Oleh ADE MULYONO
—
Ratim meringis kesakitan memegangi lengan tangannya yang nyaris putus. Darah di sekujur tubuhnya belum sepenuhnya kering. Sambil menyemburkan ludahnya ke langit, ia meninggalkan halaman rumah sakit dengan perasaan marah bercampur kecewa setelah petugas administrasi melayangkan pertanyaan menohok: Bapak punya uang?
SEPERTI kena tonjok, Ratim hanya menggeleng kemudian melangkah pergi dengan menahan amarahnya yang berkobar di dadanya. ”Asu teles ngina wong melarat,” ujarnya dengan logat Tegal yang ngapak.
Dengan wajah putus asa, pemuda berusia 25 tahun itu menyeret tubuhnya yang penuh luka menyeberangi senja di bawah kolong langit Jakarta. Makin lama ia berjalan, rasa perih di sekujur tubuhnya makin tak karuan. Terutama bagian lengan tangan kirinya yang ketamplengan.
Ratim masih berjalan di pinggir jalan raya yang tak berujung dengan harapan akan ada seseorang yang menghampirinya untuk memberikan pertolongan. Sialnya, tidak ada satu pun orang berhati malaikat yang sudi menghampirinya untuk menanyakan keadaannya.
Semua orang adalah orang lain. Ia seperti orang asing yang terasing. Jakarta telah memberikan pelajaran berharga yang tidak didapatkan di desa. Beginikah kehidupan Jakarta yang begitu asin?
Ratim hanya menggeram mencercap pedihnya tinggal di kota yang digarami rasa sakit tak terperikan. Bagaimana tidak, sedari siang tidak ada seorang pun yang menaruh belas kasihan pada dirinya, kecuali air mineral yang diberikan pedagang bakso dan sepotong roti yang dilemparkan penjaga warung Madura sebelum menyuruhnya pergi.
Siapa saja yang melihat Ratim dengan kondisi yang mengenaskan seperti itu akan dibuat ngeri –minimal takut. Jika bukan orang gila, pencoleng yang habis digebuki warga. Wajahnya bonyok dan tubuhnya dipenuhi lumuran darah. Semua orang yang melihatnya memilih kabur.
Setelah berjalan cukup lama, ia berhenti di emperan toko yang rusak. Barangkali ditinggal kabur pemiliknya. Tempatnya berantakan, puing-puing bekas jilatan api berserakan. Ia mematung mengamati pemandangan ganjil yang baru dilihatnya.
”Siapa yang habis mengamuk di sini?” ujarnya lirih.
Tiba-tiba ia mulai teringat cerita temannya saat pertama kali menghirup udara Jakarta. Temannya mengatakan belum lama ini ratusan orang mati terbakar saat menjarah sebuah toko di pusat kota. Sayangnya, cerita itu tidak ia simak dengan serius. Gedung-gedung indah yang baru dilihatnya telah menelan dirinya.
Merasa tak kuat lagi, Ratim duduk bersandar di bawah tiang listrik sambil memeriksa lukanya. Ia meringis kesakitan saat meraba luka bekas bacok di lengannya. Sesekali erangan keluar dari bibirnya yang jontor membiru bekas pentungan balok.
Senja diserap malam dan memuntahkannya menjadi gemintang di langit yang gosong bagai pantat panci setelah siang tadi dibakar terik matahari. Meski masih muda usia malam, Jakarta tampak begitu kelam. Kerusuhan yang terjadi di mana-mana menjadi biang keroknya. Presiden Soeharto yang ngotot tidak mau turun dari singgasananya disebut-sebut penyebabnya.
Mengurung diri dalam rumah barangkali salah satu cara paling aman saat ini. Di pinggir trotoar Ratim meringkuk seperti pistol sambil menembakkan pandangan matanya ke atas langit yang kelap-kelip diminyaki cahaya kuning bulan separo.
Saat itulah air matanya mengalir melintasi pipinya yang cekung. Ia tidak menyangka akan mengalami nasib sepedih ini. Sambil merenungi nasibnya yang apes, ia mulai menyesali kenekatannya merantau ke Jakarta untuk membanting kartu nasibnya.
”Maafkan anakmu, Pak,” ujarnya pelan. Masih terngiang ucapan bapaknya saat ia merengek minta ongkos untuk merantau ke Jakarta.
”Jakarta sudah berubah tidak lagi seperti yang dulu, Nak,” kata bapaknya menasihati dengan logat khas Tegal suatu sore di beranda rumahnya. ”Sekarang tidak ada kuda di Jakarta, becak barangkali juga bisa dihitung. Sebagai gantinya tenaga manusia yang diperalat. Dicambuk. Ya, tentu saja manusia tidak berijazah seperti kita. Apa yang mau kamu cari di Jakarta, sedang ijazah pun tidak ada. Bisa baca tulis pun tidak.”
”Aku bisa baca dan menulis namaku sendiri, Pak,” balas Ratim mantap.
