DAMPAK sosial Pemilu 2024 masih terus terasa hingga sekarang, lebih dari dua pekan setelah coblosan 14 Februari. Berdasar penelitian Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa, 16 persen masyarakat Indonesia mengalami kecemasan. Dan 17,1 persen mengalami depresi. Ada kenaikan prevalensi stres dan depresi pascapemilu dibanding data Riskesdas 2018 dan Direktorat Keswa Kemenkes 2022 (Jawa Pos, 29/2/2024).
Kecemasan, stres, dan depresi yang dialami masyarakat Indonesia bermula dari tekanan psikologis selama masa pemilu. Situasi ini menimpa kontestan pemilu, jurkam, dan masyarakat pendukung peserta pemilu. Mereka terjebak pada obsesi kemenangan. Psikolog Steven Stosny dari Amerika Serikat menyebutnya election stress disorder atau gangguan stres karena pemilu.
Gangguan ini menyebabkan kondisi mental seseorang mengalami perubahan. Berdasar survei American Psychological Association (APA) tahun 2016, sebanyak 57 persen orang Amerika yang disurvei menganggap bahwa iklim politik selama pemilu merupakan sumber stres yang sangat signifikan.
Penelitian Timothy Fraser yang dirilis Cambridge University Press juga menyebutkan bahwa pilpres Amerika Serikat tahun 2020 telah berdampak terhadap gangguan mental masyarakatnya. Sekitar 12,5 persen orang Amerika mengalami gejala PTSD atau post-traumatic stress disorder, yaitu gangguan mental karena mengalami peristiwa traumatis.
Bagi 68 persen orang dewasa Amerika, Pemilihan Presiden 2020 merupakan sumber stres yang cukup memengaruhi akal sehat mereka. Selain itu, pada 1995 penelitian di Rajasthan, India, membuktikan bahwa ada hubungan antara stres dengan hiruk pikuk pemilu. Sebanyak 47,4 persen dari 114 masyarakat menganggap pemilu merupakan momen penuh tekanan.
Menurut psikiater Mayo Clinic Dr Robert Bright, individu yang mengalami gangguan stres karena pemilu memiliki gejala umum serta keluhan seperti gangguan pencernaan, sakit kepala, pusing, sulit tidur, memiliki kualitas tidur yang buruk serta merasa gelisah, cemas, takut yang datang tiba-tiba, serta memiliki kewaspadaan yang lebih tinggi dari biasanya.
Selain itu, penderita election stress disorder biasanya mudah tersinggung, tidak mau menerima pendapat orang lain, hingga merasa paling benar sendiri. Bahkan, sering kali menyerang orang yang tidak sependapat dengan dirinya, baik secara verbal maupun nonverbal. Sehingga orang-orang seperti ini acapkali mengalami masalah dalam hubungan sosial dengan orang lain.
Election stress disorder yang tidak segera tertangani dengan baik akan menimbulkan perasaan putus asa, tidak berdaya, merasa tidak berguna, bahkan depresi. Berdasar hasil riset para ahli, individu yang mengalami depresi berkepanjangan bisa memunculkan perilaku bunuh diri atau membunuh orang lain.
Secara psikologis, para pemilih fanatik lebih berisiko terkena election stress disorder dibanding pemilih rasional. Para pendukung garis keras kerap kali terobsesi pada kemenangan jagoannya. Menaruh harapan, perhatian, dan energinya hanya pada sosok yang menjadi pilihannya. Sehingga sering kali membabi buta melakukan pembelaan tanpa menggunakan nalar sehatnya.
Meredakan Ketegangan Komunal
Ketegangan psikologis masyarakat dipicu oleh panasnya kontestasi pemilu di Indonesia. Rivalitas ini melibatkan berbagai level di masyarakat. Sehingga, selain berdampak pada gangguan kejiwaan masyarakat, juga berdampak munculnya polarisasi yang mengancam stabilitas sosial dan politik bangsa. Potensi konflik rawan berlanjut hingga pemilu usai.
Karena itu, perlu segera dilakukan mitigasi situasi stres komunal dalam masyarakat. Pemerintah harus hadir dalam situasi seperti ini. Salah satunya adalah, pertama, pemerintah segera tanggap menyediakan layanan dukungan psikososial kepada masyarakat yang membutuhkan. Mencakup layanan konseling, dukungan psikologis, dan program-program kesehatan mental.
Agar program ini bisa efektif, pemerintah perlu berkolaborasi dengan pihak swasta untuk menjangkau semua lini dalam masyarakat. Seperti lembaga psikologi yang tepercaya, ormas masyarakat yang memiliki lembaga konseling, serta LSM yang bergerak di bidang kesehatan jiwa masyarakat.
Kedua, dalam rangka mengurangi ketegangan, perlu gerakan kampanye pemulihan pascapemilu. Kampanye ini melibatkan para pemimpin politik, tokoh masyarakat, maupun tokoh agama. Untuk memberikan edukasi ke masyarakat pentingnya rekonsiliasi, persatuan, dan kerja sama pascapemilu.
Peran para tokoh ini sangat penting di saat proses penghitungan manual KPU masih berlangsung. Di mana akan banyak orang tidak puas dan tidak terima dengan hasil penghitungan KPU. Para tokoh ini harus menjadi teladan dalam membawa pesan perdamaian, toleransi, dan rekonsiliasi bagi masyarakat Indonesia. Karena kepentingan bangsa di atas segalanya.
Ketiga, perkuat penegakan hukum yang adil dan akuntabel ketika ada sengketa karena pemilu. Selain itu, perlu juga meningkatkan keamanan untuk menjaga ketertiban umum pascapemilu. Segera meredam dan mencegah potensi konflik atau kerusuhan yang mungkin terjadi karena ketegangan selama masa pemilu.
Keempat, untuk mengurangi stres dan kecemasan masyarakat, perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas proses penghitungan surat suara pemilu. KPU harus bekerja ekstrakeras menjaga transparansi dan akuntabilitas hingga akhir. Untuk mengurangi kecurigaan atau ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil pemilu.
Akhirnya, semua upaya ini akan efektif menjadi solusi apabila didukung komitmen yang kuat dari pemerintah, pelaksana pemilu, masyarakat sipil, dan semua pihak yang terlibat dalam proses pemilihan umum. Semua bergerak penuh kesadaran menciptakan lingkungan yang damai, stabil, dan sehat lahir batin pascapemilu. Wallahu a’lam. (*)
*) Ainna Amalia F.N., Dosen psikologi, sekretaris jenderal Forum Komunikasi Dosen Peneliti (FKDP) Indonesia