Site icon Prokalteng

Koruptor Tambang Adalah Teroris Ekologis

Suparto Wijoyo

RAMADAN tahun ini diwarnai kegemparan publik atas korupsi sektor pertambangan yang mencapai Rp 271 triliun. Apalagi melibatkan pesohor dan crazy rich. Apresiasi pun diberikan kepada Kejaksaan Agung yang membongkar skandal korupsi tata niaga di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk sepanjang 2015–2022.

Kerugian lingkungan di kawasan tambang Bangka Belitung ini dihitung menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Kejagung telah memendarkan energi yuridis-ekologis dalam memproteksi kepentingan lingkungan di areal pertambangan. Ini membuka gerbang penegakan hukum korupsi tambang yang sejatinya merata di seluruh teritorial Nusantara.

Prinsip-prinsip good environmental governance yang berupa keterbukaan, transparansi, akuntabilitas, partisipasi, keadilan ekologi, perlindungan masyarakat adat, dan kepastian hukum diakali. Amdal sebagai instrumen hukum untuk melindungi lingkungan dipersepsi menjadi beban yang bertele-tele, dan bukannya dianggap mandat tanggung jawab kepedulian terhadap lingkungan.

Cacat prosedur dan substansi sering melanda dunia pertambangan di berbagai daerah sehingga menimbulkan kerugian lingkungan. Saya yakin melalui kasus ini negara dinanti dapat membuka kotak pandora dunia pertambangan yang diwarnai korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

KKN ini membawa efek panjang sejenis ’’simtomatis” (menyangkut tertumpuknya gejala penyakit) yang menderitakan rakyat dan habitatnya. Fenomena yang sudah niscaya adalah bahwa pertambangan di Indonesia telah menorehkan tragedi kemanusiaan dan lingkungan di banyak tempat.

Degradasi ekologis oleh para pemodal terkadang dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dalam pertambangan atas nama kemajuan. Aparatur negara saatnya merapatkan barisan untuk menjaga daulat ekosistem dengan penegakan hukum. Dalam hal ini dapat mengikuti cara Jepang yang mengembangkan asas presumption of causation, yakni praduga hubungan kausal, jadi tidak hanya praduga tak bersalah.

Patutlah diduga adanya hubungan kausal antara derita penduduk daerah kaya sumber daya alam dan kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan. Mengungkap tabir hukum presumption of causation adalah sesuatu yang esensial bagi peningkatan martabat hukum lingkungan di republik ini.

Sadarilah bahwa Indonesia adalah negara megakaya bahan tambang, tetapi rakyatnya miskin sebagaimana diungkap secara satire oleh Carolyn Marr (1993): ”Indonesia is fabulously rich and Indonesia is desperately poor”. Ironis memang. Ternyata kekayaan tambang itu tidak otomatis memakmurkan masyarakat.

Lantas, apa makna Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: ’’Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”? Dari kejahatan pertambangan semakin terketahui bahwa negeri ini tidak imun dari kaum yang menggerus lingkungan, yang menambang tanpa reklamasi, yang mengambil kekayaan masyarakat hukum adat, dan yang membuat derita serta sengsara daerah kaya tambang.

Oleh karena kondisi ekologis yang dirusak sedemikian serius, maka UU Terorisme (UU No 15/2003-UU No 5/2018) dapat diterapkan terhadap kejahatan lingkungan (milieudelicten). Dalam UU Terorisme diatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau rencana ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal.

Dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun.

Masih banyak rumusan hukum sehaluan yang mengatur secara lebih terperinci yang memasukkan tindak pidana lingkungan sebagai parameter kejahatan terorisme. Kesengajaan dapat dilihat dari hasil bukti awal yang meginformasikan tentang pelanggaran administrasi dalam operasionalisasi industri.

Semisal industri yang wajib amdal, tetapi abai terhadapnya. Hal ini berarti telah melakukan pelanggaran hukum yang menafikan kepentingan lingkungan. Kehancuran ekosistem dan kemelaratan rakyat di wilayah kaya tambang merupakan bentuk teror yang serius. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menjerat para penjahat lingkungan dengan kualifikasi yang ada di dalam UU Terorisme.

Dalam tulisan ini sengaja tidak disebutkan pasal-pasal teknis yang dapat diterapkan untuk menjelaskan kejahatan lingkungan sebagai tindak pidana terorisme, dengan pertimbangan utama bahwa tulisan ini bukan untuk keperluan penyidikan, melainkan wacana keilmuan (scientific mind) penulisan populer.

Inilah momentumnya aparatur penegak hukum melakukan gebrakan hukum untuk peningkatan kewibawaan hukum di sebuah negara yang berbilang negara hukum (rechtsstaat).

Banyak pihak seyogianya berperan untuk mendorong hadirnya penegakan hukum yang berwibawa. Kepolisian, Kejagung, KPK, dan KLHK harus bergandeng tangan dalam sebuah formasi penegakan hukum pertambangan, demi kelestarian fungsi lingkungan. Apa yang kini publik harapkan adalah berjalannya peran fungsional masing-masing untuk menjadi investor penyelamatan lingkungan dan bukan predator negara.

Komunitas cendekia harus memberikan kontribusi berharganya dengan tetap di jalan lurus untuk mentransformasi hal ini sebagai bagian dari cara kita merawat bumi. Memformat kejahatan lingkungan sebagai kejahatan terorisme merupakan agenda yuridis-ekologis yang sedasar dengan ikhtiar membangun pertambangan berkelanjutan (sustainable mining). (*)

*) SUPARTO WIJOYO, Guru Besar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Exit mobile version