”Apa pentingnya nama, Nak. Di Jakarta yang ditanya bukan nama, tapi keahlian yang dibuktikan dengan selembar ijazah sekolah. Bapak puluhan tahun bekerja serabutan di Jakarta. Bapak masih muda waktu PKI bikin hajatan besar di lapangan bola Senayan. Bapak tukang bersih-bersihnya di situ.
Sudah di sini saja, tiga bulan lagi Idul Adha, kerbau kita pasti laku. Apalagi sekarang Jakarta tidak aman. Kamu tidak dengar berita di radio? Kerusuhan terjadi di mana-mana.”
”Aku sudah tidak kuat tinggal di kampung. Aku ingin cepat punya banyak uang. Aku juga ingin kawin, Pak. Kebetulan ada teman yang mengajakku kerja proyek bangunan. Katanya upahnya lumayan.”
”Terus kamu punya ongkos buat bekal ke Jakarta?”
”Nah itu soalnya. Kalau boleh jual saja satu anak kerbau buat ongkos. Haji Roni mau beli tapi minta dititipkan dulu, ambilnya nanti kalau sudah besar.”
Mendengar itu, bapaknya diam. Kemiskinan menyebabkan orang lebih dekat dengan kebodohan. Dan orang bodoh lebih gampang untuk dipermainkan. Itulah yang terjadi pada Ratim sebelum akhirnya berangkat ke Jakarta dengan menjual anak kerbau peliharaannya.
Sesampainya di Jakarta, ia bekerja sebagai buruh bangunan. Ia bekerja dengan semangat sampai satu bulan penuh hingga uang bekalnya habis. Sialnya, sang mandor membawa lari uang gajiannya. Ia dan 20 kuli bangunan lainnya panik, marah, dan kecewa. Sejak saat itu ia mulai bingung apa yang harus dilakukan.
Sudah tiga hari ia dan kawan-kawannya menunggu mandornya datang berharap memberikan haknya sebagai kuli yang telah menukarkan rasa lelahnya hingga tulangnya remuk redam. Di hari keempat semua kuli bangunan sudah pergi meninggalkan sumpah serapah untuk mandor yang telah membawa lari hasil keringatnya.
Ada yang pulang ke kampung halamannya, ada yang pergi ke rumah saudaranya. Sedangkan Ratim bingung harus pergi ke mana. Uang tidak ada, apalagi saudara. Teman yang membawanya ke Jakarta pun sudah menghilang entah ke mana.
Hanya bermodal nekat ia segera mengemas pakaiannya dan pergi meninggalkan tempat proyek. Hampir separo hari Ratim menghabiskan waktunya menyusuri jalan sambil menunggu datangnya malaikat penolong yang diutus Tuhan. Di tengah jalan di dekat Pasar Kebayoran Lama, tiba-tiba sejumlah orang berlari ke arahnya. Ia terlihat bingung penuh tanya melihat banyaknya orang berlari ke arahnya.
Beberapa menit setelahnya tanpa diduga puluhan orang juga berlari ke arahnya sambil mengacungkan pedang, golok, dan balok. Dengan sigap ia memasang kuda-kuda bersiap mempertahankan diri.
Duel pun terjadi. Berkali-kali ia berhasil merobohkan lawannya sebelum satu sabetan pedang mengiris lengannya. Dengan gerakan cepat seperti kijang ia melahirkan diri. Dari situ ia menyadari bahwa dirinya terjebak di tengah perkelahian antara dua kelompok. Entah antara siapa lawan siapa.
Ratim masih lari tunggang langgang di saat bersamaan dua mobil polisi meraung-raung dan sesekali melepaskan bunyi tembakan. Ia berlari dengan tubuh gemetar menyaksikan peristiwa yang baru dialami seumur hidupnya. Barulah setelah di emperan rumah sakit ia menjatuhkan dirinya sambil berbaring berharap akan ada orang yang menolongnya.
Setelah tergolek lemah usai mengikat lengannya yang terluka dengan bajunya, ia mulai menyadari tidak ada yang peduli dengan dirinya. Rumah sakit tidak gratis, bahkan mati di tempat orang sakit pun tidak diizinkan. Sebelum akhirnya ia pergi dari rumah sakit membawa rasa kecewanya.
Saat Ratim sedang menyesali keputusannya pergi ke Jakarta, tiba-tiba segerombolan orang datang dan membangunkannya dengan menendang bokongnya. ”Hai, bangun. Tidur jangan di jalan.”
Ratim kaget dan menatap gerombolan pemuda itu dengan pasrah. ”Mungkin ini malaikat yang mengambil nyawaku,” pikirnya.
”Kamu gelandangan?” tanya salah seorang dari mereka sambil menyemburkan asap rokok ke wajah Ratim.
”Mau tempat tinggal layak? Rokok, makan, dan upah tiap bulan?” tanyanya lagi.
Ratim bingung dengan pertanyaan yang baru didengarnya.
”Ditanya kok bengong. Jawab.”
”Tanganku sedang luka, tidak bisa kerja bangunan, Pak.”
”Siapa yang mau mengajak kamu kerja bangunan? Lenganmu kenapa?”
”Kena sabetan pedang, Pak.”
