya ialah perlindungan pekerja lewat norma.
Kedua, asas kejelasan rumusan. Setiap undang-undang seharusnya memenuhi persyaratan teknis penyusunan substansi, sistematika, dan bahasa hukum yang jelas serta mudah dimengerti. Sayang, metode penggabungan norma dalam UUCK sebagai omnibus law tidak jelas, apakah merupakan peraturan baru atau sekadar revisi peraturan lama.
Demikian pula posisi UU Tenaker yang jadi tidak jelas, apakah semuanya dikesampingkan atau kedudukannya dikalahkan oleh asas lex specialis derogat legi generalis (hukum khusus mengalahkan hukum umum). Legislatif juga lupa membahas filosofi norma yang lama dan langsung ditelikung oleh UUCK. Akibatnya, spirit norma tenaker berubah-ubah.
Ketiga, asas keterbukaan. Dalam uji materi sebelumnya, MK menilai UUCK dibentuk tanpa cacat formil karena pembahasannya tidak melibatkan publik. Lalu, muncullah peperpu yang akhirnya menutupi ragam kelemahan substansi dan komunikasi hukum UUCK sejak awal proses perumusannya. Apalagi, undang-undang itu notabene dibahas hanya sekitar tujuh bulan.
Prinsip Komunikasi Hukum
Lemahnya komunikasi UUCK telah mengancam keadilan bagi buruh. Buruh akan kesulitan melindungi kepentingan mereka sekaligus tidak berdaya dalam menegakkan hak-hak mereka lewat sarana UUCK. Parahnya, komunikasi yang lemah dan parsial itu dikunci dengan adagium bahwa setiap orang dianggap mengetahui adanya suatu hukum yang telah disahkan (presumptio iures de iure).
Karena itu, legislatif era pemerintahan Prabowo-Gibran penting menerapkan prinsip-prinsip komunikasi hukum yang baik dalam membuat norma tenaker yang baru sesuai dengan perintah MK.
Pertama, completeness. Artinya, legislatif memberikan informasi selengkap mungkin mengenai norma ketenagakerjaan yang diubah atau ditambah serta alasan-alasannya. Informasi rumusan norma yang lengkap dan jelas akan membangun kepercayaan masyarakat kepada legislatif sekaligus memberikan kepastian hukum kepada buruh serta pengusaha. Informasi norma yang tidak lengkap otomatis mengakibatkan komunikasi hukum tidak efektif.
Kedua, conciseness. Yaitu, norma tenaker dikomunikasikan dengan konten bahasa yang ringan, ilustratif, dan padat. Informasi norma bukan untuk menunjukkan taraf pendidikan masyarakat, melainkan sebuah komunikasi hukum yang bisa dipahami dengan mudah oleh semua level pendidikan. Dengan begitu, masyarakat tidak perlu curiga dengan substansi norma tenaker.
Ketiga, concretness. Artinya, komunikasi norma tenaker disusun dengan kalimat yang spesifik dan konkret, bukan melulu bahasa hukum.
Keempat, consideration. Yaitu, komunikasi tentang perubahan norma perlu menimbang situasi penerima pesan. Misalnya, komunikasi norma tenaker dilakukan dalam situasi tenang dan santai di ruang digital atau di tempat hiburan/wisata.
Kelima, courtesy. Artinya, komunikasi hukum merupakan bentuk penghargaan kepada masyarakat sebagai penentu efektifnya norma tenaker. Hal itu diwujudkan dengan komunikasi simpatik yang mengajak buruh dan pengusaha berperan dalam mewujudkan cita hukum dalam norma tenaker. Terakhir, correctness. Yaitu, komunikasi norma tenaker harus cermat atau jauh dari kekeliruan pesan. (*)
*) AUGUSTINUS SIMANJUNTAK, Dosen program business management Universitas Kristen Petra Surabaya