Site icon Prokalteng

Pengakuan Masyarakat Hukum Adat

pengakuan-masyarakat-hukum-adat

SEBUT saja Indigenous Peoples,
inilah istilah yang dipakai dalam dunia internasional untuk nama Masyarakat
Hukum Adat (MHA). Di mana satu kesatuan masyarakat yang telah ada sejak zaman
dulu dengan pranata sosial dan peradaban lokal yang dimilikinya dalam satu
wilayah tertentu dengan kearifan lokal, pengetahuan dan cara beradaptasi dengan
alam dan lingkungan secara turun temurun.

MHA tentunya bisa lebih dulu ada
dibandingkan dengan sejarah NKRI karena sudah lebih dulu tinggal di semua
belahan daerah yang tersebar di seluruh nusantara. Sehingga MHA sebagai subyek
hukum beserta obyek hukumnya misalnya Hutan Adat tentu diakui keberadaannya
sesuai dengan konstitusi negara kita, sebagaimana termuat dalam UUD 1945 pada
pasal Pasal 18B (2) dan Pasal 28I ayat (3).

Dalam dinamika pembangunan tentu
keberadaan MHA tidak bisa dipungkiri menjadi bagian warna tersendiri dalam
proses pembangunan di dusun/desa/daerah (baca: kawasan wilayah terpencil dan
kadang terisolasi), karena tentunya mempunyai hak yang sama untuk mengakses
hasil pembangunan. Namun pada kenyataannya, justru MHA terkadang
termarjinalisasi dari rejim pembangunan bahkan masih banyak yang tidak mendapat
pengakuan keberadaannya secara konstitusi sebagai objek selaku MHA.

Padahal dengan keberadaan MHA
tentunya memiliki obyek seperti letak dan luasnya; batas-batas wilayah adatnya;
kondisi fisik lingkungan adatnya hingga fungsi obyek hutan adat yang
disepakati. Dalam hal penguasaan obyek ini yang sering terjadi akar masalah
konflik tenurial antara MHA dengan pemerintah daerah, konsensi dan pihak-pihak
lainnya. Terkadang tanpa mereka sadari dan ketahui tiba-tiba saja wilayah adat
dan Hutan Adatnya sudah menjadi bagian dari konsesi sehingga mereka tidak
diperbolehkan dan tidak memiliki akses untuk “mengelola” yang seharusnya
menjadi hak ulayat mereka dengan prinsip kearifan lokal yang mereka miliki.

Hutan Adat untuk Kawasan Konservasi

Dalam sejarah peradaban kita
mengetahui, bahwa nenek moyang sangat memahami bagaimana mengelola sumber daya
alam (SDA) tanpa merusak dan tetap bersatu dengan alam, namun sejak era
revolusi industri dengan tingkat pertumbuhan penduduk telah mengikuti deret
ukur sedangkan tingkat pertumbuhan produksi pangan hanya mengikuti deret hitung
(Thomas Robert Malthus).  Maka mulai
dilakukan eksploitasi SDA dengan teknologi untuk memenuhi kebutuhan umat
manusia hingga tentunya menyebabkan masalah lingkungan, misalnya indeks
kualitas tutupan lahan (IKTL) dan indeks tutupan hutan (ITH) yang semakin
mengecil terutama hutan sebagai penyangga biosfer kehidupan dunia semakin
sedikit. Paru-paru dunia hanya tinggal di beberapa negara saja dan tetap
diharapkan untuk dijaga sebagai konversi dari emisi karbon negara-negara
industri dan maju.

Lantas, bagaimana dengan MHA
dengan hutan adatnya? Sudah banyak contoh dan pengalaman bahwa para tokoh adat
dengan pranata sosialnya sangat menjaga wilayah adat mereka terutama hutan adat
mereka, sebagian kecil dapat mereka manfaatkan untuk budidaya namun sebagian
besar tetap mereka biarkan karena sebagai tempat mereka menggantungkan hidup
baik untuk berburu, mengambil hasil buah hutan, hasil hutan bukan kayu dan
tentunya sebagai wilayah adat untuk melaksanakan upacara adat. Mereka tidak
mengenal istilah Hutan untuk wilayah Konservasi, lindung dan produksi, namun
pada kenyataannya mereka telah melakukan fungsi pokok hutan adat sebagai hutan
konservasi dan hutan lindung.

Padahal seharusnya, jika mereka
melakukan hal tersebut dalam peraturan di NKRI ini pemerintah diwajibkan untuk
memberikan kompensasi berupa prioritas program pembangunan, melalui subsidi
pinjaman lunak, kemudahan pelayanan, dan pendampingan atau insentif lainnya.

Strategi Penthahelix untuk MHA

Sudah menjadi kewajiban
pemerintah untuk memberikan pelayanan dan pemerataan pembangunan yang
berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat sehingga untuk itulah pendekatan
pembangunan bagi saudara kita MHA ini perlu dengan strategi penthahelix yaitu
strategi pembangunan dengan melibatkan 5 unsur yaitu pemerintah; filantropi /
komunitas (baca, untuk di Kalimantan melalui Dewan Adat Dayak/DAD atau Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara / AMAN) serta Dunia Usaha (baca, khusus di Kalimantan
adalah para Perusahaan Besar Swasta yang bergerak di Bidang Perkebunan dan
Pertambangan yang berkaitan dengan penguasaan tanah/lahan); masyarakat hukum
adatnya sendiri; perguruan tinggi / akademisi; dan peran media.

