Site icon Prokalteng

Turun Mesin Pemberantasan Korupsi

Giri Suprapdiono

RABU Pahing (22/11) tengah malam jelang Kamis Pon (23/11) dini hari, kita dientakkan kabar yang tidak mengherankan namun membuat bahagia sebagian besar aktivis antikorupsi. Tidak terkecuali saya dan rekan-rekan korban tes wawasan kebangsaan (TWK).

Malam itu, Firli Bahuri, ketua KPK, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya. Tidak tanggung-tanggung, Firli dijerat dengan tiga pasal. Yakni dugaan gratifikasi, pemerasan, dan penerimaan hadiah. Tidak mustahil hukuman maksimal seumur hidup bakal dijalaninya apabila telah diputus bersalah oleh pengadilan.

Tentu, ini sebuah ironi karena seorang ketua KPK menjadi tersangka di kasus korupsi yang sedang ditanganinya. Ini menjadi skandal yang memalukan sejarah pemberantasan korupsi di negeri ini. Daya kejutnya lebih besar daripada mundurnya pimpinan KPK lain di periode yang sama, yakni Lili Pintauli Siregar.

Bagi saya, Firli bukanlah Firli. Firli adalah konteks. Istilah yang saya pinjam dari politikus saat ini yang kerap berakrobat dengan diksi dan narasi atas ketidakkonsistenannya dalam berpihak. Firli adalah konteks pemberantasan korupsi yang sedang mengalami kemunduran hebat dan menuju bencana. Sebuah KPK’s debacle, bencana terhadap runtuhnya kepercayaan publik dalam pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Di era kepemimpinan Firli, skor indeks persepsi korupsi (IPK) merosot dari skor 40 pada 2019 menjadi 34 pada 2022. Turun sebanyak 6 poin. Sebuah penurunan IPK terburuk sepanjang sejarah reformasi. Menurut Economic Implications Research Papers yang dirilis pada 2007 dan 2008, penurunan 1 poin skor IPK setara dengan kehilangan Rp 273 triliun GDP suatu negara.

Artinya, penurunan 6 poin IPK setara dengan kehilangan Rp 1.638 triliun GDP di periode 2019–2022. Firli dan pimpinan KPK bertanggung jawab atas kehilangan ini, karena ini menjadi tanggung jawab lembaga antirasuah tersebut.

Serangkaian ’’bencana’’ yang menimpa di era kepemimpinan Firli menunjukkan bahwa kebijakan antikorupsi dengan merevisi UU KPK dan diikuti dengan pelemahan lain, termasuk TWK, membuktikan bahwa strategi tersebut adalah salah. Strategi pemberantasan korupsi tidak berada di ruang hampa, tetapi ia membutuhkan komitmen politik. Juga membutuhkan kecukupan sumber daya, membutuhkan kecukupan hukum dan strategi yang tepat.

Dan strategi yang tepat itu membutuhkan peran serta masyarakat. Peran serta ini yang diharapkan bisa tumbuh ternyata merosot karena kepercayaan masyarakat pada KPK makin rendah.

Usai Firli menjadi tersangka, lantas apa yang harus dilakukan? Ini yang menjadi PR selanjutnya. Mengembalikan kepercayaan masyarakat adalah salah satunya. Tentu ini bukan kerja ringan. Apalagi di tengah situasi KPK saat ini yang sedang mengalami proses pembusukan.

Strategi yang tepat untuk membangun kepercayaan masyarakat adalah dengan komitmen yang kuat dari presiden. Sebagai kepala negara, presiden harus menunjukkan bahwa kerusakan yang terjadi di KPK harus dihentikan.

Strategi pemberantasan korupsi harus ditinjau kembali. Bahkan, jika perlu dilakukan dengan membuka peluang mengembalikan UU KPK yang dulu. Presiden harus menunjukkan sinyal keseriusan, terutama di masa akhir kepemimpinannya saat ini.

Dengan turunnya IPK yang kembali ke 8 tahun yang lalu adalah fakta yang harus disikapi dengan program-program yang tidak cukup dengan program yang biasa saja. Kita mesti berkaca pada strategi yang dilakukan Malaysia ketika terpuruk dalam penurunan IPK dan kemudian bisa menaikkan IPK sebanyak 6 poin di zaman Mahathir Mohamad.

Strategi-strategi yang bisa dilakukan, misalnya, menjauhkan politikus untuk menduduki posisi di BUMN atau menduduki posisi-posisi strategis. Semisal menjadi duta besar dan lain-lain. Berikutnya adalah memperkuat KPK dengan menjadikan champion-champion KPK untuk ditempatkan di posisi penting di pemerintahan. Termasuk di BUMN dan sektor-sektor yang dianggap penting.

Kemudian memperkuat KPK, baik dari jumlah personel, dan memperbaiki criminal justice system. Presiden perlu meninjau kembali apakah membutuhkan satu lembaga pemberantasan korupsi atau lembaga yang bertanggung jawab terhadap pemberantasan korupsi.

Yang berikutnya adalah strategi memperkuat fungsi khusus pemberantasan korupsi, misalkan kewenangan dalam penindakan. Termasuk memperkuat sanksi-sanksi. Yang terakhir adalah membangun keteladanan, karena sebenarnya di Indonesia terjadi kemiskinan keteladanan dari pimpinan politik dan pimpinan lembaga. Jadi, apa pun upaya pendidikan dan pencegahan tidak akan berhasil jika dilakukan tanpa keteladanan.

Kemudian, berkaca pada kasus yang berjalan saat ini, pemberantas telah menjadi pemeras, maka sebaiknya presiden meninjau kembali empat pimpinan lainnya. Perlu diberlakukan pergantian semua pimpinan melalui Plt demi menyelamatkan pemberantasan korupsi di KPK.

KPK perlu di-overhaul, turun mesin, karena memang kepemimpinan yang ada saat ini itu mengalami kerusakan-kerusakan yang fundamental. Salah satunya integritas yang menurun.

Terlepas dari semua fenomena saat ini, kita akan menghadapi pesta demokrasi untuk memilih pimpinan negara ini. Kita harus pastikan presiden ke depan adalah sosok yang berani melindungi pemberantasan korupsi yang bukan sekadar melancarkan investasi, tapi juga membawa keadilan.

Tentu masih ada harapan dalam pemberantasan korupsi. Dan hari ini adalah salah satu titik cerah pemberantasan korupsi. Semoga harapan itu tetap ada. (*)

*) GIRI SUPRAPDIONO, Mantan direktur sosialisasi dan kampanye antikorupsi KPK

Exit mobile version