Site icon Prokalteng

Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya, Ini 7 Perilaku Orang Tua yang Patut Dihindari

Ilustrasi orang tua yang menjadi panutan bagi anaknya./Pixabay

PROKALTENG.CO – Perlu kita ketahui bahwa anak selalu meniru perilaku orang tuanya, mulai dari hal kecil hingga besar. Maka jangan langsung salahkan mereka jika ada sesuatu yang salah.

Mengutip dari laman Rumah Anak Mandiri, ada sebuah istilah yang cukup terkenal “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Inilah frasa yang mengungkapkan bahwa perilaku anak tidak jauh dari orang tuanya.

Apapun yang diperlihatkan oleh orang tuanya melalui perkataan atau perilaku akan ditangkap atau direkam oleh anak. Dengan kata lain, mereka layaknya sebuah mesin fotocopy tercanggih di dunia.

Apabila orang tua tak bisa menjadi panutan baik bagi anak, maka akan mengalami kebingungan dan sangat berpengaruh pada saat mereka beranjak dewasa.

Melansir dari laman Baseline Mag, jika kamu ingin menjadi orang tua panutan bagi anakmu seiring bertambahnya usia, ucapkan selamat tinggal pada 7 perilaku ini :

  1. Tidak mengakui kesalahan dirimu sendiri

Meskipun kita tak suka melakukan kesalahan, seringkali hal tersebut merupakan momen paling bisa memberikan pelajaran terutama bagi anak-anak. Ketika kamu selalu menyangkal kesalahan, mereka akan mengambil kebiasaan buruk tersebut.

Saat orang tua mencontohkan sikap perfeksionisme atau defensif, anak belajar menghindari tanggung jawab atau keterbukaan karena takut hal ini bisa membuat mereka merasa “kurang”.

Di sisi lain, menunjukkan kepada anak bagaimana mengakui kesalahan adalah salah satu pelajaran paling berharga yang dapat kita berikan kepada mereka.

  1. Menunjukkan kurangnya empati

Empati adalah salah satu kualitas yang mudah diabaikan dalam kehidupan sehari-hari, tapi penting untuk membangun hubungan yang bermakna. Anak sangat jeli dan memahami cara kita bereaksi terhadap emosi dan situasi orang lain.

Ketika mereka melihat kita mengabaikan perasaan seseorang, menunjukkan ketidaksabaran, atau mengabaikan sudut pandang orang lain, mereka mulai belajar bahwa emosi adalah sesuatu yang harus diabaikan atau, lebih buruk lagi, bahwa pengalaman orang lain tidak sepenting pengalaman mereka sendiri.

Saat kita mendengarkan secara aktif, bahkan dalam interaksi sederhana seperti ngobrol singkat dengan tetangga atau membantu seseorang yang membutuhkan, dapat memberi anak-anak posisi terdepan dalam tindakan empati.

Momen kecil seperti ini menunjukkan kepada anak-anak bahwa empati adalah pilihan aktif, dan mereka mulai melihat betapa hebatnya membuat seseorang merasa diperhatikan dan dipahami.

  1. Terlibat dalam komunikasi negatif

Kita semua mengalami momen-momen tersebut, terutama saat frustrasi atau stres. Tapi anak-anak selalu memperhatikan, dan ketika mereka melihat terlibat dalam komunikasi negatif entah itu bergosip, berbicara kasar, atau mengeluh tentang orang lain akan mulai menganggap hal ini dengan wajar.

Meskipun kita menganggapnya sebagai pelampiasan yang tidak berbahaya, anak-anak mungkin menafsirkannya sebagai izin untuk berbicara tentang orang lain dengan cara yang menyakitkan atau menghakimi.

Daripada melampiaskan rasa frustrasi, kita bisa fokus pada solusi, menunjukkan kepada anak cara berkomunikasi dengan penuh rasa hormat, bahkan dalam situasi yang menantang.

  1. Tidak konsisten dengan aturan dan harapan

Mungkin karena mengabaikan aturan “tidak ada makanan penutup” atau menutup mata terhadap beberapa pekerjaan rumah yang diabaikan karena terlalu lelah akan membuat anak menangkap ketidakkonsistenan.

Ketidakkonsistenan ini dapat menyebabkan kurangnya rasa hormat terhadap aturan dan bahkan menimbulkan kecemasan ketika anak-anak kesulitan memahami hal yang sebenarnya diharapkan dari mereka.

Kuncinya bukan pada kedisiplinan yang sempurna, tapi menciptakan lingkungan yang stabil dimana peraturan dapat diprediksi dan adil.

Jika kita berpegang teguh pada sesuatu yang dikatakan, meskipun saat itu sulit, tapi akan menunjukkan kepada anak-anak bahwa batasan itu penting dan bisa dibuat dengan berbagai pertimbangan.

  1. Tak ada batasan pribadi

Terkadang hal ini tampak tidak berbahaya, mungkin kamu bisa saja memasuki kamarnya tanpa mengetuk atau meminta informasi yang belum siap dibagikan. Tapi tindakan kecil ini dapat mengirimkan pesan yang kuat bahwa privasi mereka tidak dihargai.

Ketika anak-anak merasa bahwa ruang pribadi atau keputusan mereka terus-menerus diabaikan, mungkin akan menutup diri atau mulai merasa cemas dalam memaksakan kebutuhan sendiri.

Jika anak melihat bahwa ruang pribadi mereka dihormati, mereka belajar untuk menghormati batasan orang lain juga. Selain itu, hal ini menumbuhkan rasa percaya dan aman.

  1. Mengabaikan kesehatan mental sendiri

Jika kita terus-menerus mengutamakan kesejahteraan mental, anak-anak akan mulai menyadari bahwa menjaga diri sendiri bukanlah prioritas.

Disadari atau tidak, mereka menyerap gagasan bahwa stres, kecemasan, dan kelelahan hanyalah bagian dari kehidupan yang dijalani, bukan tanda bahwa ada sesuatu yang perlu diperhatikan.

Dengan memprioritaskan kesehatan mental, kamu sebenarnya memberikan contoh yang baik bagi mereka. Menunjukkan kepada anak bahwa tidak apa-apa untuk beristirahat, meminta bantuan, atau bahkan mengambil hari “libur”.

  1. Tak mempraktikkan nasihat yang dikeluarkan

Kita semua ingin menjadi panutan bagi anak-anak kita, tapi terkadang ucapan lebih mudah dibanding praktiknya. Mungkin orang tua bersikeras pada pentingnya makan sehat tetapi dia malah memakan junk food.

Mereka mungkin mulai bertanya-tanya apakah nilai-nilai tersebut benar-benar penting atau hanya sekedar “aturan” yang tidak perlu ditanggapi dengan serius.

Konsistensi antara kata-kata dan tindakan sangat penting untuk mengajarkan nasihat yang melekat. Seiring berjalannya waktu, keaslian ini memberikan dampak yang bertahan lama, mengajarkan mereka bahwa integritas adalah tentang menyelaraskan antara ucapan dan tindakan. (pri/jawapos.com)

Exit mobile version