NANGA BULIK, PROKALTENG.CO – Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) adalah kejahatan yang melibatkan pemanfaatan seseorang dengan cara memaksa, mengancam, menipu, atau menggunakan kekerasan fisik maupun psikologis untuk tujuan eksploitasi, seperti eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan, atau bentuk eksploitasi lainnya.
“Korban perdagangan orang sering mengalami trauma psikologis yang parah dan mendalam,” ungkap Konselor UPTD PPA Kabupaten Lamandau, Yursiana Permatasari, Rabu (21/8).
Menurut Yursiana, trauma psikologis tersebut terjadi karena korban TPPO sering dipaksa hidup dalam situasi mengerikan, seperti kondisi kerja paksa yang tidak manusiawi atau dijual untuk eksploitasi seksual. Dampak dari kondisi ini bisa mempengaruhi kesehatan mental korban selama bertahun-tahun, bahkan setelah mereka berhasil diselamatkan.
“Kehidupan yang dipenuhi dengan ancaman, kekerasan, dan ketidakpastian menyebabkan trauma jangka panjang,” jelasnya.
Yursiana juga menambahkan bahwa perdagangan orang sering kali menyebabkan penghancuran keluarga dan hubungan sosial. Para korban, yang sering dipaksa terpisah dari keluarga dan teman-temannya, kehilangan kontak dengan dunia luar dan tidak dapat membangun hubungan sosial yang sehat.
Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), mayoritas korban TPPO adalah perempuan dan anak-anak. Modus operandi TPPO bervariasi, mulai dari magang kerja hingga tawaran beasiswa yang menipu.
Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mencatat, dari tahun 2023 hingga 2024, terdapat 1.581 kasus TPPO dengan 1.418 korban di antaranya adalah perempuan dan anak. Ini berarti 96% dari total korban perdagangan orang adalah perempuan dan anak.
“Para korban TPPO, khususnya anak-anak, wajib mendapatkan pelayanan rehabilitasi kesehatan dan pendampingan psikologis,” ujarnya.
Untuk mengatasi trauma pada korban, pihak UPTD PPA Kabupaten Lamandau berencana melakukan berbagai upaya perlindungan dan pendampingan, seperti konseling, asesmen kebutuhan korban, pendampingan hukum, pemeriksaan kesehatan, pemulangan korban, pemberian bantuan spesifik, serta layanan rumah aman.
“Langkah-langkah ini diambil agar trauma yang dialami korban, khususnya anak-anak, tidak mengganggu perkembangan emosi dan kognitif mereka,” terang Yursiana.
Selain dampak psikologis, TPPO juga berpengaruh negatif terhadap perekonomian dan kesejahteraan korban. Korban TPPO sering dipaksa melakukan pekerjaan dengan upah yang sangat rendah atau bahkan tanpa upah sama sekali.
“Ketika individu dipekerjakan secara paksa dalam industri tertentu, hal ini dapat menciptakan ketidakseimbangan pasar tenaga kerja dan mengurangi gaji pekerja yang sah. Dampak ini jelas merugikan kesejahteraan pekerja,” pungkas Yursiana. (bib)