IKLIM keamanan sekolah menurun. Data rapor pendidikan 2023 menunjukkan, skor iklim keamanan sekolah pada jenjang SMP/MTs/sederajat turun menjadi 65,29 dari tahun sebelumnya 68,25 dan di jenjang SMA/SMK/MA/sederajat turun menjadi 66,87 dari tahun sebelumnya 71,96. Hanya di jenjang SD/MI/sederajat yang skornya naik tipis 68,18 dari tahun sebelumnya 66,57 (Jawa Pos, 29/9/2023).
Data penurunan iklim sekolah berkorelasi dengan masifnya kasus-kasus kekerasan di sekolah akhir-akhir ini. Seperti kasus guru mencukur rambut belasan siswi karena tak memakai jilbab sesuai aturan sekolah di Lamongan; seorang siswi SD di Gresik diduga dipalak dan dicolok matanya hingga buta oleh kakak kelas; seorang siswi SD di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, diduga melompat dari lantai 4 gedung sekolah; siswa madrasah aliyah di Demak membacok gurunya karena dilarang mengikuti ujian tengah semester; dan penganiayaan anak SMP di Cilacap.
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menunjukkan hal yang sama. Angka kekerasan terhadap anak di sekolah meningkat dari 7,6 persen pada tahun 2022 menjadi 8,7 persen pada periode Januari–Agustus 2023. Ini harus menjadi alarm keras para pendidik. Guru tidak bisa berleha-leha. Kondisi tersebut menuntut perhatian dan kerja keras para guru.
Menurut penulis sebagai guru, ada beberapa penyebab perundungan masih terus terjadi di sekolah. Pertama, implementasi regulasi perlindungan anak belum terlaksana. Kita telah memiliki regulasi perlindungan anak di sekolah, antara lain sekolah ramah anak (SRA). Sejak tahun 2015 Kemen PPPA menginisiasi SRA. Saat ini jumlah sekolah berpredikat SRA ada sebanyak 22.170 sekolah dari total jumlah sekolah sebanyak 218.600 sekolah.
Selain itu, ada Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Dan yang baru diluncurkan melalui ”Merdeka Belajar Episode 25” pada Agustus 2023 adalah Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP).
Regulasi-regulasi itu belum terimplementasi di sekolah. Seperti yang disampaikan Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim, regulasi-regulasi tersebut bak macan kertas: galak di tulisan, tetapi lemah dalam implementasi di sekolah. Belum terimplementasi disebabkan kurangnya sosialisasi dari Kemendikbudristek sehingga sekolah belum memahami. Selain itu, sekolah dalam memaknai regulasi hanya dimaknai sebatas ”proyek” kegiatan sekolah untuk memenuhi administrasi kurikulum.
Hukuman Fisik vs Disiplin Positif
Kedua, guru masih menerapkan hukuman dan sanksi (fisik maupun verbal). Padahal, dengan hukuman fisik telah memproduksi kekerasan baru. Hukuman dengan maksud menimbulkan efek jera justru memunculkan perlawanan dan balas dendam. Murid melampiaskan dendamnya langsung kepada guru atau kepala sekolah. Sering pula dendam dilampiaskan kepada murid lain yang lebih lemah.
Dalam mendisiplinkan, guru seharusnya tidak lagi menerapkan hukuman, tetapi menerapkan disiplin positif. Konsep disiplin positif menghilangkan gagasan bahwa hukuman adalah cara terbaik untuk mengubah perilaku buruk. Disiplin seharusnya bukan tentang mengendalikan anak. Sebaliknya, disiplin seharusnya tentang mengajar anak untuk mengendalikan dirinya sendiri. Disiplin positif akan membangun hubungan yang sehat dan komunikatif antara guru dan peserta didik (Savitri, 2021).
Disiplin positif diterapkan dengan meminimalkan rasa frustrasi anak sehingga perilaku buruk anak berkurang tanpa harus mendapat hukuman. Dalam disiplin positif tetap ada konsekuensi negatif bagi anak atas perilaku yang salah, tetapi juga ada langkah-langkah untuk mencegah perilaku buruk sebelumnya.
Ketiga, kelemahan anak dalam mengelola emosi. Mengapa anak cenderung menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan? Pada sistem pendidikan kita lebih dominan mengajarkan kecerdasan kognitif. Anak banyak memiliki pengetahuan, tetapi miskin kesadaran dan tindakan.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan memantau perasaan dan emosi, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi tersebut untuk membimbing pikiran dan tindakan (Lawrence E. Shapiro, 1999).
Keempat, minimnya peran orang tua dan masyarakat. Orang tua sekarang cenderung menyerahkan pendidikan anak hanya kepada sekolah. Padahal, Ki Hadjar Dewantara menyatakan, keberhasilan pendidikan harus didukung oleh ”tri pusat pendidikan”, yaitu sekolah, orang tua, dan masyarakat. Kepedulian orang tua, masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama, pemerintah, dinas pendidikan, dan lembaga penegak hukum mutlak dibutuhkan dalam menanggulangi kekerasan oleh anak.
Kelima, anak memakai gawai berlebihan. Media sosial berpengaruh besar pada anak. Ada banyak kasus anak melakukan aksi kekerasan karena terinspirasi dari media sosial. Media sosial pun dijadikan ajang saling ejek dan saling tantang yang berujung pada perkelahian.
Sementara pengguna media sosial di Indonesia cukup tinggi. Data WeAreSocial (2023) menyebutkan, jumlah pengguna media sosial di tanah air sebanyak 167 juta orang atau 60,4 persen dari 276,4 juta penduduk. Di mana rata-rata orang Indonesia menggunakan media sosial lebih dari tiga jam sehari.
Pendampingan orang tua dan peningkatan literasi digital anak sangat diperlukan. Literasi digital yang memadai menjadikan anak berpikir kritis sehingga tidak mudah terjerumus dalam informasi menyesatkan. Guru berperan sangat penting untuk menjadikan sekolah sebagai tempat aman bagi peserta didik. Namun, guru tetap membutuhkan dukungan orang tua karena pendidikan karakter yang pertama dan utama berlangsung di rumah. (*)
*) UDI UTOMO, Guru SMPN 5 Pati, alumnus Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung