Site icon Prokalteng

Keadilan dalam Investasi

Abdul Aziz SR

TRAGEDI di Rempang, Galang, Kepulauan Riau, hanyalah sepotong dari sederet panjang sisi buruk kegiatan investasi di negeri ini. Seluruh dunia menyaksikan betapa negara –melalui instrumennya yang bernama polisi, tentara, dan aparatus birokrasi– memperlakukan warga sipil (masyarakat adat) yang tak berdaya dengan kejam.

Enam belas kampung tua masyarakat Melayu hendak dikosongkan. Wajah negara seketika berubah; dari pelindung menjadi penindas warga. Itu dilakukan atas nama dan untuk kepentingan investasi.

Bahwa investasi itu sangat perlu dan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara sudah menjadi dalil yang diakui hingga hari ini. Tinggal masalahnya, bagaimana model kebijakan dan metode dalam menempatkan kegiatan investasi tersebut.

Investasi itu untuk masa depan yang lebih baik. Ia hadir atau dihadirkan dengan dua misi utama, yakni menopang pertumbuhan ekonomi dan memberikan kontribusi bagi penciptaan kesejahteraan masyarakat di masa depan. Tak terkecuali di Rempang, investasi selain diharapkan membawa beragam perubahan, juga menggairahkan ekonomi untuk bergerak dan tumbuh lebih cepat.

 

Nihil Keramahan Sosial

Dalam konteks ekonomi modern, investasi berlangsung antarnegara, ada home country dan ada host country. Keduanya berada dalam hubungan ekonomi yang saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Host country masih bisa mendapatkan keuntungan lain berupa multiplier effect dari kegiatan investasi. Dengan begitu, investasi sesungguhnya memberikan harapan dan membawa kemakmuran.

Tetapi, yang terjadi di Rempang, justru praktik investasi yang kehilangan makna filosofisnya. Ia justru membawa mimpi buruk bagi masyarakat setempat. Wajah investasi berubah dari kemuliaan ekonomi menjadi kezaliman negara.

Warga Rempang yang telah mendiami bumi itu sejak abad ke-19 tiba-tiba harus terusir secara tragis. Kekuatan administrasi dan senjata memaksa mereka pergi dari rumah dan tanah mereka sendiri.

Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan tanpa ragu akan menggunakan segala kemampuan yang ada padanya untuk ’’membuldoser’’ siapa pun yang menghalangi investasi, seolah terkonfirmasi dengan apa yang kemudian terjadi di Rempang.

Sementara Presiden Joko Widodo pada suatu kesempatan justru tegas sekali meminta para menterinya untuk cermat dalam memberikan izin investasi dan harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat lokal, terlebih yang sudah lama menetap di situ.

Rencana kegiatan investasi yang bernilai ratusan triliun rupiah dari Tiongkok sebagai home country tentu menarik dan perlu direalisasikan dengan baik. Namun, betapa pun itu, tidak ada alasan sedikit pun dan dari sisi mana pun untuk mengintimidasi, menzalimi, dan mengusir paksa warga Rempang dari tanah dan kampung milik mereka sendiri.

Fakta Rempang hari ini mempertontonkan betapa negara berada di bawah kendali investor. Begitu sigapnya Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Agrarian dan Tata Ruang merealisasikan proposal investor.

PT Makmur Elok Graha yang menggandeng raksasa kaca Tiongkok Xinyi mampu mendesak pemerintah untuk segera membebaskan lahan dan mengosongkan kampung-kampung.

Pemerintah bisa saja memberikan ganti rugi kepada warga Rempang. Tetapi, bukan itu masalahnya. Apakah ada kelangkaan lahan di Kepulauan Riau sehingga harus memusnahkan kampung-kampung adat yang dihuni oleh sepuluh ribu jiwa lebih?

Investasi bisa berubah menjadi bencana sosial dan kemanusiaan ketika yang diutamakan hanya variabel ekonomi semata. Sementara aspek-aspek nonekonomi seperti sosial budaya dan kepentingan masyarakat lainnya diabaikan, bahkan ditindas. Banyak contoh yang dapat disebut.

Di antaranya, kegiatan investasi tambang emas Freeport di Papua, tambang nikel di Halmahera dan Konawe, tambang emas di Sumbawa Barat, dan tambang batu bara di sejumlah daerah di Kalimantan dan Sumatera. Semuanya bermasalah dan menyisakan penderitaan tak terperikan bagi masyarakat setempat.

Selain lebih mengutamakan faktor ekonomi, kegiatan investasi selama ini juga lebih melayani kepentingan investor (dan home country) serta elite politik. Investor semata-mata berambisi meraih laba sebesar-besarnya, elite politik berkepentingan mendapatkan keuntungan ekonomi dan kekuasaan sekaligus. Sementara kepentingan publik akan kesejahteraan justru sangat minim. Dalam konteks inilah, kegiatan-kegiatan investasi hilang keramahan sosialnya.

 

Perspektif Keadilan

Studi Acemoglu dan Robinson (2012) menunjukkan, di banyak negara di mana pola-pola ekstraktif dalam kehidupan ekonomi berlangsung sistematis. Di satu sisi, memang ada upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kekayaan, namun di sisi lain diikuti dengan tindakan pengurasan oleh mereka yang berkuasa (secara politik dan ekonomi).

Pola-pola ekstraktif dalam kegiatan investasi di republik ini tidak hanya tampak jelas, melainkan juga semakin menjadi-jadi. Mengapa? Setidaknya karena tiga faktor. Pertama, kegiatan investasi menjadi lahan praktik kolusi antara investor dan pejabat-pejabat negara.

Kedua, banyak pejabat negara yang merangkap pengusaha dan memiliki kewenangan membuat kebijakan yang bersentuhan dengan bisnisnya sehingga conflict of interest sulit dihindari. Ketiga, politisi selalu membutuhkan dana besar terutama di musim-musim pemilu, dan untuk itu sering kali melakukan transaksi ’’sistem ijon” dengan pengusaha.

Pada titik inilah menjadi teramat penting memikirkan kembali kegiatan-kegiatan investasi untuk diletakkan dalam kerangka keadilan sosial. Hal itu tidak hanya menjadi pesan konstitusi, melainkan juga kewajiban negara untuk menyejahterakan warganya.

Keadilan dalam investasi dapat diwujudkan dalam beragam bentuk. Misalnya, mengakui hak-hak warga atas tanah dan memperlakukannya dengan baik. Pada laporannya tahun 2005, World Bank menjelaskan betapa pengakuan dan kepastian hak atas tanah turut mendukung keberhasilan investasi.

Dimensi keadilan dalam investasi yang cukup mendasar dapat diletakkan pada perjanjian antara investor dan pemerintah. Investor perlu mendapat posisi yang wajar dan berhak mengejar nilai lebih dari kegiatan usahanya.

Sementara pemerintah dituntut untuk melihat kepentingan yang lebih besar, baik dalam konteks ekonomi maupun sosial budaya dan lingkungan.

Investasi dikatakan adil jika, di satu sisi, memberikan keuntungan yang besar bagi investor, di sisi lain memberikan kemanfaatan yang besar pula kepada negara serta kemaslahatan yang bermakna bagi masyarakat. Wallahu’alam.

 

*) Abdul Azis S.R, Dosen Ekonomi Politik FISIP Universitas Brawijaya

Exit mobile version