Site icon Prokalteng

Masalah Perumahan di Tangan Kabinet Baru

Eddi Wibowo

Sudah semestinya pemerintah memandang masalah perumahan rakyat dalam kerangka intervensi negara terhadap kebutuhan mendasar warganya. Tidak bisa dimungkiri, upaya memiliki rumah adalah upaya mengompromikan pertimbangan ekonomi, sosial, aksesibilitas, serta sederet pertimbangan lain agar dapat meningkat kualitas hidup.

Sesuai dengan janji kampanyenya, Presiden Prabowo Subianto membentuk kementerian perumahan dalam kabinetnya. Urusan perumahan tidak lagi berada di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Anggarannya pun sudah disiapkan. Dalam RAPBN 2025, kementerian baru itu mendapat kucuran hingga Rp 53 triliun.

Jumlah tersebut bernilai sekitar 35 persen dari pagu anggaran Kementerian PUPR pada 2024 yang mencapai Rp 146,98 triliun. Dengan modal itu, kementerian perumahan dibebani target membangun 3 juta rumah per tahun. Perinciannya, 2 juta rumah di pedesaan dan kawasan 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) serta 1 juta rumah di kawasan perkotaan. Diharapkan, jumlah tersebut bisa menutupi backlog perumahan di Indonesia.

Pada kesempatan berbeda, Hashim Djojohadikusumo, ketua satgas perumahan presiden, kembali menegaskan komitmen tersebut. Satgas perumahan menargetkan membangun 15 juta rumah dalam 5 tahun.

Pertanyaannya, ke manakah alokasi anggaran tersebut mesti difokuskan agar kebijakan perumahan pemerintah bermanfaat optimal?

Wilayah perkotaan adalah area yang paling membutuhkan suplai perumahan. Hampir 80 persen masyarakat yang belum memiliki rumah tinggal di perkotaan. Hal yang tidak terelakkan mengingat kota merupakan penggerak utama ekonomi nasional yang kemudian mendorong mobilisasi penduduk ke kota.

Realitas Kebutuhan Perumahan Kota

Kesempatan kerja yang lebih terbuka menjadi alasan utama masyarakat memutuskan berpindah dan tinggal di perkotaan. Bukan hanya bagi golongan menengah ke atas, melainkan juga golongan menengah ke bawah. Kelompok itulah lapis terbawah masyarakat perkotaan yang mendominasi aktivitas ekonomi di sektor-sektor informal dan buruh di sektor industri. Pemerintah menyebutnya sebagai masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Bagi MBR, tinggal di perkotaan bisa jadi bukan pilihan, tetapi keterpaksaan. Terbatasnya pendapatan mengondisikan mereka beradaptasi dan berkompromi dengan beragam tekanan dalam memenuhi kebutuhan dasar.

Pilihan paling realistis adalah tinggal sedekat mungkin dengan tempat bekerja atau tempat berusaha. Tinggal di perkotaan adalah siasat menekan alokasi biaya-biaya yang diperlukan.

Meski perumahan merupakan kebutuhan dasar, hunian yang layak telah menjadi kemewahan yang makin tidak terjangkau bagi MBR. Menyewa rumah-rumah petak di daerah padat adalah pilihan yang tak terhindarkan. Pun masih ditambah makin melambungnya harga tanah. Diperlukan intervensi pemerintah untuk mengatasi persoalan tersebut.

Tumbuhnya kampung-kampung padat penduduk di perkotaan menggambarkan perjuangan masyarakat lapis bawah mengelola pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Kebutuhan untuk dekat dengan tempat kerja dan aktivitas ekonomi serta aktivitas sosial mengerucutkan pilihan untuk tinggal di area-area yang sebenarnya tidak memenuhi standar kualitas hidup layak.

Bukan Sekadar Rumah Murah

Persoalan perumahan selalu bertali-temali erat dengan berbagai permasalahan publik lain. Mendorong masyarakat untuk tinggal di perumahan-perumahan yang ’’murah’’ dengan harga terjangkau belumlah cukup. Faktor lokasi dan aksesibilitas menjadi kendala terbesar yang menurunkan minat mereka.

Masalah perumahan rakyat perlu dilihat dari sisi rekayasa sosial dalam mobilisasi manusia dari tempat tinggal menuju tempat mereka beraktivitas. Mulai tempat kerja, sekolah, fasilitas kesehatan, dan lingkungan, bahkan sampai potensi-potensi kebencanaan yang menyertai.

Dalam konteks itu, kementerian perumahan rakyat tidak hanya bertanggung jawab memastikan penyediaan 15 juta unit rumah. Lebih jauh, kementerian itu menjadi leading sector penyediaan perumahan yang mengoordinasi berbagai stakeholder, baik dari sektor publik maupun privat.

Kementerian baru tersebut juga dihadapkan pada isu tata kelola yang berpotensi menurunkan kepercayaan publik. Program pembiayaan perumahan yang ditujukan untuk membantu pegawai negeri/TNI melalui Taperum justru meninggalkan catatan buruk. Publik kemudian mempersepsikannya sebagai ancaman korupsi dalam pengelolaan dana masyarakat.

Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang menggantikan Taperum juga ditolak keras oleh publik. Pungutan yang dibebankan justru menambah tekanan ekonomi bagi MBR serta pengusaha yang sedang dalam situasi sulit.

Memberikan kepercayaan pengelolaan urusan perumahan kepada para profesional menjadi bagian penguatan tata kelola. Mereka diharapkan bisa mengkaji ulang beragam kebijakan yang membebani masyarakat. Selain itu, menekan potensi-potensi penyalahgunaan kewenangan dan korupsi dalam urusan perumahan rakyat.

Catatan mendasarnya, persoalan perumahan bukan sekadar bangunan fisik, melainkan juga persoalan manusia serta integrasi beragam pemangku kepentingan. (*)

*) EDDI WIBOWO, Analis kebijakan ahli madya Lembaga Administrasi Negara

Exit mobile version