Site icon Prokalteng

Epigram Burung Nasar: Bayangan Maut dan Upaya Membersihkan

COVER BUKU (ISTIMEWA)

Oleh Sapta Arif

Berkarya di komunitas Sutejo Spektrum Center Ponorogo. Saat ini menjadi kepala Humas STKIP PGRI Ponorogo. Buku terbarunya Bulan Ziarah Kenangan.

Secara keseluruhan, Leila S. Chudori berupaya memberikan impresi kedekatan kepada pembaca secara utuh. Selain kedetailan teknis cerita, Leila menambahkan keterangan istilah dan sumber kutipan.

ADA dua simbol yang melekat pada burung nasar, yaitu bangkai dan pembersihan. Burung nasar memiliki indra penciuman yang tajam untuk melacak bangkai hingga jarak satu kilometer lebih.

Dia akan mengelilingi bangkai tersebut, menyambar, lalu memakannya. Meski begitu, burung nasar menjadi simbol kebersihan dalam lingkaran kehidupan dan kematian dalam sejarah Mesir kuno.

Barangkali, epigram (sebuah pernyataan singkat, peminatan, kenangan, dan terkadang pernyataan mengejutkan atau satire) burung nasar sengaja disematkan Leila S. Chudori untuk menggambarkan betapa peliknya kisah Segara Alam –anak seorang komunis yang telah dieksekusi mati.

Sejak halaman pertama kita diajak untuk merasakan keampuhan photographic memory dari tokoh bernama Segara Alam. Kisah detik-detik terakhir bapaknya digambarkan dengan sangat detail seolah-olah kita sedang menyaksikan eksekusi tersebut.

Keahlian untuk mengingat hal-hal detail ini nyatanya memberikan masalah tersendiri dalam diri Alam. Alih-alih mengingat hal-hal indah yang hanya datang sekelebatan, dia justru kerap kali didatangi mimpi buruk kisah kelam bapaknya.

Leila S. Chudori memperlihatkan bagaimana trah atau garis keturunan berpengaruh pada nasib seseorang. Baik nasib baik maupun nasib malang. Selain Alam, Bimo yang merupakan anak eksil politik yang tak bisa kembali ke Indonesia di zaman Orba mengalami hal serupa.

Yang lebih mengerikan, nasib malang Bimo justru didapat oleh ayah tirinya –seorang tentara yang menjadi kekasih ibunya. Bimo kerap kali disiksa dengan disundut rokok di berbagai bagian tubuh. Hal ini memaksa Alam dan keluarga untuk bertindak, mengajak Bimo untuk tinggal di rumahnya meski setiap akhir pekan harus pulang ke rumah ibunya.

Selain itu, represi militer kepada orang-orang yang terlibat dengan komunis diperlihatkan dengan cara yang memilukan. Berbeda dengan novel Laut Bercerita yang menceritakan detail adegan penyiksaan terhadap aktivis reformasi. Pada bab 6 (halaman 151–173) buku ini, Leila S. Chudori memperlihatkan bagaimana nasib malang keluarga Alam saat diinterogasi.

Ibu Alam secara tersirat dipaksa untuk melayani nafsu bejat si tentara. Sedangkan Yu Kenanga kecil harus membersihkan ruangan penuh darah bekas penyiksaan keluarga yang ditengarai terlibat komunis.

Tidak hanya keluarga militer, hegemoni keluarga konglomerat yang dimaksudkan memiliki pengaruh dalam politik Indonesia juga diperlihatkan. Kisah Denny dan Trimulya contohnya. Denny anak seorang konglomerat tambang nyaris tak tersentuh oleh hukuman saat ia berbuat salah di sekolah. Segala permasalahan di sekolah era pasca-’65 seolah-olah mudah diselesaikan dengan pertanyaan, ”siapa bapakmu?” atau ”siapa ibumu?”.

Epigram burung nasar yang melekat pada tokoh Alam semakin kentara menuju babak akhir cerita. Alam diumpamakan sebagai mayat hidup yang kapan saja bisa mati oleh burung-burung nasar yang berputar-putar di atas kepalanya.

Sebaik apa pun seorang Alam bertindak, ia tidak bisa menghapus garis keturunan yang dibawa oleh bapaknya. Seolah-olah dia hanya menunggu waktu untuk disambar dan dimakan oleh kebijakan pemerintah yang mencanangkan kebijakan bersih diri dan bersih lingkungan. Hal ini semakin menguatkan simbol burung nasar sebagai pembersih bangkai-bangkai yang bahkan sudah berbau busuk.

Tetapi, Alam tidak serta-merta menerima nasibnya begitu saja. Melalui tokoh Ibu Umayani, semangat Alam mulai bangkit untuk menantang catatan sejarah yang sengaja ditulis untuk mendukung hegemoni pemerintah Orba.

Dalam buku ini, kita akan diajak memahami fragmen kehidupan yang amat penting. Bahwa meski sejarah yang tertulis di buku-buku pelajaran sekolah bernuansa politis, penulisan sejarah seharusnya tidak akan pernah selesai

Seperti dalam halaman 358 buku ini, melalui tokoh Bu Umayani yang mengatakan bahwa penulisan sejarah akan terus berlanjut. Suatu hari, Para Pencatat Sejarah (sebuah ekstrakurikuler di sekolah Putra Nusa) bisa berbincang dan menggali sejarah yang hilang dari saksi atau keluarga korban tragedi ’65.

Hal ini menegaskan bahwa dibutuhkan orang-orang yang berani dan telaten untuk mencatat sejarah yang hilang atau disembunyikan atau dilupakan.

Secara keseluruhan, Leila S. Chudori berupaya memberikan impresi kedekatan kepada pembaca secara utuh. Selain kedetailan teknis cerita, Leila menambahkan keterangan istilah dan sumber kutipan.

Dalam bagian ”Ucapan Terima Kasih”, Leila memberikan kesaksian proses kreatif novel ini. Namaku Alam dikatakan sebagai spin-off novel Pulang yang berhasil menyabet Prosa Terbaik Kusala Sastra Khatulistiwa Tahun 2013. Selanjutnya, buku ini direncanakan menjadi trilogi. Patut kita tunggu bagian kedua novel Namaku Alam. (*)

 

Judul: Namaku Alam

Penulis: Leila S. Chudori

Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Cetakan: Ketiga, September 2023

Tebal: ix + 438 halaman; 13,5 x 20 cm

ISBN: 978-623-134-082-5

Exit mobile version