PASAR modal Indonesia sedang menikmati kebangkitan investor ritel dalam dua tahun terakhir. Secara tahunan atau year-on-year (YoY), jumlah investor pasar modal meningkat 96 persen sehingga mencapai 5,6 juta orang per Juni 2021. Potensi kenaikan investor ritel masih sangat terbuka lebar mengingat jumlah penduduk Indonesia mencapai 220 juta jiwa lebih.
Kenaikan investor ritel tidak lepas dari dampak pandemi Covid-19 dan besarnya generasi milenial. Pandemi Covid-19 yang terjadi sejak Maret 2020 membawa banyak perubahan dalam tatanan ekonomi berbagai negara. Sebagian orang harus bekerja di rumah. Sebagian lagi bekerja di kantor, tetapi langsung pulang ke rumah di jam pulang kantor. Orang sekarang jarang yang nongkrong di kafe, makan di restoran, tapi semua dilakukan dengan online. Ini membuat jam kosong orang bertambah, ditambah pengeluaran juga berkurang.
Di sisi lain, kehadiran teknologi membuat informasi begitu cepat tersebar. Ketika ada yang bicara keuntungan investasi saham, banyak orang ingin ikut. Didukung langkah OJK mempermudah pembukaan rekening efek yang saat ini bisa dilakukan 100 persen online, membuat banyak masyarakat ikut bertransaksi saham.
Generasi milenial yang akrab dengan teknologi, ditambah waktu dan dana tersedia karena mereka sudah bekerja, menimbulkan lonjakan investor ritel di pasar modal. Di sisi lain, perbankan sedang mengalami limpahan likuiditas akibat konsumsi turun karena pandemi Covid-19 dan tabungan meningkat. Hal ini memaksa bank menurunkan tingkat bunga untuk menurunkan cost of fund akibat tingginya likuiditas. Hasilnya, banyak orang yang memindahkan dananya dari bank ke pasar modal.
Di tengah lonjakan investor ritel yang sangat besar, ada beberapa masalah yang dihadapi industri keuangan yang suka tidak suka berdampak pada pasar modal Indonesia. Salah satu yang cukup mendapat perhatian adalah Jiwasraya, yang mengalami masalah tidak mampu membayar polis asuransi (gagal bayar) produk JS Saving Plan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan masalah Jiwasraya dimulai sejak 2002. Tetapi, pada 2006 Jiwasraya berhasil membukukan laba semu.
Tahun 2015 Jiwasraya meluncurkan produk JS Saving Plan dengan cost of fund yang sangat tinggi di atas bunga deposito dan obligasi. Tujuan produk ini tentu menarik dana masyarakat dan memperbaiki likuiditas perusahaan. Dana ini diinvestasikan pada instrumen saham dan reksa dana yang berkualitas rendah.
Pada 2017, Jiwasraya memperoleh opini tidak wajar dalam laporan keuangannya di saat perusahaan mampu membukukan laba Rp 360,3 miliar. Opini tidak wajar akibat adanya kekurangan pencadangan Rp 7,7 triliun, di mana jika pencadangan dilakukan sesuai ketentuan, seharusnya perusahaan menderita rugi. Tahun 2018 Jiwasraya akhirnya membukukan kerugian unaudited Rp 15,3 triliun. Dan pada September 2019, kerugian menurun jadi Rp 13,7 triliun. Kemudian pada November 2019, Jiwasraya mengalami negative equity Rp 27,2 triliun.
Kejahatan di industri keuangan yang dikenal dengan kerah putih memang sulit dideteksi karena pelakunya berpengalaman, mengetahui aturan, dan mempelajari celah hukum. Hanya dengan audit yang benar-benar cermat kejahatan ini mampu diidentifikasi. Kasus ini sekarang ditangani Kejaksaan Agung dengan beberapa orang yang dianggap terlibat telah dijatuhi hukuman.
Selain kasus Jiwasraya, ada kasus PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) yang juga ditangani Kejaksaan Agung. Bahkan, Kejaksaan Agung menganggap kasus ASABRI merupakan kasus korupsi terbesar di Indonesia dengan kerugian Rp 23,7 triliun. Beberapa nama yang terlibat kasus Jiwasraya kembali disebut-sebut terlibat dalam kasus ASABRI. Dalam dua kasus ini, keluar beberapa nama manajer investasi yang juga dijadikan tersangka atau tersangka korporasi.
Mereka Tangguh dan Tak Pernah Mengeluh
Tidak cukup sampai di sana, Kejaksaan Agung juga melakukan penyidikan terhadap dugaan kasus korupsi BPJS Ketenagakerjaan. Masalah timbul karena ada potensi kerugian dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi di BPJS Ketenagakerjaan yang dulu bernama Jamsostek. Menurut penulis, besar kemungkian kasus BPJS Ketenagakerjaan murni kerugian investasi akibat dampak pandemi Covid-19 dan bukan kasus korupsi. Hal ini karena kerugian semakin kecil seiring dengan pulihnya pasar modal selama periode pandemi Covid-19.
Beberapa kasus yang menjerat institusi asuransi dan manajer investasi membuat banyak lembaga pengelola dana menjadi superhati-hati dalam menaruh dananya di pasar modal. Hal ini terutama bagi lembaga keuangan yang ada kaitan dengan pemerintah, baik BUMN, BUMD, maupun pemerintah sendiri. Pengelola dana tersebut tentu khawatir bila kerugian investasi akibat perubahan kondisi ekonomi atau kinerja perusahaan dikriminalisasi. Kerugian murni karena investasi dianggap sebagai kerugian negara sehingga terancam pidana.
Hal inilah yang terlihat dalam beberapa bulan terakhir. Lebih banyak saham berkapitalisasi kecil yang mengalami kenaikan signifikan. Sedangkan saham-saham blue chip yang berfundamental kuat serta berkapitalisasi besar tidak terlalu bergerak. Saham-saham berfundamental kuat biasa dipegang oleh institusi yang saat ini terlihat sangat berhati-hati dalam berinvestasi.
Investor ritel terlihat aktif bertransaksi di saham-saham berkapitalisasi kecil karena faktor satuan harga yang dianggap murah dan volatilitas yang tinggi. Saham yang mengalami kenaikan tinggi menarik minat investor ritel untuk ikut bertransaksi. Tetapi, tentu ini membawa potensi risiko di masa yang akan datang, di mana harga saham yang naik banyak tanpa didukung fundamental yang solid tentu berisiko turun besar. Ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama dan mungkin pelaku pasar tidak boleh membebankan semua masalah ini pada otoritas di pasar modal. (*)
Hans Kwee, Dosen FEB Trisaktidan MET Atma Jaya