”Kamu maling, apa rampok?”
”Bukan, Pak, tadi ada dua kelompok yang sedang tawuran di jalan.”
Mendengar ucapan Ratim yang kelewat jujur, mereka semua saling tatap. Kemudian salah seorang menghampirinya sambil berujar, ”Bung bisa ikut kami. Nanti kami obati luka Bung yang parah itu.”
”Namaku Ratim, Pak.”
”Oke. Ratim ikut kami pokoknya aman. Daripada jadi gelandangan di sini.”
Ratim diliputi kebingungan. Tapi luka di lengannya harus segera diobati. Dengan langkah tertatih Ratim berjalan mengikuti mereka yang akan membawanya entah ke mana.
***
Sudah lima tahun Ratim meninggalkan kampung halamannya, selama itu pula kedua orang tuanya belum ditengoknya. Kecuali sepucuk surat dan sebundel uang yang diantar oleh seseorang setiap setahun sekali dikirim Ratim untuk orang tuanya. Dalam surat itu, ia mengabarkan jika dirinya sehat dan makmur sentosa hidup di Jakarta tanpa menyebutkan profesi pekerjaannya.
Ia hanya minta doa orang tuanya, sesekali lewat tulisan tangannya yang sulit dibaca, ia menceritakan malaikat maut acap kali menghampirinya. Itu sebabnya ia meminta perisai doa orang tuanya untuk menghalau utusan Tuhan yang bengis itu.
Orang tua Ratim bersyukur jika anaknya berhasil menaklukkan Jakarta. Ia juga bahagia anaknya sudah bisa menulis, Jakarta telah mendidiknya dengan amat baik. Tidak seperti di kampung yang menuntun anaknya hanya menulis dan membaca namanya sendiri.
”Doa Bapak menyertaimu, Nak,” ujar bapaknya setelah mendengar surat dari anaknya yang dibacakan oleh tetangganya yang melek huruf sekalipun tulisan Ratim seperti ceker ayam.
”Malaikat maut tidak dapat menyentuh kulitmu selama doa ibumu masih terucap dalam setiap embusan napasku ini, Nak,” seru ibu Ratim yang bersekutu dengan suaminya dalam mendoakan anaknya.
Jika di kampung keluarga Ratim hidup bahagia berkat kiriman uang dari anak lelakinya itu, tapi tidak dengan kehidupan putranya di Jakarta. Seperti yang terjadi siang itu. Tidak jauh dari Pasar Tanah Abang terjadi tawuran mengerikan jika tidak mau disebut perkelahian massal antara kelompok Cobra melawan kelompok Jawara.
Lima jasad tanpa roh tergeletak di jalanan. Tubuhnya penuh luka bacok. Puluhan kios hancur berantakan. Satu jam kemudian puluhan mobil polisi datang terlambat seperti polisi dalam film India.
”Pasar Tanah Abang mencekam,” begitu reporter televisi memberitakan di depan kamera.
Pihak keamanan kota menuding biang kerok kerusuhan yang terjadi siang itu dipimpin oleh seorang preman bekas anggota kelompok Fajar Menyingsing yang melarikan diri ke Jakarta. Dugaan itu berdasarkan informasi dari intel kepolisian yang mencurigai bahasa ngapak pemimpinnya.
Kurang dari lima kilometer dari tempat terjadinya kerusuhan berdarah, seorang lelaki bertubuh kecil berkulit sawo matang sedang duduk dikelilingi 30 orang yang tidak lain anak buahnya. Mulutnya tidak henti-hentinya mengeluarkan asap rokok sambil mengumpat: ”Nyawa harus dibayar dengan nyawa.”
Kemudian lelaki itu masuk ke dalam kamar dan keluar dengan menenteng pedang. Semua orang menunduk, tidak ada yang berani menatap matanya yang menyala.
”Kalian lihat aku hanya punya satu tangan kanan dan dengan tangan kanan ini akan kubalas kematian teman-teman kita,” ujarnya dengan nada tinggi. ”Di Jakarta kita adalah saudara.
Apa yang kalian makan, itulah yang aku makan. Di tempat ini aku menaruh nyawaku. Jangan panggil aku jagoan tangan buntung jika tidak bisa merebut kembali lahan penghidupan kita. Biar buntung semua tanganku asal Pasar Tanah Abang dapat kita rebut kembali. Nanti subuh kita serbu kelompok Jawara.”
”Siap,” balas anak buahnya berjemaah. ”Hidup Bang Ratim. Hidup jagoan tangan buntung.”
Itulah pidato heroik terakhir Ratim sebelum malam harinya diculik dan ditemukan sudah menjadi mayat terapung sungai. Ia tewas sebelum membela diri, bahkan hanya untuk berkata: aku bukan preman!
Beberapa bulan kemudian sejumlah preman di berbagai daerah juga ditemukan mati dengan luka tembak di kepalanya dalam peristiwa petrus. Itulah tahun-tahun mengerikan bagi para preman yang sedang diburu peluru. (*)
—
ADE MULYONO, Esais dan prosais, novel terbarunya Jingga (2023)