Selama ini yang bergerak sangat
terbatas dan parsial, sehingga katakan saja hanya untuk memberikan pengakuan
atas adanya keberadaan MHA saja masih menemui jalan yang berliku dan panjang,
padahal peran semua stakeholder ini menjadi sangat penting dan berarti dalam
satu langkah bersama untuk tujuan mensejahterakan dan memberdayakan MHA ini
dalam regim pembangunan, belum lagi mengakui adanya wilayah adat dan objek
lainnya seperti Hutan Adatnya.

Penulis sendiri selama ini juga
telah terlibat dalam upaya untuk meningkatkan “Perlindungan Kawasan Konservasi
melalui Social Empowering Masyarakat Hukum Adat (MHA)” di Wilayah Provinsi
Kalimantan Tengah khususnya di Kabupaten Sukamara, di akhir Tahun 2019 yang
lalu telah diakui keberadaan MHA melalui Keputusan Bupati Sukamara yaitu :

Pertama, Pengakuan terhadap MHA
Dayak Tomun Desa Kenawan Kecamatan Permata Kecubung; Kedua, Pengakuan terhadap
MHA Dayak Jelai Lari Desa Semantun Kecamatan Permata Kecubung; Ketiga,
Pengakuan terhadap MHA Dayak Jelai Ruku Mapam Desa Nibung Terjun Kecamatan
Permata Kecubung dan Keempat, Pengakuan terhadap MHA Dayak Gambu Dalam Desa
Kartamulia Kecamatan Sukamara. Keberadaan MHA ini masing-masing diakui beserta
objeknya yaitu masing-masing Hutan Adatnya.

Di Provinsi Kalimantan Tengah
berdasarkan data dari Dinas Lingkungan Hidup paling tidak yang sedang dalam
proses untuk mendapat pengakuan sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52
Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
terdapat minimal di 8 kabupaten, sebut saja MHA Kinipan dengan Kedemangan
Batang Kawa di Kabupaten Lamandau, MHA Simpur dengan Kedemangan Jabiren Raya di
Kabupaten Pulang Pisau, MHA Sekata Payang, MHA Tehang, MHA Tumbang Bahenel, MHA
Tumbang Malahol di Kabupaten Gunung Mas, MHA Sungai Batu Kubu dengan Kademangan
Padang Paramua di Kabupaten Kotawaringin Barat, dan beberapa lagi yang tersebar
di kabupaten lainnya.

Untuk itu sehingga diperlukan
banyak peran dari semua unsur Penthahelix tersebut agar harapan dari para
pengampu yang memohon keberadaan MHA ini tidak hanya sekedar retorika menjadi
sebuah persyaratan administrasi saja namun yang terpenting adalah keberadaan
mereka menjadi salah satu subyek hukum yang perlu mendapat perhatian
pembangunan.

Selanjutnya yang dapat dilakukan
adalah Pembentukan Produk Hukum Daerah / Perda tentang perlindungan dan
pengakuan MHA sebagai bahan pertimbangan untuk proses pengajuan MHA ke tingkat
pusat/KLHK, memfasilitasi kegiatan peningkatan pengetahuan dan keterampilan
MHA, Melaksanakan Diklat kepada lembaga kemasyarakatan yang akan melakukan
pendampingan untuk pemberdayaan MHA. Kerjasama dengan para konsesi di sekitar
wilayah yang bersinggungan dengan wilayah MHA untuk ikut membangun dan
memberdayakan kewilayahan adat yang dimiliki MHA.

Terlebih lagi sebagai pemilik
Hutan Adat bahwa praktek Illegal Looging yang terjadi di wilayah adat, MHA
tidak mampu membendung karena minimnya pengawasan wilayah yang dapat dilakukan,
jika terdapat kasus hingga terkena denda adat untuk pelaku pembalakan liar
tersebut karena memang ditemukan langsung oleh Demang dan Tokoh Adat. Selain
itu kuatnya desakan ekonomi melalui Alih Fungsi Lahan menjadi perkebunan
monokultur menjadi alasan kuat para masyarakat bagian dari MHA sendiri yang
akhirnya “mengalah” untuk membuka lahan-lahan tersebut contohnya menjadi perkebunan
kelapa sawit.

Lantas, bagaimana cerita
selanjutnya? Tentu juga sangat tergantung dari para pengampu sebagai Kepala
Adat, Demang dan Mantri Adat sebagai tokoh utama dan tokoh kuncinya demi
keberlangsungan keberadaan MHA dan sebagai salah satu kekuatan dalam Strategi
Penthahelix adalah tentunya keberadaan Dewan Adat Dayak (DAD) yang dapat
mendorong ini bersama-sama. Sesuai dengan semboyan Adil Ka’ Talino berarti adil kepada sesama manusia,
semoga Masyarakat Hukum Adat juga mendapat keadilan dalam pembangunan, Insyaa
Allah. (*)

(Rendy Lesmana, adalah Pengurus
Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Sukamara)

Exit mobile version