Site icon Prokalteng

Sidang Pledoi: Tuntutan Hukuman Mati Terdakwa Kasus Sabu 33 Kg Dinilai Melanggar HAM

Ilustrasi-Hakim sidang

NANGA BULIK, PROKALTENG.CO – Tuntutan hukuman mati disampaikan jaksa penuntut umum kepada dua terdakwa pembawa sabu 33 kg, yakni Humaidi (43) dan Yuliansyah (41) dinilai berlebihan.

Dalam nota pembelaan atau pledoi yang disampaikan oleh kuasa hukum terdakwa pada sidang di Pengadilan Negeri Lamandau, Senin (28/10) lalu, disebutkan bahwa banyak hal yang bisa dipertimbangkan untuk meringankan hukuman mereka.

“Karena menurut kami tim kuasa hukum para terdakwa, ada kekeliruan dalam penerapan sanksi pidana bagi terdakwa dan pertanggungjawaban pidana yang terlalu berat. Yaitu pidana mati sebagaimana dalam tuntutan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum pada hari Senin tanggal 21 Oktober 2024,” ujar Kuasa Hukum dari Posbakum, Fajrul Islamy Akbar, Rabu (30/10).

Menurut Kuasa Hukum terdakwa, dari fakta-fakta persidangan, diketahui bahwa sebelumnya para terdakwa tidak mengetahui berat dari narkotika jenis sabu yang ada di dalam mobil Inova plat KB 1469 CL yang mereka gunakan. Para terdakwa baru mengetahui berat bersih narkotika 33 kg setelah dilakukan penangkapan oleh pihak Kepolisian Resor Lamandau dan dilakukan penimbangan di kantor pegadaian.

“Terdakwa tidak memiliki peran aktif dalam perkara ini. Para terdakwa hanya disuruh oleh Sdr. Wahab (DPO) melalui perintah dari Sdr. Masbroo (DPO) untuk mengantarkan mobil Inova plat KB 1469 CL yang telah berisi sabu ke Kota Banjarmasin tanpa mengetahui siapa yang menaruh narkotika jenis sabu di dalam mobil Inova plat KB 1469 CL.  Siapa yang mengantar mobil Inova tersebut ke penginapan tempat para terdakwa. Narkotika jenis sabu itu akan diambil oleh siapa di Kota Banjarmasin, tidak mengetahui narkotika jenis sabu tersebut diambil dari mana dan berapa total harga dari narkotika jenis sabu tersebut. Perintah dari Sdr Wahab (DPO) apabila sudah sampai di Banjarmasin segera untuk menghubunginya dan menunggu petunjuk lebih lanjut,” beber kuasa hukum.

Selanjutnya dijelaskan bahwa para terdakwa baru pertama kali menerima pekerjaan mengantar narkotika jenis sabu dari Pontianak menuju ke Kota Banjarmasin. Mereka juga belum menikmati upah yang dijanjikan sebesar Rp 300 juta. Karena baru ditransfer Rp 100 juta dan telah menjadi barang sitaan.

Dijelaskan juga bahwa terdakwa Humaidi memang residivis. Namun disebutkan hanya sebagai pemakai, dan telah insyaf. Sedangkan  Yuliansyah belum pernah menjalani hukuman pidana sebelumnya, dan belum pernah terlibat dalam tindak pidana narkotika sebelumnya.

“Hasil tes urine keduanya negatif,” kata Fajrul Islamy Akbar.

Tak hanya itu, sebagai kuasa hukum, Fajrul Islamy Akbar juga menyampaikan, beberapa contoh putusan terhadap pembawa puluhan hingga ratusan kilo sabu di beberapa daerah di Indonesia yang divonis hukuman seumur hidup, bukannya hukuman mati.  Untuk itu, dirinya menilai hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), yakni hak untuk hidup.

Disamping itu, disebutkannya juga bahwa kedua terdakwa hanyalah kurir, bukan Intellectual Dader (Pelaku Intelektual). Intellectual Dader dalam perkara narkotika merupakan orang yang memiliki barang narkotika dan menyuruh orang lain untuk menerima dan menyerahkan barang tersebut atas perintah dirinya. Dalam perkara ini, pelaku intelektualnya, menurut kuasa hukum terdakwa adalah Wahab dan Masbroo yang hingga saat ini masih  tidak diketahui keberadaannya.

“Kami berpendapat sungguh sangat tidak adil apabila para terdakwa dijatuhi hukuman mati sebagaimana yang dituntutkan oleh Jaksa Penuntut Umum. Sedangkan Sdr. Wahab (DPO) dan Sdr. Masbroo (DPO) yang menyuruh para terdakwa masih tidak diketahui keberadaannya. Sedangkan para terdakwa yang hanya menerima narkotika jenis sabu tersebut dan belum menikmati upah sebagiamana yang dijanjikan pada diri terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan pidana mati. Padahal para terdakwa mempunyai keluarga dan anak. Sedangkan Sdr. Wahab (DPO) dan Sdr. Masbroo (DPO) yang menyuruh para terdakwa masih bisa tidur dengan nyenyak di luar sana tanpa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya,” jelasnya panjang lebar.

Dengan demikian, pihak kuasa hukum terdakwa memohon kepada majelis hakim agar memberikan putusan yang seadil-adilnya. Memberi putusan pemidanaan yang ringan dan manusiawi terhadap terdakwa. Para terdakwa menyadari dan mengakui kesalahan yang telah para terdakwa lakukan dan mohon untuk diberikan kesempatan hidup guna menebus kesalahan para terdakwa tersebut.

Selain yang disampaikan kuasa hukum, dalam persidangan kali ini kedua terdakwa juga membuat pledoi sendiri dengan tulisan tangan yang meminta keringangan hukuman. Mereka mengaku terpaksa menerima pekerjaan tersebut. Lantaran untuk membayar hutang. (bib/hnd)

Exit mobile version