KOREAN pop (K-pop) benar-benar telah merasuki ruang batin generasi muda Indonesia. Beberapa hari terakhir, kita melihat fenomena membeludaknya restoran cepat saji McDonald’s (McD) lantaran kemitraan mereka dengan band K-pop ternama, Bangtan Boys (BTS), melalui brand menu BTS Meal.
Kesuksesan strategi pemasaran McD ini tak terlepas dari banyaknya fans ”garis keras” BTS yang menjamur di berbagai negara sejak debut band itu pada 2013, termasuk di Indonesia. Alhasil, BTS Meal kini telah tersebar di 49 negara, dirilis kali pertama di Amerika Serikat pada 26 Mei 2021 dan Korea Selatan (Korsel) sehari berikutnya (27 Mei).
Fenomena BTS merupakan bukti suksesnya hallyu atau gelombang Korea (Korean wave) yang menjadi kebijakan nasional Korsel dalam dua dekade terakhir. Tepatnya pada 2001, Presiden Korsel kala itu, Kim Dae-jung, secara resmi dalam pidatonya menyebut hallyu sebagai strategi industri tanpa cerobong asap (chimney-less industry) Korsel untuk dapat bersaing dalam pentas ekonomi global.
Presiden berikutnya, Roh Moo-hyun, yang memimpin Korsel pada 2003–2008, lantas melanjutkan kebijakan tersebut dengan langkah yang lebih taktis dan terukur. Ia menargetkan bahwa pada 2010 Korsel harus menjadi satu di antara lima konten teratas dunia. Pada 2009, Badan Konten Kreatif Korea didirikan untuk mempromosikan dan meningkatkan produksi konten budaya populer Korea.
Kebijakan itu tahun demi tahun terus menuai hasil. Terkini, berdasar laporan Global Music Report 2021 yang dikeluarkan International Federation of the Phonographic Industry (IFPI), K-pop telah membantu Korsel sebagai pasar musik dengan pertumbuhan tercepat di dunia, naik 44,8 persen dari 2019 hingga 2020. Sebagai perbandingan, AS hanya naik 7,3 persen dan Inggris 2,2 persen.
Dalam konteks ini, BTS bisa disebut sebagai produsen budaya pop Korea paling sukses serta berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional Korsel. Hyundai Research Institute (HRI) pada 2018 menyebut bahwa per tahun BTS berkontribusi 4 triliun won (3,54 dolar AS) bagi ekonomi Korsel. Tak hanya melalui penjualan lagu, merchandise, dan tiket konser, BTS juga berdampak besar pada aspek pariwisata. Pada 2017, diperkirakan sekitar 800 ribu wisatawan asing berkunjung ke Korsel atau 7 persen dari total wisatawan, termotivasi mendatangi negara itu karena ketertarikan pada BTS.
Besarnya pengaruh global BTS membuat mereka diundang untuk memberikan pidato di kantor pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, AS, dalam peluncuran kampanye ”Generation Unlimited” Unicef pada 2018. Meminjam analisis politik Joseph Nye, Korsel melalui K-pop dan BTS telah menjadikan hallyu sebagai soft power (kekuatan lunak) yang membangun pengaruh ekonomi dan politik global melalui ruang-ruang tersamar, yakni diplomasi budaya. Strategi serupa sebenarnya telah sukses dilakukan AS di abad ke-20 melalui sejumlah brand seperti McD, Levi’s, Coca Cola, Marlboro Man, termasuk Hollywood.
Bagi Korsel, kesuksesan diplomasi budaya ini sungguh berkah yang luar biasa. Bagaimana tidak, Korsel hingga pertengahan 1980-an masih merupakan negara berkembang. Namun, sejak hallyu menjadi kebijakan nasional, para ekonom mereka bekerja keras mencari tahu, apa yang harus dilakukan agar Korsel bisa makmur melalui industri kreatif.
Karena itu, dalam menjalankan diplomasi budaya, Korsel membangun kombinasi yang dinamis antara promosi resmi pemerintah yang bersifat top-down dengan diplomasi ”people-to-people” yang bersifat bottom-up. Berbeda dengan AS yang lebih terfokus pada propaganda pikiran dengan citra keren melalui produk-produk budayanya, Korsel justru memperkuat proksimitas emosional yang dapat menghadirkan solidaritas dan rasa memiliki (sense of belonging) di antara para konsumen. Propaganda pikiran memang dapat membuat konsumen bangga mengonsumsi produk tersebut, namun proksimitas emosional lebih dari itu: dapat membuat konsumen mabuk kepayang karena cinta berlebih.
Diplomasi ”people-to-people” dalam fenomena BTS tampak jelas melalui bentukan BTS Army sebagai fan base global. Diplomasi itu terjadi ketika perasaan positif tentang suatu bangsa atau budaya disebarkan melalui pengalaman bersama antara individu-individu lintas budaya. Antusiasme dan dedikasi BTS Army menjadi faktor penting bagi kesuksesan BTS di level internasional karena menghadirkan solidaritas perasaan yang sama di antara penggemar.
Strategi itu digunakan beriringan dengan universalitas tema yang dihadirkan dalam lirik lagu, yang menawarkan hiburan dan pelipur lara pada para pendengar dalam menghadapi perjuangan pribadi, serta mendorong mereka untuk mencintai diri sendiri dan mengejar harapan.
Hingga saat ini, Guinness World Records mencatat BTS sebagai pemegang rekor Most Twitter Engagements atau keterlibatan Twitter terbanyak karena rata-rata retweet pada April 2019. Akademisi Hong Kong Polytechnic University, Wantanee Suntikul, menyebut pencapaian tersebut tak terjadi begitu saja, namun merupakan bagian dari strategi diplomasi Korsel melalui pendekatan orang per orang, yang dalam konteks digital, berbentuk keterlibatan di media sosial.
Sungguh menarik ketika fenomena McDonaldisasi, yang dipopulerkan George Ritzer dalam bukunya, The McDonaldization of Society (1993), mulai surut, McD dengan lihai menggandeng BTS yang tengah naik daun. Lebih dari sekadar aspek pemasaran, kemitraan McD-BTS adalah kolaborasi dua produk budaya dari dua negara yang merepresentasikan budaya populer terbesar dari belahan Timur dan Barat.
Tantangan bagi generasi saat ini tak sebatas memahami dan menikmati fenomena K-pop yang sedang hype, tapi lebih-lebih membangun kesadaran, apa yang harus kita lakukan agar bangsa Indonesia tak sebatas menjadi konsumen produk global. Namun dapat menjadi pemain penting dalam panggung politik dan ekonomi dunia. (*)
Subhan Setowara, Dosen Hubungan Internasional UMM,direktur eksekutif RBC Institute A. Malik Fadjar